Aku menghela napas panjang lalu menghembuskannya dengan perlahan. Pusing sekali rasanya jika mengingat ucapan Ibu. Aku tahu niat beliau baik. Ingin agar nasib anak dan cucunya tidak terlantar. Tetapi entah mengapa terkadang aku merasa Ibu terlalu sibuk mengurusi kehidupanku. Aku memang anak Ibu, tetapi kini aku juga seorang istri dan seorang Ibu. Aku punya keluarga sendiri.
“Ibu itu kenapa sih rusuh banget?”gerutuku kemudian.
“Huss, nggak boleh bilang gitu, Dik! Ibu itu kan orangtua kita,” tegur Mas Hanif yang membuat wajahku bertekuk.
“Ya Ibu. Tapi harusnya nggak kayak gini juga. Aku beneran pusing tahu, Mas. Bilangnya sih pikirin lagi ucapan Ibu, tapi ngomongnya maksa. Seakan- akan aku durhaka kalau nggak nurutin kata- katanya.”
Nafasku tercekat. Sesak rasanya. Aku sering mendengar, Ibu juga membicarakan kehidupanku pada saudara yang lain. Ibu mengeluhkan sikap keras kepalaku yang masih saja bertahan untuk tidak bekerja. Padahal aku lulus dengan prestasi yang memuaskan. Sayang katanya jika tidak dipakai.
Ah, Ibu membuatku benar- benar seperti anak durhaka yang membantah ucapan orang tuanya.
Malu rasanya…
“Apa aku kerja aja ya, Mas?” celetukku tiba- tiba.
“Yakin?” Mas Hanif menatapku dengan dahi berkerut.
Bahuku mengendik. “Ya biar Ibu puas.”
Mas Hanif menggeleng. “Itu nggak baik. Niat kamu udah nggak bener,”