Mohon tunggu...
Jurnalis Bertasbih
Jurnalis Bertasbih Mohon Tunggu... Jurnalis - Kemuliaan Hidup bukan hanya sekedar rutinitas namun bagaimana bisa mermanfaat bagi umat manusia dan alam semesta

Jurnalis Bertasbih

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Hari Tani Nasional (HTN) 24 September 2023, Aksi Petani Center Sulbar Desak Reforma Agraria Sejati

25 September 2023   22:19 Diperbarui: 26 September 2023   03:00 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani Center Sulbar Peringati Hari Tani Nasional ke-63, do Kampung Maranatha, Desa Lariang, Kecamatan Tikke Raya, Pasangkayu, Minggu (24/9/2023) kema/Dok Imam Sadewa Rukka

Hari ini, 24 September 2023, Petani Center Sulbar bersama jutaan petani se-Indonesia lainnya memperingati Hari Tani Nasional (HTN) ke 63, Setelah sebelumnya, sejak awal bulan September, Petani Center Sulbar yang di Konsentrasikan di Desa Lariang menyelenggarakan berbagai jenis kegiatan yang jadi rangkaian peringatan HTN, hari ini petani yang tergabung dalam Petani Center Subar melakukan aksi sebagai wujud perjuangan petani dalam reformasi agraria dan pembebasan petani dari kriminalisasi serta isu-isu kejahatan lingkungan yang terdampak dari eksistensi korporasi perkebunan kelapa sawit.

Dari Desa Lariang, Kecamatan Tikke Raya Kabupaten Pasangkayu, Pengurus Wilayah (PW) Petani Center Sulawesi Barat melalui Kelompok Masyarakat melakukan konsolidasi organisasi memperingati Hari Tani Nasional yang dipusatkan di Kawasan Kampung Maranatha, Dusun Marisa, Desa Lariang, Kecamatan Tikke Raya, Kabupaten Pasangkayu (Sulbar) hari ini (24/09) kemarin.

Imansyah Rukka, Direktur Eksekutif Petani Center mendesak pemerintah untuk segera berkomitmen mewujudkan reforma agraria sejati untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria yang masih banyak terjadi di Sulbar dan segera menghentikan kriminalisasi petani yang saat ini marak di Kabupaten Pasangkayu.

Aksi dan Orasi Petani Center Sulbar di HTN 2023

Dalam sambutan orasinya di Hari Tani Nasional ke-63 yang dibacakan Imansyah Rukka bahwa baru saja sekitar bulan lalu, tepatnya pada tanggal 17 Agustus, kita secara bersama-sama memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-78 yang kita peringati bersama dengan penuh hikmad di lokasi lahan Enclave Afdeling Golf PT. Letawa

Peringatan Hari Kemerdekaan ada hal yang menarik, dan sangat paradoks, karena pada saat yang bersamaan saya rasakan sejak sejak aktif dalam menghimpun gerakan kelompok masyarakat petani Desa Lariang yang tergabung dalam Petani Center saat melaksanakan upacara pengibaran bendera merah putih di HUT kemerdekaan RI itu muncul pertanyaan yang sangat menggelitik : Apakah para petani sudah merdeka?


Makin ke dalam perjuangan dan pergerakan organisasi petani ini, lantas yang menjadi pertanyaan "Apakah kita para petani kita benar-benar sudah merdeka?" bahkan makin nyaring dan menggema di hati nurani kebanyakan para petani dan rakyat Indonesia.

Sebenarmya, jika kita mengamati produk politik yang dilahirkan pemerintahan RI, terutama Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentag Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), bangsa ini sudah sangat merdeka.

Sebab undang-undang tersebut benar-benar sudah berpihak kepada rakyat. Inilah undang-undang yang secara revolusioner mengubah 180 derajat peraturan kepemilikan tanah dari versi penjajah Belanda yang memberikan keleluasaan kepada penjajah memiliki dan menguasai tanah sesuka-suka mereka.

intinya, UUPA yang lazim disebut UU Reforma Agraria ini filosofinya "mengembalikan hak atas tanah kepada rakyat atau kepada hak ulayat, yakni kepada rakyat Indonesia !"

Karena mayoritas rakyat Indonesia pada dasarnya adalah petani gurem atau petani yang kepemilikan lahannya kurang dari 0.3 hektar maka tidak salah jika tiga (3) tahun kemudian Presiden Sukarno menetapkan tanggal disahkannya UUPA 24 September (1960) sebagai hari dikembalikannya hak (ekonomi) atas tanah kepada petani, yang saat ini kita kenal dan peringati setiap tahunnya sebagai Hari Tani Nasional.

Saudara-saudaraku para petani yang ada disini sebangsa dan se-tanah air, Kita berkumpul di siang hari ini ditempat ini, dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional ini. Jika dihitung sejak ditetapkan oleh Presiden Sukarno, ini merupakan peringatan Hari Tani Nasional yang ke-63

Dan terbilang unik, karena hari ini kita telah membuat sejarah baru dan pertama di Desa Lariang, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat, bahwa peristiwa yang sangat monumental setelah kegiatan pengibaran bendera merah putih di kawasan afdeling golf PT Letawa, kemudian kita kembali memperingati Hari Tani Nasional, alih-alih tanah yang selama ini kita perjuangkan bersama yakni lahan enclave 200 hektar sudah kembali menjadi milik kelompok masyarakat yang meruapakan petani, justru yang mengemuka pada setiap memperingati Hari Tani Nasional, yang diungkap teman-teman pejuang hak-hak masyarakat sipil, khususnya hak-hak para petani, justru angka konflik tanah yang terus meningkat, dengan jumlah konflik agraria yang semakain sulit menemukan titik penyelesaiannya.

Mari kita sama-sama menengok sejarah pada tahun 1960 yang silam, para pendiri bangsa yang merancang dan merumuskan UUPA saat situasi politik relatif stabil, karena pasca gejolak politik yang tiada henti hingga muncul Dekrit 5 Juli 1959, pemerintahan waktu itu ingin agar rakyat, khususnya petani, benar-benar merasakan kemerdekaan di negeri yang mereka cintai.

Karena pemerintah tidak ingin ada konflik soal tanah muncul ke permukaan. Para pendiri bangsa sangat paham bila muncul konflik soal tanah akan menimbulkan keguncangan politik yang sulit diprediksi dan sulit dikendalikan.

Para pendiri bangsa sangat paham, perang besar berkepanjangan yang merugikan pemerintahan penjajahan Belanda terjadi gara-gara, atau dipicu oleh konflik soal tanah. Itulah Perang Diponegoro di Jawa (1825-1630) dan Perang Padri di Sumatera Barat (1803--1838).

Saudara-saudaraku para petani sebangsa dan se-tanah air, saya sangat memahami, karena terus melalukan riset, analisa dan pendalaman akar persoalan konflik agraria yang terjadi diberbagai wilayah nusantara yang paling substansial adalah yakni soal tanah. Dan yang paling banyak terdampak persoalan tanah adalah para petani dan kaum buruh tani.

Awal mulanya dimulai dari petani, lalu kemudian lahannya diserobot dan digusur,  kemudian menjadi buruh bahkan pengagguran serta di kriminalisasi dengan tuduhan mencuri buah sawit dan kesulitan memperoleh lahan dan perumahan, bahkan yang paling sederhana sekalipun. Itulah sebabnya, ujung dari persoalan tanah kemudian menjadi persoalan yang berujung terjadinya pelanggaran Hak Azasi Manusia.

Kemudian pendapat tersebut dikonfirmasi oleh Badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk Departement Hak Asasi Manusia/Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) yang menyatakan bahwa akses untuk menggunakan dan mengendalikan tanah berdampak secara langsung pada pemenuhan hak asasi manusia.

Sengketa tanah juga sering menjadi penyebab terjadinya konflik sosial yang bisa menjadi konflik horisontal, benturan horisontal, dan kekerasan terhadap rakyat yang berujung pelanggaran HAM.

Apa yang menjadi kekhawatiran Kantor Komisi Tinggi PBB untuk HAM memang terjadi di Indonesia. Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada 2019 terjadi 279 Konflik Agraria, melibatkan tanah seluas 734.239 hektar dan berdampak pada 109.042 Kepala Keluarga.

Kemudian pada 2020 KPA mengungkapkan ada total 241 kasus Konflik Agraria. Terjadi di 359 daerah di Indonesia dengan korban terdampaknya 135.332 Kepala Keluarga (KK). Tertinggi terjadi pada sektor perkebunan (122 kasus).

Dalam 5 tahun terakhir konflik agraria di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, pertanian, infrastruktur dan  telah terjadi 2.047 kasus. Catatan Komnas HAM dalam kasus Konflik Agraria yang diadukan ke lembaga tersebut kini tak pernah menemukan penyelesaiannya.

Mangapa Konflik Agraria nyaris tak bisa diselesaikan secara proprosional dan tuntas, kecuali memberikan keuntungan kepada para pemilik modal dan korporasi? Intinya karena para pejabat kita, terutama yang terkait dengan soal tanah, yang memiliki otoritas di sektor tanah, mentalnya masih mental pejabat zaman penjajah. Jadi tidak kompatibel dengan UUPA produk zaman kemerdekaan.

Saudara-saudaraku para petani sebangsa dan se-tanah air, kita harus bergerak maju. Kita harus memiliki perhitungan ke depan yang positif. Harus memiliki kemajuan untuk memperbaiki berbagai indikator kesejahteraan rakyat, memperbaiki catatan-catatan buruk bangsa ini di berbagai sektor.

Mari kita akhiri seremoni peringatan hari-hari bersejarah bangsa ini dengan ironinya sendiri-sendiri.

Mari kita secara bersama-sama dengan penuh rasa dan tanggung jawab sebagai pegiat aktifis petani center memulai dengan bekerja sesuai dengan agenda organisais yakni memperbaiki agar kegiatan dan pelaksanaan peringatan Hari Tani Nasional ini dengan progres dan target-target sasaran pencapaian yang terukur. Agar ditahun-tahun berikutnya berbagai ragam persoalan konflik-konflik agraria bisa diminimalisir.

Untuk itu, peringatan Hari Tani Nasional yang kita laksanakan dari tempat yang bersejarah ini, saya mendesak dan memohon kepada Bapak Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk segera :

1. Memaklumatkan Moratorium Nasional penggusuran rakyat dari tanah yang dikelolanya, baik di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, pertanian, infrastruktur maupun properti.

2. Mengevaluasi, memeriksa dan mengaudit terhadap semua izin peruntukan penggunaan tanah baik itu SIPPT, HGU, HGB, dll yang telah diberikan, baik masa berlakukanya maupun cara mendapatkan izin-izin tersebut.

3. Para pemilik SIPPT, HGU, HGB, dll diwajibkan untuk mengumumkan a) jenis dan nomer surat izin, b) luas wilayah yang diberikan izin, c) peta (denah) lokasi lahan yang diizinkan dikelola, dan memasangnya di atas plang (billboard) atau yang sejenisnya di tempat strategis agar diketahui masyarakat, khususnya penduduk/pengelola lahan yang menjadi obyek surat izin tersebut.

Dengan cara ini persoalan pertanahan menjadi lebih transparan, dan apabila masyarakat setuju dengan izin-izin tersebut bisa mempersiapkan diri secara lebih seksama, sehingga tidak menjadi korban mafia tanah atau persekongkolan jahat antara pemilik modal dan para preman atau penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk membela para pemilik modal.

Setuju? Jika setuju, saya minta kepada Henry Saragih (Ketua Umum Serikat Petani Indonesia-Presiden La Via Campesina) serta kawan-kawan di Jaringan Aktivis Gerakan Pro Demokrasi (ProDEM) serta para tokoh pergerakan pembela demokrasi, untuk secara bersama-sama membuat surat resmi kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Jangan lupa, tembusannya dikirim ke seluruh Kepala Daerah (Bupati, Walikota dan Gubernur) di seluruh Indonesia. Tembuskan juga kepada Panglima TNI dan Kapolri, agar diteruskan ke pejabat di bawahnya, Kodam, Kodim, Polda dan Polres di seluruh Indonesia.

Saya percaya, dengan tekad dan semangat yang kuat, serta pengawalan yang serius dari seluruh rakyat Indonesia atas permintaan "Tiga Poin" tersebut di atas, 1. Moratorium penggusuran secara nasional, 2. Mengaudit semua jenis surat izin, dan 3. Transparansi penguasaan pengelolaan lahan, persoalan pertanahan di negeri ini, Konflik Agraria, ditahun yang akan datang akan menurun secara signifikan.

Semoga Tuhan Yang Maha Segalanya senantiasa membimbing jalan yang lurus atas perjuangan kita semua...

Merdeka...! Merdeka !..Merdeka !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun