“Ya abisnya aku kesel tahu, Mas. Bosan juga! Lagian cuma itu aja yang bisa bikin Ibu nggak berisik,”
“Kata- katamu, Dik! Nggak bagus.”
Bibirku melengkung ke bawah karena teguran Mas Hanif. Memangnya ada solusi lain?
“Kalau kamu kerja tapi niatnya seperti itu, mending nggak usah.” Ujar suamiku. “Tapi kalau kamu memang kerja maunya kamu ya Mas nggak masalah.”
Aku berdecak sebal. Tapi kan sama saja ujungnya. Kerja!
“Sudahlah sudah larut malam. Kita tidur. Aku besok juga harus bekerja.”
Aku mengangguk lalu merebahkan diri di atas kasur. Namun beberapa menit terlewati tanpa sekalipun mataku terpejam, berbeda dengan Mas Hanif. Dia mudah sekali terlelap. Kumiringkan tubuhku untuk menatap Randi yang berada diantara aku dan Mas Hanif. Buah hatiku ini tampak tenang dan damai. Aku tersenyum lalu perlahan mengusap puncak kepalanya dengan lembut.
Ah, sanggupkah aku jika harus berpisah dengannya?
***
Seminggu sudah berlalu. Aku memutuskan untuk kembali menjalani hidup seperti biasa. Kupikir selama aku masih bisa mengelola keuangan dengan baik, aku tak harus memikirkan kata- kata Ibu. Dan seperti biasa, mungkin Ibu takkan jera untuk mengatakan hal yang sama jika berkunjung dua bulan lagi. Tapi sudahlah, itu bisa dipikirkan nanti. Sekarang lebih baik aku memasak dan membuat kue untuk ulang tahun Randi yang kedua. Tak ada perayaan meriah, tapi aku dan Mas Hanif sepakat merayakannya dengan mengajak Randi berekreasi ke pantai.
Namun tiba- tiba dering ponsel mengusikku. Bergegas aku meraih benda tersebut yang sebelumnya kuletakkan di atas meja. Kuhembuskan nafas sejenak sebelum akhirnya mengangkat panggilan tersebut.