Mohon tunggu...
Imanuel  Tri
Imanuel Tri Mohon Tunggu... Guru - Membaca, merenungi, dan menghidupi dalam laku diri

di udara hanya angin yang tak berjejak kata. im.trisuyoto@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bersungut-sungut dan Kemenangan Paskah

18 April 2022   16:30 Diperbarui: 18 April 2022   16:45 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Istockphoto

Cerpen | Bersungut-Sungut dan Kemenangan Paskah

 "Patang apa kamu kali ini?" tanya kakekku ketika aku mau puasa empat puluh hari.  Aku tidak segera menjawab. Sebenarnya sudah kurancang bahwa puasa tahun ini aku hanya akan makan sekali dalam sehari. Menu makanan pun tidak boleh kuistimewakan. Aku akan makan di sore hari dengan menu seperti biasa saat sebelum puasa. Namun, demi pertanyaan kakek itu, aku memutar pikiranku kembali.

"Bagaimana?" Kakek meminta aku menjawab.

"Em, iya, Kek!"

"Iya, apa?"

Aku benar-benar tak diberi waktu untuk mematangkan rancangan puasaku. Untung saja tiba-tiba melintas pencerahan di pikiran. Ya, aku akan membuang sungut-sunggut yang sering keluar dari mulut. Puasa kali ini aku bertekad tidak bersunggut-sungut. Tentu saja puasa yang sekadar perut tetap aku lakukan. Jadi, tahun ini target puasaku menahan makan dua kali dalam sehari dan menahan bersungut-sungut sepanjang waktu.

"Iya, ya, ya, bagus. Itu bagus," kata kakek, tampak puas setelah aku memberikan penjelasan tentang target puasaku.

***

Seminggu berjalan, tak ada yang perlu kurisaukan. Setiap hari, aku bekerja seperti biasa. Hampir tak ada kawan yang tahu bahwa aku berpuasa. Siang hari saat istirahat, aku sering cepat-cepat meninggalkan ruangan sekadar mencari tempat tersembunyi. Kadang di perpustakaan, kadang di ruang kesehatan yang tak digunakan, kadang di tepi kolam belakang kantor  yang jarang dikunjungi teman-teman.

Di tempat itu aku berdiam sekadar merefleksi diri. Aku juga berdoa di waktu istirahat yang hanya sesaat. Sore hari saat magrib, saya baru makan dengan menu seperti biasa. Seadanya  menu apa pun yang disediakan oleh ibuku.

Dua minggu, tiga minggu berjalan masih sama. Bahkan terasa sangat biasa. Tak terasa kalau aku puasa. Pagi tidak sarapan, siang tidak makan tetapi tak pernah kelaparan. Haus? Tentu saja karena terik matahari di kotaku memang terkenal panas. Namun haus itu masih dapat kutahan. Belum pernah aku tersiksa kehausan. Nah, tentang bersungut-sungut?  Ini juga terlewatkan dengan kedamaian.

Merasa mantap tanpa hambatan, aku mulai mengubah pola aktivitas. Biasanya kalau di kantor aku membatasi komunikasi agar tidak boros energi. Memasuki minggu keempat sosialisasi dan komunikasi dengan sesama tak kubatasi. Diskusi pekerjaan, ngobrol sana-sini, rasan-rasan, ngrumpi tipis-tipis semua kulakukan.

"Big Bos memang nyebeli akhir-akhir ini!" ucap Karna Gaya, temanku kerja yang duduknya di sebelahku.

"Keputusan-keputusannya tidak membuahkan hasil apa-apa," Tasaro ikut menimpali.

"Aku juga sudah muak dengan caranya berbicara dan ... !" kalimatku tak kulanjutkan sebab tiba-tiba kurasakan tengkuku tertindih beban.

Kutoleh belakang, tak ada bos datang. Kukitari ruangan dengan mata menyelidik tajam, juga tak kudapati siapa-siapa. Hanya ada aku, Karna Gaya, dan Tasaro.

Sesaat kemudian saat aku kembali menghadap ke depan kudapati  pengertian bahwa aku telah gagal hari ini. Aku telah hanyut ikut arus ngrumpi kawan-kawan. Iya, aku telah ikut bersunggut-sungut siang ini. Bukankah, bos sudah seharusnya memiliki otoritas untuk membuat kebijakan! Jadi, tugasku adalah mendukung untuk mewujudkannya. 

Mestinya aku berdoa dan berjuang demi kemajuan kantor tempatku bekerja. Bukankah keberhasilan dan kesejahteraan kantor ini adalah kesejahteraanku juga. Kenapa aku harus bersungut-sunggut kepada bos! Kalaupun bos ada kekurangannya, bukankah lebih baik aku memberikan saran kepadanya. Bukan malah mempergunjingkannya!

Waktu asar sudah lewat. Sudah saatnya aku pulang. Setelah berkemas, aku bergegas menuju tempat parkiran. Ya, ampun! Beberapa motor terparkir sembarangan di belakang mobilku. Padahal mobilku terpakir menghadap tembok.

"Pak, tolong ini!" teriakku kepada juru parkir.

"Maaf, Mas. Tadi ada tamu terburu-buru." Juru Parkir itu buru-buru menggeser beberapa motor hingga mobilku bisa atret dan meninggalkan tempat parkir.

"Parkir sembarangan, tidak genah!" umpatku terus meninggalkan halaman kantor.

Baru beberapa saat mobil mengaspal, lajunya harus terhambat. Nyaris tak bergerak. Lalulintas meningkat padat berkali lipat. Aku baru ingat kalau ini sudah bulan Ramadan. Dan di wilayahku sudah kuhafal demikian. Setiap kali bulan Ramadan, lalu lintas sangat padat terutama menjelang waktu berbuka puasa. 

Banyak orang berebut untuk segera bisa sampai di rumah. Banyak juga yang keluar rumah untuk membeli berbagai kebutuhan menu untuk berbuka puasa.

"Ya, ampun. Asem tenan!" bibirku tiba-tiba mengumpat geregetan ketika sepeda motor memotong tepat di depanku dan terdengar ada gesekan.

Mobil terus kujalankan pelan-pelan. Sekalipun lambat, akhirnya kulihat juga gang di sebelah kanan untuk menuju ke rumah. Lampu sein aku nyalakan tanda berbelok ke kanan. Kulihat dari kaca spion, kendaraan di belakang sudah sepi. Saya yakin kendaraan di belakang saya sudah ambil jalur kiri. 

Lampu dim juga saya tembakkan beberapa kali. Stir mobil sudah saya putar ke kanan. Moncong mobil sudah hampir memasuki gang. Namun, tiba-tiba sebuah motor menyalip dengan cara zigzag dan brak! Motor itu memang lolos dari sundulan mocong mobilku tetapi motor itu menabrak mobil dari arah berlawanan di depan sana. "Rasain, berjalan tidak aturan! Tidak sopan blas!" Aku menggerutu dan terus meninggalkan kerumuman.

***

Setelah mandi membersihkan diri, aku bergegas ke ruang makan. Aku bermaksud berbuka puasa hari ini. Sebelum menyantap menu makanan, aku menundukkan kepala beberapa saat. Berdoa dan merenungi peristiwa-peristiwa hari ini. 

Dan kembali hatiku terpukul. Ternyata hanya dalam sekali berjalan dari kantor ke rumah, hatiku tidak bisa sejahtera. Mulutku menggerutu bahkan dengan umpatan. Ya, ampun ternyata berat mengendalikan sungut-sunggut waktu berpuasa!

Sehabis berbuka puasa aku rebahan seperti biasa. Teman rebahan hanya gawai. Aku buka media sosial. Berita sepotong-sepotong berseliweran. Bahan bakar naik. Solar langka. Harga kebutuhan melambung sebelum lebaran. Mahasiswa turun ke jalanan diikuti para pengangguran. 

Ujaran kebencian merebak di setiap muka media. Berkali-kali aku geleng-geleng kepala. Berkali-kali juga aku mengiyakan pernyataan-pernyataan di media. Iya, ketidak adilan sudah merebak diman-mana. Iya, pengangguran saat ini jumlahnya sudah sangat mengkhawatirkan! 

Iya, ketimpangan sosial sudah terbiarkan mengerikan! Ah, seharusnya tidak begitu! Ah, harusnya begini! Dan masih banyak lagi aku berpendapat  atas berita di media sosial yang sesungguhnya  aku tidak tahu kebenarannya.

Lama-lama penat juga. Sebelum benar-benar ngantuk, aku buka kaleng kecil di ujung meja. Kaleng itu berisi uang senilai makan dua kali sehari yang tak kumakan. Jadi, karena aku puasa dan makan hanya sekali makan maka ada dua kali makan yang tersisihkan. 

Dua kali makan yang kusisihkan itu dalam wujud uang aku simpan di dalam kaleng. Rencanaku di akhir puasa ketika memasuki hari Paskah, uang yang terkumpul itu akan kubagikan kepada anak-anak jalanan.

Belum sempat aku menghitung uang itu ketika kudengar pintu diketuk. Segera kuletkkan kembali kaleng kebanggaan. Aku beranjak keluar kamar menuju ruang keluarga.

"Kakek," kataku menemui kakek.

Kakek terkekeh sejenak kemudian duduk di sebelahku.

"Sedang apa kamu?" tanyanya.

"Em, mau menghitung uang, Kek." Aku menjawab dengan mantap.

"Uang apa?" Kakek bertanya lagi.

Setelah kujelaskan, Kakek mengangkat ibu jarinya sambil mengangguk-anggukan kepala. Sejurus kemudian Kakek bertanya tentang puasaku.

"Target puasamu bagaimana?" Pertanyaan yang teramat tajam bagiku.

Aku blingsatan tak mampu menjawab. Kalau tentang pantang makan minum, aku mampu melakukannya. Namun, untuk pantang tidak bersungut-sunggut aku sungguh gagal. Sepanjang hari ini saja aku berkali-kali jatuh. Aku belum berkemenangan mengendalikan hati. Aku belum sempurna memagut sungut-sungut. Mulutku masih tak terkendali menyuarakan kata-kata membenci. Sungguh, untuk memasuki paskah ini aku seperti tak berani. Aku terdiam.  

Sementara mataku berkaca-kaca, kulihat jelas bagaimana Yesus dicambuk,  diumpat, diludahi, dicaci, dihina, disumpahi  dan Yesus tak sedikitpun bereaksi bersungut-sungut. Alih-alih bersungut, Yesus jutru mengucapkan kalimat, "Ya Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat!"

Dan, kurasakan tangan Kakek berulang-ulang kepalaku yang menunduk malu di pangkuan orang tua itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun