Kami menjalani puasa tidak lagi dengan makan sahur yang seadanya. Aku sudah bisa belanja sendiri, dan telah terbiasa menyiapkan makan bersama nenek. Aku ingin sepanajang puasa mengembirakan nenek. Usia delapan belas ingin kumanfaatkan untuk melupakan sama sekali perjalanan kelam masa lalu, melupakan bapak sama sekali, mengikhlaskan ketidak hadiran ibu.
Puasa ini memang lain. Kami berdua, aku dan nenek menambah waktu do’a kami untuk mereka. Untuk kakek yang meninggalkan kami di usia lima tahun, untuk ibu yang melepasku di usia dua tahun, untuk bapak yang tak pernah jelas bagi hidupku. Nenek kerap menitikkan air mata. Dan aku mengusapnya dengan punggung tangan. Puasa yang luar biasa.
Puasa di usia delapan belasku menjadi makin luar biasa. Lebaran kurang tujuh hari, tanpa tanda-tanda nenek meninggalkanku. Ia tidak bisa aku bangunkan lagi ketika hendak makan sahur. Sekali lagi, bagian hidupku dicabut. Aku sempatkan mencium wajahnya untuk terakhir kalinya sebelum dibungkus kain kafan. Wajahnya tersenyum. Entah apa makna senyumnya.
***
Lebaran tiba. Dunia meledak dengan pakaian baru, lalu lalang orang berkunjung, suara petasan dan bau mesiu. Aku bergegas mengunjungi nenek, minta maaf dan mendoakannya agar bahagia dalam setiap kesendiriaannya.
Aku membelai nisannya. Aku katakan padanya, “Nek, setiap lebaran aku selalu bersamamu. Aku ingin selalu bersmamu. Agar kamu bahagia, seperti kamu telah membahagiakan aku sepanjang hidupku.”
Belalang terbang dari rerumputan. Matahari mulai merangkak naik. Aku membuka rantang di atas gundukan tanah. “Nek, aku ingin makan ketupat bersamamu dengan sayur opor kesukaan kita berdua. Aku sudah bisa masak opor seenak masakanmu.”
Kami makan ketupat sayur opor, bunga kamboja jatuh di pusara nenek, warnanya putih, baunya semerbak wangi.
Djoglo Pandanlandung Malang
05/07/2016: 00.30
iman.suwongso@yahoo.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H