Mohon tunggu...
Imanuel  Tri
Imanuel Tri Mohon Tunggu... Guru - Membaca, merenungi, dan menghidupi dalam laku diri

di udara hanya angin yang tak berjejak kata. im.trisuyoto@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Menimbang "Geguritan" Puisi Jawa Sekelas Puisi Indonesia

8 Juni 2020   20:48 Diperbarui: 8 Juni 2020   20:48 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok.Kompas.tv.dengan perubahan penggabungan.

Puisi merupakan karya sastra Indonesia yang banyak digemari. Paling tidak di Kompasiana tiap hari mengalir tulisan puisi. Pembacanya juga terbilang tidak sedikit. Bahkan puisi juga sering kali memuncaki nilai tertinggi dan meraih predikat terpopuler. Hebat!

Begitu hebat puisi-puisi itu mengikat para penikmatnya. Dalam khazanah sastra Indonesia banyak puisi yang melegenda. Beberapa judul puisi itu ada dalam ingatan kita. Bahkan sampai sekarang masih sering dipakai sebagai materi lomba seperti "Aku" dan "Diponegoro" karya Chairil Anwar, "Gerilya" dan "Maskumambang" karya W.S. Rendra.

Ketika mengingat puisi-puisi Indonesia yang fenomental itu, penulis tergelitik untuk bertanya mana geguritan yang melegenda. Mana judul geguritan yang dalam ingatan kita? Bukankah geguritan juga mengalir setiap hari dari para penggurit yang juga memiliki nama besar!

Setelah beberapa saat merenung sambil berselancar di dunia maya, ketemulah jawaban. Ternyata ada banyak geguritan yang bisa dikatagorikan fenomental. Geguritan yang penulis temukan itu layak dimasukkan dalam karya sastra.

Karya sastra geguritan dan puisi merupakan karya yang kental dengan keindahan gaya bahasa. Beberapa unsur pembentuk kekuatan gaya bahasa itu seperti perulangan bunyi atau dikenal dengan persajakan. 

Di dalamnya juga terdapat aliterasi yang merupakan perulangan bunyi konsonan dalam satu baris, asonansi yang merupakan perulangan bunyi vocal dalam satu baris, kiasan bunyi seperti simbolik bunyi atau lambang rasa, dan metafora bunyi. 

Selain itu terdapat juga orkestra bunyi yakni kombinasi bunyi yang menimbulkan irama keindahan. Tentu tatanan bahasa yang sedemikian indah dalam geguritan dan puisi juga menyiratkan makna yang dalam.

Berikut geguritan (puisi jawa) yang fenomental itu. Tersajikan dua saja untuk kali ini!

Tatu 
(Didi Kempot) 


Senajan kowe ngilang, ra bisa tak sawang
Nanging neng ati tansah kelingan

Manise janji - janjimu kuwi
Nglarani ati

Senajan aku lara, ning isih kuat nyangga
Tatu sing ana ndhadha 

Perih rasane yen eling kowe
Angel tambane
Apa aku salah yen aku crita
Apa anane
Wong sing neng sandhingmu ben melu krungu
Piye tenane
Apa aku salah yen aku kandha
Apa anane
Ceritane tresna nalika biyen
Aku lan kowe
Senajan aku lara, ning isih kuat nyangga
Tatu sing ana dhadha
Perih rasane...

 

Banyu Langit 
(Didi Kempot) 

Swara angin 
Angin sing ngreridhu ati 
Ngelingake sliramu sing tak tresnani

Pengen nangis 
Ngetokke eluh ning pipi
Suwe ra weruh
Senajan mung ana ngimpi

Ngalema
Ngalem neng dhadhaku
Tambanana rasa kangen neng atiku
Ngalema
Ngalema neng aku
Ben ra adhem kesiram udaning dalu

Banyu langit
Sing ana ndhuwur kayangan
Watu gedhe
Kalingan mendhunge udan

Telesana
Atine wong sing kasmaran
Setya janji Seprene tansah kelingan

Adheme gunung merapi purba
Melu krungu swaramu ngomongke apa
Adheme gunung merapi purba
Sing neng Langgran Wonosari Yogjokarta

Janjine lungane ra nganti suwe suwe
Pamit esuk lungane ra nganti sore
Janjine lunga ra nganti semene suwene
Nganti kapan tak enteni sak tekane

Udan gerimis
Telesana klambi iki
Jroning dhadha
Ben ra garing ngekep janji
Ora lamis...

Benar, dua geguritan di atas lebih kita kenal sebagai syair lagu Didi Kempot. Nah, tetapi cobalah baca dan rasakan kenimatan atara repetisi bunyi, persajakan di akhir kalimat, harmoni bahasa, dan daya bayang yang luar biasa dalam. Pantas saja ketika geguritan itu dilantunkan oleh sang pencipta yang juga penyanyi itu, penikmatnya begitu antusias-histeris.

Sebagai penutup, ada yang penulis kagumi dan belum bisa terjelaskan. Pasti para penonton pentas Didi Kempot di berbagai tempat itu ada (bisa jadi banyak) yang tidak mengerti betul bahasa Jawa. Namun, mereka terlihat ikut meneteskan air mata! Nah, itu! @ Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun