Mpok Indun mengangguk- angguk. Tiba- tiba wajahnya berbinar. Tanpa harus bertanya Tri tahu penyebabnya. Kontan ia berdiri lalu setengah berlari ke objek arah pandangan Mpok Indun.
“Tungguin gue, Triii,” Tri mengabaikan teriakan Mpok Indun di belakangnya. Ia harus segera berlari. Jangan sampai kalah.
“Roti- roti! Rotinya buat cemilan di jalan Pak, Bu!” Teriaknya kencang setelah tubuhnya berada di sisi bis, yang dilihat Mpok Indun.
“Rotinya, Pak!” tawarnya pada seorang pria paruh baya yang baru turun dari bis. Lelaki baya itu menggeleng pelan membuat Tri menghela nafas panjang. Belum rezeki, ucapnya dalam hati.
Tri masih berdiri di sisi bis. Menjajakan dagangan ke para penumpang yang mulai turun. Semoga ada yang beli, rapalnya dalam hati. Namun hingga bis kosong, tak ada satu pun dagangannya yang laris.
“Laris, Tri?
Tri mendengus gusar. Basa- basi!
“Ya udah Mpok, saya kesana aja,” Tri menunjuk gedung besar yang berada di tengah terminal, “Panas disini!”
Tanpa menunggu tanggapan Mpok Indun, Tri segera melangkahkan kakinya pergi. Sejujurnya ia juga malas bila bersama Mpok Indun. Terlalu bawel dan berisik! Kepala Tri tak jarang ikut pusing mendengar rentetan kalimat yang meluncur dari bibir si Mpok.
“Bete amat lo, Tri!”
Tri menoleh dan mendapati Saniah, temannya sesama penjaja makanan sedang menjajari langkahnya.