Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kopi Madu

25 Maret 2017   17:16 Diperbarui: 25 Maret 2017   17:33 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOPI MADU (DOK.PRIBADI)

“Asem!”

Sepagi ini Sam Jack sudah menyemprotkan umpatan di depan hidung saya. Saya turunkan lembaran koran dan suryokontho dalam genggaman. Ia duduk di kursi, di hadapan saya. Sebuah dokumen dalam maf ia taruh di meja. Dan, bibir hitamnya menyeruput kopi yang dibawa dari rumahnya.

Kopi madu.” Katamya disela-sela menyeruput minuman hitam itu.

“Kopi mandu kan terasa manis ada wangi manisnya?” Tanya saya, agak heran.

“Rasanya luar biasa. Apalagi madunya diberi dengan rasa ikhlas. Hehe..”

Beberapa waktu lalu Sam Jack memang saya beri sebotol madu kembang kopi (tawonnya ditangkar di perkebunan kopi).

“Lhah! Yang asem apa?” Tanya saya masih merasakan semprotannya.

“Nah, itu! Beberapa waktu lalu saya bertemu seseorang, orang desa sebelah, di sebuah warung kopi. Mendengar ceritanya, ia seniman besar.” Sam Jack membuka ceritanya.

Cerita selanjutnya, seperti biasanya, Sam Jack menyampaikan dengan penuh gelora. Kebetulan ia mampir di warung kopi. Disana sudah ada orang setengah baya yang menyampaikan pengalamannya keliling kota. Orang itu menyebut nama-nama seniman yang ada di kota itu. Sekaigus kemashuran mereka.

Sam Jack tidak terlalu paham nama-nama yang disebut itu. Ketika Sam Jack ikut mendengarkan cerita orang itu, ia makin menggambarkan ke-wah-an perkembangan kesenian di kota itu. Juga bangunan gedung keseniannya. Al-hasil, menurut orang itu, senimannya hidup berkecukupan.

Sam Jack memandang dengan seksama, mungkin terkesima, kepada orang itu. Gayanya, pakaiannya, rambutnya, khas seniman. Orang itu makin mengembangkan ceritanya, tentang pergaulannya dengan pejabat-pejabat. Tentang kepala daerah yang perhatian kepada aktifitas seniman. Dalam hati, Sam Jack berdecak kagum.

“Jadi, sampean seniman?” Tanya Sam Jack sambil menunjukkan kekagumannya.

“Ya, iya lah. Masak model begini bukan seniman. Saya juga punya bengkel.” Jawab orang itu.

“Bengkel motor?” Tanya Sam Jack.

“Wah, bagaimana sampean ini, ya bengkel tempat berkarya seni. Saya bikin lukisan, saya bikin patung.”

“Wah, luar biasa. Ternyata di desa ini memiliki seniman besar.” Puji Sam Jack.

Cerita di warung itu diakhiri dengan Sam Jack minta alamat Sang seniman itu.

“Kalau di desa ada seniman semacam dia, seharusnya kebudayaan di desa itu maju pesat. Apa desanya tidak memfasilitasinya ya?” Kata Sam Jack kepada saya.

“Barangkali desanya tidak tahu. Ya, didorong dia agar mulai terlibat di desa.” Saran saya.

“Betul. Saya juga berpikir begitu, Pak Tua. Karena itu saya datang ke rumahnya.”

Selanjutnya, Sam Jack menceritakan pertemuan keduanya dengan Sang Seniman itu. Sam Jack datang ke bengkel yang dimaksud seniman itu. Ada ruangan kira-kira ukuran tiga kali empat meter, sebuah lukisan tergantung di dinding, asbak yang penuh puntung rokok, dan gelas-gelas kotor bekas kopi.

“Karya saya sudah banyak diambil kolektor.” Kata Sang Seniman memperkenalkan tempatnya.

Sang seniman itu masih banyak bercerita, Sam Jack banyak mendengar dan bertanya. Lantas Sam Jack menyarankan Sang seniman untuk menyampaikan gagasannya kepada desa.

“Lantas, apa katanya?” Sam Jack memberikan teka-teki kepada saya. “Ia bilang, apa yang bisa desa berikan kepada saya. Desa harus profesional menghargai seniman. Wow, ini luar biasa. Saya tawarkan untuk bekerjasama. Pertemuan ini kami tutup dengan kesepakatan.”

“Lantas?” Korek saya.

“Ini!” Sam Jack menyodorkan map berisi dokumen yang ia bawa. “Saya menghubungi sebuah perusahaan di desa itu. Maksud saya untuk memperoleh donatur, perusahaan itu malah menawari untuk mensponsori pameran seniman desa.” Kisahnya.

Katanya, Sam Jack bersemangat untuk menemuhi Sang Seniman itu. Ia menghubunginya lewat SMS karena ditelepon tidak diangkat. Mereka bersepakat untuk bertemu di warung kopi itu.

Pada hari dan jam yang telah ditentukan Sam Jack sudah hadir di warung kopi itu. Ia pesan kopi dua gelas, satu untuknya, satu lagi untuk Sang Seniman.

Satu jam Sam Jack sudah berada di warung itu, tetapi Sang Seniman belum muncul. Ia menilpunnya tetapi tidak diangkat. Lantas Sam Jack mengirimkan SMS, tidak terbalas. Sam Jack masih berusaha menunggu. Tetapi, setelah tiga jam, dan kopi Sang Seniman itu ia seruput sampai hampir habis, Sam Jack mulai gelisah.

“Menunggu siapa Mas?” Tanya tukang warung.

“Apa seniman yang bertemu saya disini tempo hari pernah datang kesini lagi?” Saya balik bertanya.

“Apa mau bayar bon-nya?” Katanya dengan cibiran bibirnya.

“Astaga! Saya tersenyum kecut. Saya segera bayar kopi saya.”

“Yah, begitulah Jack. Hidup tidak bisa hanya diandalkan dengan omong besar. Seperti kopi madumu itu, hidup harus ditempuh meski dengan kepahitan, ketika kita bisa meramunya dengan kreatifitas yang semanis madu itu, akan menyegarkan jiwa kita.” Simpul saya.

“Asem!”

Sam Jack menyeruput kopi madunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun