Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lebaran Bersama Nenek

5 Juli 2016   00:46 Diperbarui: 5 Juli 2016   01:00 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari: http://m.cumicumi.com

Lebaran tiba. Dunia meledak dengan pakaian baru, lalu lalang orang berkunjung, suara petasan dan bau mesiu. Aku bergegas mengunjungi nenek, minta maaf dan mendoakannya agar bahagia dalam setiap kesendiriaannya. Aku ingin makan ketupat bersamanya dengan sayur opor kesukaan kami berdua.

Sepanjang hidup, aku selalu berlebaran bersama nenek. Dialah satu-satunya orang tua yang menjadi pusaraku. Dia mengasihiku selayaknya orang tua mengasihi anak-anaknya. Aku menyayanginya semestinya seorang anak berbakti kepada orang tuanya.

Sepanjang malam bulan puasa kami senantiasa semeja menyantap makan sahur seadanya yang kami punya. Nenek memberikan porsi nasi yang lebih di piringku, sementara ia cukup segengam. Kalaupu kemudian, hanya ada seiris tempe goreng, ia menaburkan garam diatas nasinya. “Agar puasamu kuat.” Katanya. Dan, aku menikmatinya, kenikmatan yang luar biasa ini. Sehabis itu kami bergantian memimpin doa puasa.

Pada penghujung puasa aku mendapat hadiah sepasang pakaian baru darinya. Aku selalu tidak pernah tahu kapan dia memperoleh pakaian itu. Ia membeli di pasar mana aku juga tidak pernah memperoleh penjelasan. Aku tidak tahu bagaimana ia menentukan ukuran bajuku. Sering kali aku memperoleh baju yang kebesaran. Katanya, aku akan lekas besar, sehingga pakaian itu bisa berumur panjang. Tapi, ketika baju itu aku pakai, lengannya lebih panjang dari lenganku. Meskipun begitu, aku bahagia. Aku bergembira.

Pada setiap sore hari menjelang lebaran nenek masak opor ayam. Ia menyembelih sendiri ayam peliharaannya. Aku sangat lahap makan rempela, usus, dan hati yang digoreng kering. Paginya, ketika akan berangkat sholad id di kampung, kami makan opor dulu. Sayur ayam ini cukup banyak. Nenek menyuruhku untuk membagikan sebagian kepada tetangga.

“Kamu keliling Le, ke tetanga-tetangga, minta maaf pada mereka.” Perintahnya. Aku menurutinya keliling kampung, sementara nenek tetap di rumah. Tak pantas kalau orang tua yang mengunjungi yang muda untuk minta maaf. Aku selalu riang kalau sudah pulang, karena sakuku menggembung uang pemberian tetangga.

Aku selalu bersama nenek setiap lebaran, karena memang sepanjang hidup aku bersama nenek.

***

Sejak usia satu tahun, aku diserahkan ibuku kepada nenek. Saat itu kakek masih hidup. Kata nenek, ibu pergi merantau ke luar negeri. Katanya kerja. Ibu masih mengabari keberadaannya ketika lebaran pertama setelah ia meninggalkan kami. Ia mengirimiku pakaian. Baju dan celana yang paling bagus yang pernah aku miliki.

Pada waktu lebaran berikutnya, ibu hanya mengabari tempatnya bekerja. Semenjak aku usia lima tahun, ibuku sudah tidak ada kabarnya sama sekali. Kami begitu meindukannya. Nenek sering kali termangu di beranda, aku tak bertanya. Tapi aku mengira ia sepertiku menunggu kabar tentang ibu. Harapan itu ditenggelamkan oleh suara takbir lebaran. Aku terhibur kemeriahan lebaran di kampung.

Usia kelima tahunku itu, seperti terjadi perampasan-perampasan pada orang-orang yang melindungiku. Sebulan setelah lebaran kakek meninggalkan kami semua. Saat itu aku menangis melihat nenek terisak di bawah persemayaman jenasah kakek. Aku kira nenek juga membayangkan bagaimana hidup kami nanti tanpa kakek, setelah kami merasa jejak ibuku terhapus oleh waktu.

Sejak tidak ada kakek, aku sering bertanya kepada nenek tentang ibu. Ia bilang ibu orangnya keras kepala. Ia seringkali bertindak tak menghiraukan nasihat kakek dan nenek. Ibu suka semaunya sendiri kalau sudah punya keinginan. Tetapi, kata nenek, ibu sebenarnya seorang perempuan penyayang.

Ketika ibu hendak pergi keluar negeri, kakek dan nenek tidak setuju. “Bekerja apa kamu di negeri orang.” Kata kakek. Nenek menyarankan untuk hidup seadanya bersama mereka di rumah nenek. Tetapi, ibu yang lulusan SMEA itu, memaksa agar memeproleh penghasilan yang besar untuk menghidupi mereka dan aku.

Pertengkaran kakek dan ibu terjadi sangat keras. Rumah terasa seperti kapal pecah. Samar-samar aku emngingat peristiwa itu. Sampai keesokan paginya, ketika menjelang subuh dengan suara yang pelan ibu menyerahkanku kepada nenek. Saat itu aku sudah terbangun, memperhatikan ibu keluar rumah membawa tas pakaian berwarna merah.

Sesudah itu, sesudah kepergian ibu, rumah kami menjadi rumah yang bisu. Sunyi dan sendu. Tidak banyak percakapan, pekerjaan-pekerjaan rumah dilakukan seperlunya. Samar-samar aku masih merasakan suasana murung itu.

Sesudah kepergian ibu itu, sesudah ibu tidak berkabar lagi, sesudah usiaku merangkak lima tahun, seorang teman mengejekku, “Hai, anak sebatang kara. Bapakmu tidak jelas dimana. Ibumu pergi tak tentu arah. Apa kamu tidak pergi juga mencarinya.” Kata temanku itu seperti menusukku, melemparkanku pada kesunyian. Karena itu aku bertanya kepada nenek tentang bapak.

Nenek menjawabnya dengan muka yang tagas, “Le, bapakmu tidak perlu ditanyakan, kamu tidak perlu tahu. Apa nenek dan kakek tidak cukup? Biar nanti yang mengejekmu aku adukan pada polisi.”

Hanya sekali itu aku bertanya tentang bapak. Meskipun aku ingin tahu, aku tidak akan bertanya lagi tentang bapak.

***

Lebaran selalu tiba. Aku lebaran selalu bersama nenek. Karena hidupku selalu bersama nenek. Lebaran kami selalu begitu, bertamu minta maaf, suara petasan dan bau mesiu. Selalu begitu. Seperti puasa kami selalu begitu. Seperti hidup kami selalu begitu. Berputar mengikuti irama waktu. Perbedaanya, setiap berganti waktu aku semakin tahu. Waktu mengajariku untuk tahu bagaimana menghidupi kehidupan kami. Usia remaja delapan belas tahun, aku mulai masuk pada penghidupan itu.

***

Waktu selalu memberi pelajaran yang hikmahnya untuk direnungkan. Usia remaja delapan belas tahun, aku siap menhadapi lebaran yang berbeda. Hampir satu tahun aku telah bekerja dengan penghasilan yang cukup untuk ukuran kami, dapat menyiapkan lebaran yang berbeda bersama nenek.

Kami menjalani puasa tidak lagi dengan makan sahur yang seadanya. Aku sudah bisa belanja sendiri, dan telah terbiasa menyiapkan makan bersama nenek. Aku ingin sepanajang puasa mengembirakan nenek. Usia delapan belas ingin kumanfaatkan  untuk melupakan sama sekali perjalanan kelam masa lalu, melupakan bapak sama sekali, mengikhlaskan ketidak hadiran ibu.

Puasa ini memang lain. Kami berdua, aku dan nenek menambah waktu do’a kami untuk mereka. Untuk kakek yang meninggalkan kami di usia lima tahun, untuk ibu yang melepasku di usia dua tahun, untuk bapak yang tak pernah jelas bagi hidupku. Nenek kerap menitikkan air mata. Dan aku mengusapnya dengan punggung tangan. Puasa yang luar biasa.

Puasa di usia delapan belasku menjadi makin luar biasa. Lebaran kurang tujuh hari, tanpa tanda-tanda nenek meninggalkanku. Ia tidak bisa aku bangunkan lagi ketika hendak makan sahur. Sekali lagi, bagian hidupku dicabut. Aku sempatkan mencium wajahnya untuk terakhir kalinya sebelum dibungkus kain kafan. Wajahnya tersenyum. Entah apa makna senyumnya.

***

Lebaran tiba. Dunia meledak dengan pakaian baru, lalu lalang orang berkunjung, suara petasan dan bau mesiu. Aku bergegas mengunjungi nenek, minta maaf dan mendoakannya agar bahagia dalam setiap kesendiriaannya.

Aku membelai nisannya. Aku katakan padanya, “Nek, setiap lebaran aku selalu bersamamu. Aku ingin selalu bersmamu. Agar kamu bahagia, seperti kamu telah membahagiakan aku sepanjang hidupku.”

Belalang terbang dari rerumputan. Matahari mulai merangkak naik. Aku membuka rantang di atas gundukan tanah. “Nek, aku ingin makan ketupat bersamamu  dengan sayur opor kesukaan kita berdua. Aku sudah bisa masak opor seenak masakanmu.”

Kami makan ketupat sayur opor, bunga kamboja jatuh di pusara nenek, warnanya putih, baunya semerbak wangi.

Djoglo Pandanlandung Malang
05/07/2016: 00.30
iman.suwongso@yahoo.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun