Petani di Timor, Propinsi Nusa Tenggara Timur, kebanyakan bertani secara tradisional. Salah satu alat pertanian yang petani gunakan untuk membuka lahan baru atau membersihkan kebun adalah parang. Uraiannya seperti dalam artikel terdahulu berjudul Parang Noe Tenu, Jati Diri Petani di Timor.
Salah satu hal penting dalam pertanian tradisional tersebut adalah ketajaman parang milik sang petani. Sebelum bekerja seorang petani akan terlebih dahulu mengasah parangnya. Saat tengah menggunakan parang di kebun, petani kerap berhenti sejenak untuk mengasah parangnya kemudian baru melanjutkan pekerjaannya.
Mengasah parang biasanya petani gunakan sebongkah atau selempeng batu dari sungai. Batu tersebut yang bertekstur pasir dan halus. Di setiap rumah petani selalu ada batu asah yang terletak di sekitar belakang rumahnya.
Ketika mengasah parang, salah satu cara menguji ketajamannya yakni dengan menyentuh mata parang secara perlahan dengan ibu jari. Kalau mata parang terasa tipis berarti parangnya sudah tajam.
Ketajaman parang sangat krusial bagi seorang petani terutama saat membuka lahan untuk kebun baru. Parang yang tajam akan mempermudah dalam menebas semak, menebang pohon, dan memotong ranting kayu.
Parang yang tajam membuat pekerjaan memotong lebih cepat dan ayunan parang terasa lebih enteng. Jika parang tidak tajam, memotong dengan parang lebih lambat dan ayunan parang tersendat. Tenaga untuk bekerja pun harus lebih banyak dan ekstra.
Sebagai perbandingan, memotong sepotong ranting kayu dengan parang tajam hanya dalam satu sabetan saja ranting sudah putus. Sementara memotong ranting kayu dengan parang yang tidak tajam harus dua hingga tiga sabetan agar putus.
Parang yang tajam bisa memutus beberapa ranting kayu sekaligus dalam satu sabetan parang. Dalam memotong-motong ranting, para petani kerap menggenggam beberapa ranting sekaligus yang mengarah ke tanah lalu menyabetnya dengan parang.
Seorang petani yang membuka kebun baru, kelihatannya sangat cepat dan mudah. Suara sabetan parang yang mengenai ranting kayu atau semak juga sangat khas karena parangnya yang tajam.
Dulu saat pertama kali membuka kebn baru, saya juga menggunakan parang seperti petani lainnya. Walau sudah mengasahnya namun parang yang saya gunakan rasanya tidak setajam parang milik petani lainnya. Saat menebas sebatang ranting kayu saja kadang saya harus dua atau tiga kali mengayunkan parang hingga ranting terputus.