Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perihal OTT

24 Maret 2017   13:20 Diperbarui: 24 Maret 2017   13:32 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
GRENDER (DOK.PRIBADI)

Tidak biasanya. Ketika saya baru memulai “upacara” baca koran, Sam Jack sudah keluar dari pintu gerbang rumah(orang tua)-nya. Ia menghampiri saya dengan langkah yang pasti. Tetapi, ketika sudah duduk di kursi di hadapan saya, ia kelihatan gelisah.

Tidak seperti biasanya. Ia masih bungkam, tak ada ledakan-ledakan kata yang menjadi cirinya. Matanya, memandang bolak-balik dari angkasa biru yang kosong ke tumpukan koran di meja. Sesekali, nafasnya yang masih bau rokok, dihembuskan kencang.

“Ada apa Jack.” Sapa saya.

Setelah beberapa detik ia baru mengeluarkan kata. Hanya satu kata. “Gila.”

“Siapa gila?” kejar saya.

Sam Jack tidak menjawab. Ia mengambil se-eksemplar koran lokal, kemudian membolak-balik halaman demi halaman. Kelihatannya, ia hanya membaca judul atau foto-foto yang ada di dalamnya.

“Ini dia.” Katanya.

Hanya itu yang dikatakan. Matanya dipertajam menelusuri baris-demi baris satu berita yang ia temukan. Nafasnya tertahan. Dan, saya membiarkanya, tidak berusaha mengintip berita yang ia baca. Saya ingin dia yang menyampaikan dengan cara pandangnya.

“Betul, gila!” Ia menutup korannya. Pandangannya ia tancapkan di langit yang mulai benderang.

“Berita apa Jack?” Saya memutus lamunannya.

OTT. Operasi Tangkap Tangan Kepala Desa.” Sesalnya.

“Ha! Kepala Desa kena OTT?” Tanya saya. Saya hanya ingin melihat reaksinya. Sesungguhnya kabar itu telah mampir di telinga saya semalam.

“Saya tidak habis pikir, apa sih kebutuhan Kepala Desa kok sampai harus mencari-cari keuntungan yang besar?” Pikiran tajamnya mulai keluar.

“Kepala Desa kan memang begitu. Ada kesempatan.” Pancing saya.

“Tidak. Tidak.” Pangkas dia. “Tidak semua Kepala Desa begitu. Ada Kepala Desa yang saya kunjungi tidak begitu. Ada yang punya pengabdian yang tinggi untuk membangun desanya. Sekedar contoh, saya pernah berkunjung ke salah sau desa yang letaknya di pinggir pantai. Tidak sengaja saya datang ke sana. Ketika saya telepon, dia masih di kantornya. Jam berapa saat itu? Jam lima sore. Ini hebat.” Ceritanya.

Selanjutnya, ia menceritakan tentang kondisi desa di bibir pantai itu. Potensinya dan masalah-masalahnya. Ia menceritakan dengan berapi-api tentang gagasan-gagasan Kepala Desa itu. Keterbukaannya dengan memampang APBDes-nya (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa). Kepala Desa itu juga menunjukkan draf peraturan desa tentang pungutan.

“Kepala Desa itu tidak hanya menunjukkan di atas kertas, tetapi mengajak saya ke lokasi, meskipun sudah melintasi magrib. Kami membawa senter ke tempat-tempat itu.” Tuturnya.

“Seberapa banyak Kepala Desa seperti itu?” Pancing saya.

Sam Jack terpekur cukup lama. Saya menunngu apa yang sedang berlintasan di bathok kepalanya.

“Itu masalahnya. Saya agak menemukan jawaban setelah membaca berita ini. Pandangan orang awam kalau cerita di warung-warug, mengatakan kalu Kepala Desa suka berkunjung ke tempat-tempat yang berbiaya besar. Apakah memang seseorang setelah menjadi Kepala Desa menjadi hedonis? Menjadi raja-raja kecil?” Sam Jack menghela nafas.

“Jawaban setelah membaca berita itu?” Korek saya.

“Kalau yang seperti kena OTT ini, memang tak kuasa melawan nafsu purba dalam dirinya. Menjadi Kepala Desa itu butuh waktu 24 jam untuk melayani masyarakatnya. Tapi, kalau kemudian lebih sering datang ke tempat-tempat hiburan, bagaimana pelayanannya pada masyarakat. Belum lagi biaya untuk hiburan semacam itu cukup besar. Bisa jadi penghasilan resmi satu bulan tak cukup untuk satu kali berkunjung untuk karaoke.” Argumennya.

“Siapa tahu memang dari keluarga kaya. Ia keluarkan biaya macam itu dari kantongnya sendiri.” Saya buka kemungkinan.

“Berapa yang bisa begitu? Lalu, mengapa mesti menjadi Kepala Desa kalau hanya untuk berfoya begitu?” Pertanyan kritisnya.

“Jadi, betul perubahan gaya hidup itu yang menyebabkan sampai kena OTT?” Pancing saya lagi.

“Salah satunya.” Jawabnya singkat.

“Apa tindakanmu?”

“Sebagai pendampin desa partikelir, saya menganjurkan dipergencar OTT itu. Biar yang lain mikir. Saya dan teman-teman pendamping, paling banter bisa memberikan masukan tentang tata aturan dan bagaimana melaksanakannya, agar terhindar dari kasus hukum. Sementara, negara dan masyarakat harus menciptakan sistem yang memperkuat jiwa kepemimpinan Kepala Desa.” Tutupnya.

Sam Jack berdiri. Ia pamit untuk mandi.

Pagi yang mengelisahkan, sekaligus mencerahkan. Kekuasaan, sekecil apapun kekuasaan itu, sering menyesatkan kalau yang memperoleh amanah itu tidak memiliki integritas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun