Masyarakat di Nusa Tenggara Timur sebagian besar adalah petani. Mereka bertani secara tradisional dengan peralatan seadanya seperti parang.Â
Para petani menggunakan parang untuk membuka lahan baru atau membersihkan kebun yang sudah ada. Seperti dalam artikel sebelumnya Sistem Pertanian Tradisional di Timor.
Di Timor, para petani menggunakan salah satu jenis parang  pabrikan yang cukup legendaris ini sejak dahulu hingga sekarang. Parang ini panjangnya di kisaran 60 cm, tipis, ringan dan kuat.Â
Ada motif buaya di salah satu sisi parang pada bagian pangkal parang. Pada kedua sisi parang, ada motif tiga garis yang membujur dari bagian pangkal ke tengah dengan panjang berbeda.
Di kalangan masyarakat berbahasa Dawan, parang ini memiliki nama noe tenu yang artinya sungai tiga atau tiga sungai. Orang menyebutnya demikian karena tiga garis dengan sedikit dalam pada parang tampak seperti kanal atau sungai. Orang Timor kemudian menyebutnya sebagai noe tenu.
Parang noe tenu menjadi senjata andalan para petani di Timor sejak dahulu hingga sekarang dalam bertani. Menebas semak belukar, menebang pohon kecil, atau membabat rumput liar di kebun.Â
Sementara jika harus memotong kayu atau menebang pohon yang cukup besar, para petani lebih menggunakan parang tempa dari pengrajin besi karena lebih berat, tebal dan kuat. Parang noe tenu yang ringan dan tipis tidak cocok untuk kayu yang besar.
Di pasar-pasar tradisional, banyak pedagang yang menjual parang ini. Mereka biasanya mengamplas lagi mata parang sehingga agak tipis dan tajam. Selain itu pedagang juga  memotong bagian ujung parang yang terlalu melengkung ke atas.
Pada masa mempersiapkan kebun saat musim kemarau, harga parang ini agak mahal karena banyak petani yang membelinya. Salah satu hal unik saat orang membeli parang noe tenu di pasar adalah mengosok-gosok buah sirih di salah satu sisi parang lalu mencium aroma sirih dari sisi lain parang tersebut. Jika tercium aroma sirih, berarti parang tersebut berkualitas dan boleh membelinya.
Setelah membeli parang noe tenu, ada yang memotong lagi beberapa centimeter ujung parang sehingga agak pendek dan ujungnya rata atau tidak membenjol. Para petani juga kerap mengganti lapisan kayu pada gagang parang karena gampang pecah saat menggunakannya. Mereka melapisi gagang parang dengan potongan ban kendaraan sehingga lebih awet.
Para petani biasanya membuat sarung parang sendiri dengan tambahan sepotong tali penggantung. Saat membawa parang, mereka salempangkan talinya di bahu sehingga parang dalam sarungnya terjepit di bawah ketiak.Â
Jika seseorang biasa memegang parang dengan tangan kiri, dia harus salempangkan parang di bahu kanan dan sebaliknya. Hal ini agar mudah dalam mencabut dan menyarungkan parang.
Mengasah parang biasanya menggunakan batu kali dengan tekstur agak berpasir. Titik asah parang adalah bagian tengah ke ujung parang. Bagian parang ini yang sering mengenai sasaran dalam menebas atau memotong.
Akibat sering mengasah bagian tengah ke ujung selama bertahun-tahun, parang yang semula lebar kemudian meruncing karena terkikis perlahan-lahan. Saat parang sudah mengecil atau meruncing, orang  akan membeli parang baru lagi.
Ketajaman parang merupakan hal penting karena mempermudah dalam menggunakannya untuk bertani. Ketajaman parang juga menjadi harga diri dari petani tersebut. Ketika parang tidak tajam, orang lain kerap mengolok pemilik dan parang tersebut.
Parang noe tenu rupanya tidak hanya sekedar alat sederhana untuk bertani namun menjadi jati diri para petani tradisional di Timor. Selama ini para petani menggunakan parang noe tenu untuk bertani. Mengusahakan pangan untuk menghidupi keluarganya. Â Â
Dalam kilau dan tajam parang noe tenu terkandung kegigihan dan semangat seorang petani untuk bekerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H