Enokiu, kampung kami di pinggiran Kelurahan Niki-niki, Kecamatan Amanuban Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.Â
Sejak belasan tahun lalu, kampung kami dan beberapa kampung lainnya mekar dari kelurahan menjadi desa mandiri, Desa Maunum Niki-niki.
Pada tahun 90-an, di kampung kami ini cuma ada empat rumah yang memiliki tv. Tiga rumah dengan tv berantena Ultra High Frequency (UHF) dan satu rumah dengan tv berantena parabola.
Kami bocah-bocah kampung biasanya menumpang nonton di rumah-rumah dengan tv berantena UHF. Dua tv masih menggunakan layar hitam putih dan satunya sudah layar warna. Layar televisinya selalu tampil dengan noise atau bintik-bintik putih pada layar.
Pemilik tv menempatkan antena UHF pada tiang yang tingginya belasan hingga puluhan meter di luar rumah. Tiang antena biasanya dari sebatang bambu panjang atau sambungan dua batang bambu. Ada yang menaikan tiang bambu lagi ke atas pohon agar antena dapat menangkap siaran tv. Kadang harus memutar-mutar tiang antena ke kiri atau kanan agar tampilan siaran di layar tv lebih cling.
Saluran tv yang biasa kami nonton yaitu TVRI dengan program berita dan hiburannya. Setiap hari Minggu, beberapa anak dari kampung kami sering ke pusat kota kelurahan untuk menonton film Wiro Sableng.Â
Sejumlah pengusaha Tionghoa di Niki-niki memiliki tv berantena parabola sehingga mendapat banyak saluran tv, termasuk yang menyiarkan film Wiro Sableng.Â
Keesokan harinya di sekolah, film Wiro Sableng menjadi cerita tersendiri dari anak-anak yang menonton kepada kami yang tidak menonton.
Di penghujung tahun 90-an, beberapa orang di kampung kami mulai membeli tv dengan tampilan layar warna namun masih menggunakan antena UHF. Televisinya masih model tabung sehingga tampak gemuk dengan ukuran standar 14 inch. Siaran tv juga hanya TVRI namun menjadi sumber hiburan dan informasi bagi kami.