Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lebaran Bersama Nenek

5 Juli 2016   00:46 Diperbarui: 5 Juli 2016   01:00 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak tidak ada kakek, aku sering bertanya kepada nenek tentang ibu. Ia bilang ibu orangnya keras kepala. Ia seringkali bertindak tak menghiraukan nasihat kakek dan nenek. Ibu suka semaunya sendiri kalau sudah punya keinginan. Tetapi, kata nenek, ibu sebenarnya seorang perempuan penyayang.

Ketika ibu hendak pergi keluar negeri, kakek dan nenek tidak setuju. “Bekerja apa kamu di negeri orang.” Kata kakek. Nenek menyarankan untuk hidup seadanya bersama mereka di rumah nenek. Tetapi, ibu yang lulusan SMEA itu, memaksa agar memeproleh penghasilan yang besar untuk menghidupi mereka dan aku.

Pertengkaran kakek dan ibu terjadi sangat keras. Rumah terasa seperti kapal pecah. Samar-samar aku emngingat peristiwa itu. Sampai keesokan paginya, ketika menjelang subuh dengan suara yang pelan ibu menyerahkanku kepada nenek. Saat itu aku sudah terbangun, memperhatikan ibu keluar rumah membawa tas pakaian berwarna merah.

Sesudah itu, sesudah kepergian ibu, rumah kami menjadi rumah yang bisu. Sunyi dan sendu. Tidak banyak percakapan, pekerjaan-pekerjaan rumah dilakukan seperlunya. Samar-samar aku masih merasakan suasana murung itu.

Sesudah kepergian ibu itu, sesudah ibu tidak berkabar lagi, sesudah usiaku merangkak lima tahun, seorang teman mengejekku, “Hai, anak sebatang kara. Bapakmu tidak jelas dimana. Ibumu pergi tak tentu arah. Apa kamu tidak pergi juga mencarinya.” Kata temanku itu seperti menusukku, melemparkanku pada kesunyian. Karena itu aku bertanya kepada nenek tentang bapak.

Nenek menjawabnya dengan muka yang tagas, “Le, bapakmu tidak perlu ditanyakan, kamu tidak perlu tahu. Apa nenek dan kakek tidak cukup? Biar nanti yang mengejekmu aku adukan pada polisi.”

Hanya sekali itu aku bertanya tentang bapak. Meskipun aku ingin tahu, aku tidak akan bertanya lagi tentang bapak.

***

Lebaran selalu tiba. Aku lebaran selalu bersama nenek. Karena hidupku selalu bersama nenek. Lebaran kami selalu begitu, bertamu minta maaf, suara petasan dan bau mesiu. Selalu begitu. Seperti puasa kami selalu begitu. Seperti hidup kami selalu begitu. Berputar mengikuti irama waktu. Perbedaanya, setiap berganti waktu aku semakin tahu. Waktu mengajariku untuk tahu bagaimana menghidupi kehidupan kami. Usia remaja delapan belas tahun, aku mulai masuk pada penghidupan itu.

***

Waktu selalu memberi pelajaran yang hikmahnya untuk direnungkan. Usia remaja delapan belas tahun, aku siap menhadapi lebaran yang berbeda. Hampir satu tahun aku telah bekerja dengan penghasilan yang cukup untuk ukuran kami, dapat menyiapkan lebaran yang berbeda bersama nenek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun