Mohon tunggu...
Imanuel Lopis
Imanuel Lopis Mohon Tunggu... Petani - Petani

Petani tradisional, hobi menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perkembangan Aktivitas Nonton TV dalam Tiga Dekade Terakhir

17 April 2023   20:56 Diperbarui: 15 Mei 2023   20:51 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi nonton TV (Sumber: shutterstock)

Enokiu, kampung kami di pinggiran Kelurahan Niki-niki, Kecamatan Amanuban Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. 

Sejak belasan tahun lalu, kampung kami dan beberapa kampung lainnya mekar dari kelurahan menjadi desa mandiri, Desa Maunum Niki-niki.

Pada tahun 90-an, di kampung kami ini cuma ada empat rumah yang memiliki tv. Tiga rumah dengan tv berantena Ultra High Frequency (UHF) dan satu rumah dengan tv berantena parabola.

Kami bocah-bocah kampung biasanya menumpang nonton di rumah-rumah dengan tv berantena UHF. Dua tv masih menggunakan layar hitam putih dan satunya sudah layar warna. Layar televisinya selalu tampil dengan noise atau bintik-bintik putih pada layar.

Pemilik tv menempatkan antena UHF pada tiang yang tingginya belasan hingga puluhan meter di luar rumah. Tiang antena biasanya dari sebatang bambu panjang atau sambungan dua batang bambu. Ada yang menaikan tiang bambu lagi ke atas pohon agar antena dapat menangkap siaran tv. Kadang harus memutar-mutar tiang antena ke kiri atau kanan agar tampilan siaran di layar tv lebih cling.

Saluran tv yang biasa kami nonton yaitu TVRI dengan program berita dan hiburannya. Setiap hari Minggu, beberapa anak dari kampung kami sering ke pusat kota kelurahan untuk menonton film Wiro Sableng. 

Koleksi kaset DVD. Gambar: dokumentasi Imanuel Lopis.
Koleksi kaset DVD. Gambar: dokumentasi Imanuel Lopis.

Sejumlah pengusaha Tionghoa di Niki-niki memiliki tv berantena parabola sehingga mendapat banyak saluran tv, termasuk yang menyiarkan film Wiro Sableng. 

Keesokan harinya di sekolah, film Wiro Sableng menjadi cerita tersendiri dari anak-anak yang menonton kepada kami yang tidak menonton.

Di penghujung tahun 90-an, beberapa orang di kampung kami mulai membeli tv dengan tampilan layar warna namun masih menggunakan antena UHF. Televisinya masih model tabung sehingga tampak gemuk dengan ukuran standar 14 inch. Siaran tv juga hanya TVRI namun menjadi sumber hiburan dan informasi bagi kami.

Pada tahun 2000-an kemudian muncullah Video Compact Disc (VCD) player yang populer dengan nama VCD. Dengan perangkat ini yang tersambung ke tv, kita bisa menonton lagu atau film sepuasnya. Cukup memasukan kaset VCD yang berupa piringan ke player-nya.

Orang yang sudah memiliki tv kemudian membeli VCD player untuk sambungkan ke tv. Beberapa orang membeli tv sepaket dengan VCD player. Setiap saat pun bisa menonton lagu atau film.

Kehadiran VCD ini membuat kaset-kaset VCD baik lagu maupun film ramai beredar di pasaran. Bermunculan juga tempat-tempat penyewaan kaset VCD yang menawarkan film berbagai genre.

Semasa SMP, salah satu teman sekampung yang juga kakak kelas saya sering mendapat pinjaman kaset VCD dari teman-temannya. 

Sepulang sekolah kami segerombolan anak membawa kaset tersebut ke rumah yang memiliki VCD player. Meminta kepada tuan rumah untuk memutarkan film tersebut bagi kami. Jika tidak berhasil, kami ke rumah lain lagi yang memiliki VCD player.

Suatu kebahagiaan besar ketika tuan rumah mau memutarkan film dari kaset VCD yang kami bawa. Kami akan langsung buka sandal di depan pintu dan menyerbu masuk ke ruang tv di rumah tersebut. Duduk di kursi atau lesehan di lantai pun tak masalah asal bisa nonton film.

Saat kaset mulai berputar dan menampilkan logo produsen di awal film, kami semua terdiam karena film akan segera mulai. Kami pun menyaksikan film berdurasi satu jam lebih hingga selesai dengan tenang dan serius.

Kaset VCD dari tempat penyewaan kaset dengan pembungkusnya yang bertuliskan beberapa peringatan. Gambar: dokumentasi Imanuel Lopis.
Kaset VCD dari tempat penyewaan kaset dengan pembungkusnya yang bertuliskan beberapa peringatan. Gambar: dokumentasi Imanuel Lopis.

Satu film biasanya ada dua disk atau lempeng kaset VCD. Disk 1 dan disk 2 atau disk A dan disk B. Kedua disk ini ada dalam satu bungkusan kertas atau plastik seperti dompet.

Tampilan film di layar tv kadang-kadang tersendat karena kaset tergores atau gangguan lainnya. Kami menyebutnya kaset kotor. Mengatasi kaset kotor dengan menekan tombol fast forward (FF) pada remot kontrol agar melewatkan bagian yang tersendat tersebut. Kadang sebelum memasukan kaset ke player, terlebih dahulu menguapi kaset dengan udara dari mulut lalu mengelapnya dengan kain.

Kami biasanya menonton film-film laga atau perang. Film dari barat seperti film-film dengan aktor utamanya Chuck Norris, Arnold Schwazenegger, Silvester Stallone, Steven Seagal, Jean-Claude van Damme, Dolph Lundgren, Mel Gibson, dll.

Kami juga menonton film-film Mandarin dengan bintang Bruce Lee, Jet Li, Jackie Chen, dll. Sementara film domestik kebanyakan film-film pendekar seperti Wiro Sableng, Mak Lampir, Si Buta dari Gua Hantu, Jaka Tingkir, dll.

Menonton dari VCD kadang tidak perlu membawa kaset sendiri. Hanya sengaja melintas di depan rumah orang yang memiliki tv dan VCD player. Jika di rumah tersebut sedang memutar lagu atau film, kami langsung menyelonong masuk untuk menonton. Tuan rumah pun sudah paham dan membiarkan kami untuk menonton.

Setelah era VCD muncul lagi Digital Video Disc atau Digital Versatile Disc (DVD) yang lebih canggih dengan format video dan fitur-fiturnya. Namun orang yang sudah memiliki VCD player tidak lagi membeli DVD player.

Tv dan receiver siaran. Gambar: dokumentasi Imanuel Lopis.
Tv dan receiver siaran. Gambar: dokumentasi Imanuel Lopis.

Beberapa tahun kemudian sejak VCD hadir di kampung kami, ada dua atau tiga orang yang membeli antena parabola dengan set top box atau receiver. Dengan antena parabola bisa menonton siaran-siaran tv via satelit. Saluran tv lebih banyak dengan berbagai acara berita dan hiburan. Tampilan di layar tv juga terang tanpa noise. Sejak itu kami mulai tinggalkan VCD dan beralih ke tv parabola.

Waktu itu kami masih tetap menumpang nonton di rumah-rumah yang memiliki tv berantena parabola. Menonton kartun seperti Tom and Jerry, sinetron atau berita, tergantung selera tuan rumah.

Pada hari Minggu kami sering nonton bareng pertandingan tinju yang menampilkan Manny Paquiao, Bernard Hopkins, Oscar De La Hoya, Manuel Marquez, atau Floyd Mayweather Jr, dll. 

Nonton bareng tinju akan sangat seru ketika Chris Jhon petinju dari Indonesia yang bertanding. Rumah orang yang memiliki tv akan penuh sesak hingga penonton lain hanya berdiri karena tidak mendapat ruang sedikitpun untuk duduk.

Nonton bareng juga saat balapan Moto GP. Kala itu masa jayanya Valentino Rossi dengan kehebatannya dalam tikung-menikung atau mengasapi lawan di trek lurus. Anak-anak hingga orang dewasa sangat menggemari Moto GP. 

Saat race, selalu terdengar teriakan orang-orang yang nonton bareng di rumah-rumah. Entah siang bolong atau tengah malam, orang selalu riuh saat menonton Moto GP.

Seiring berjalannya waktu, saat ini orang-orang di kampung kami kebanyakan sudah memiliki tv berantena parabola sendiri. Tidak terlihat lagi anak-anak yang menonton di rumah orang lain karena sudah bisa nonton tv di rumah sendiri. 

Siaran-siaran olahraga seperti tinju dan Moto GP juga tidak lagi free to air tetapi acak sehingga tidak ada lagi nonton bareng di rumah-rumah.

Kehadiran handphone (HP) android sejak beberapa tahun ini juga turut mempengaruhi aktivitas orang dalam menonton tv. Anak-anak hingga orang tua sudah memiliki HP android sendiri sehingga bisa mengakses informasi atau hiburan di mana saja dan kapan saja tanpa harus menonton tv. Bermain game, berselancar di dunia maya, menonton video di Youtube, Facebook, Instagram, Tiktok, dll.    

Demikianlah sekilas potret aktivitas menonton tv dalam kurun tiga dekade terakhir ini di kampung kami di Timor. Kisah ini juga pasti mirip atau sama dengan kisah dari daerah lain di berbagai penjuru Indonesia.

Perkembangan teknologi ini rupanya berdampak pada kehidupan sosial masyarakat. Jika dahulu orang sekampung biasa beramai-ramai nonton tv di salah satu rumah, kini hampir setiap rumah sudah memiliki tv sendiri. Tidak perlu lagi ke rumah tetangga untuk nonton. 

Jika dahulu sekeluarga bisa beramai-ramai nonton tv dalam satu ruangan, kini tiap anggota keluarga asyik sendiri dengan HP di kamar masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun