Setelah tiga puluh lima tahun, kami para siswa sebuah sekolah ternama di pusat kota Jawa Tengah, Â berpisah, beberapa minggu lalu kami bertemu dalam ajang reuni. Suasana hingar-bingar para kakek dan nenek dihiasi dengan kalimat-kalimat usang era delapan puluhan. Â
Semula pertemuan hanya saling tatap. Maklum, daya ingat yang mulai pudar membuat masing-masing sedikit gentar untuk sekadar saling berujar. Maklum juga, Â wajah dan bodi yang kemarin kami bawa tidak lagi presisi seperti dulu lagi. Â
Barang kali itu yang membuat kami harus sejenak mengerem diri. Toh, ini tak harus membuat kami rendah diri. Sebab begitu ada teman yang membuka ingatan, satu-satu ikutan bersuara sepontan. Saling tanya saling sapa. Gerak reflek saling dekap atau sekadar jabat tangan kami lakukan. Â
Dari sekian tamu undangan yang dulu satu angkatan lulusan, yang dulu relatif sejajar dalam kesejahteraan, kemarin ada perbedaan. Bukan beda cara berdandan. Bukan pula pada cara berbicara. Beda yang membuatku terdesak untuk menulisnya yaitu pertanyaan pertama yang mereka lontarkan. Â
Ada teman yang tiga puluh lima tahun silam teramat pendiam, kemarin berubah garang menanyaku dengan pertanyaan yang menurutku sangat menghujam. "Hai, Â jadi apa kamu sekarang?" Begitu ia bertanya. Aku pun berterus terang yang kukerjakan sekarang. Tukang!Â
Tanpa kutanya, Â teman itu bercerita kalau dirinya sekarang menjadi kepala kantor dinas di pemerintahan. Dia bahkan membeberkan tentang 'basahkuyup'nya posisi yang dia tempati. Â
Belum sempat aku mengangguk sekadar mengkamuflasekan ketidaksukaan, Â ia sudah memukulku dengan pertanyaan berlagu, "naik apa, kamu? ". Dan yang ini pun tak perlu kujawab sebab yang sesungguhnya, dia ingin bercerita bahwa dia sudah berulang-ulang ganti mobil yang ia suka. Â
Ungkapan kebanggan demi kebanggaan yang berspirit kesombongan terus berlontaran dari teman-teman yang tiga puluh lima tahun lalu sebenarnya sama dalam satu sekolah satu didikan guru bangsa. Namun, apa mau kukata! Waktu memaksa mengubahkan pola pikir mereka.Â
Demi menjaga nasihat-nasihat guru kami yang masih kuhidupi sampai kini, aku sengaja diam tidak banyak menanggapi. Sebab, kumerasai itu hanya hampa yang tak memuaskan hati. Â
Namun, Â di ujung acara reuni, dari sudut belakang berlari tertatih menghampiri. Dua sahabat yang tetap melekat di hati. Satu sahabat bertubuh sedang dengan tatap mata sesahaja waktu sekolah. Satu lagi bertubuh kecil berpakaian sesederhana ala pemuda delapan puluhan. Â
Keduanya seperti sepakat. Melulai percakapan dengan petanyaan yang kusuka, "Berapa anakmu?"
Sebuah pertanyaan kekeluargaan. Sebuah pertanyaan yang mengagungkan  nilai  mahligai rumah tangga. Sebuah pertanyaan kemanusiaan mendasar yang tak terukur dengan harga. Sebuah pertanyaan yang tak lekang oleh zaman.Â
Lantas apa lagi yang menghalangi kami untuk sekadar berbagi. Hidup harus saling memberi.  Menghidupi  berarti saling mengerti. Suka dan duka terjalin untuk saling menyemangati. Â
Hingga tak terasa, aku masih menyukai ada tanya yang menggema di zaman teknologi ini: berapa anakmu?Â
Aku suka itu!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H