Aku kira Salim tidak bodoh seperti aku. Pada menjelang malam ke-25 bulan puasa itu ia termangu-mangu di pojok masjid. la termangu sambil memandang pantulan cahaya dari sisa hujan, yang diantaranya masih jatuh satu demi satu dari langit. la meyakininya, "Tuhan selalu benar kata-kata-Nya." Â Tidak seperti langit yang masih bisa memerah, tidak seperti awan yang cepat berubah masih diterbangkan angin, tidak seperti langit-langit batinnya yang selalu penuh awan.
Istigfarnya meluncur-luncur. Dzikirnya menitih-nitih. Seperti pohon-pohon dan rumput-rumput, Salim berbicara dalam keheningan dzikirnya. Ia berharap Malam itu datang kepadanya. Harapannya berkejar-kejaran dengan rintik hujan.
Diantara mangunya itu, aku mendengar ia berucap. Aku tak mengerti apa yang ia ucapkan. Salim juga terkejut dengan ucapannya sendiri yang rumit ini. Kemudian melanjutkan memutar tasbih butir demi butir.
Diantara tapak-tapak hembusan nafasnya mengagungkan nama Tuhan, terbersit dalam pikirannya, lima hari lagi lebaran. Lebaran berarti harus pulang. Mudik.
Pernah ia bilang padaku, kalau mengingat rumahnya yang muncul pada penglihatannya hanya seonggok beban di kejauhan. Di kota besar ini ia merasa terdampar dengan meninggalkan seorang anak dan istri yang menjadi tanggung jawabnya. Ia merasa gagal dan tak tahu bagaimana harus menempuh jalan pulang. Ia amat berharap perubahan nasibnya yang berarti juga perubahan nasib keluarganya dari kota besar ini. Ia merasa telah memberikan janji yang tidak terucapkan pada keluarganya. "Nanti. Di Kota nanti, akan kukirim nafkahku untukmu setidaknya sebulan sekali."
Sampai sekarang ucapannya itu hanya tinggal janji. Mimpi Salim yang oleh keluarganya mungkin juga telah dilupakannya. Ia hanya seperti orang yang lari dari beban di tengah himpitan.
Kalau diikuti perjalanannya di kota ini, ia lebih banyak menanti. Tenggelam dalam arak-arakan asap kota diterpa angin kering, membumbung jadi awan-awan dan jatuh berkejar-kejaran seperti rintik hujan dalam bingkai nasib. Salim pernah berjualan kue di rombong. Rupanya, Ia tak punya bakat berdagang. Dagangan yang ia jajakan tak pernah habis terjual. Ia tak pernah bisa menghasilkan keuntungan yang lebih untuk ditabung. Apalagi mengirimi istrinya di desa. "Aku ke sini tidak membawa kemalasan." hentaknya.
Salim memang bukanlah seorang yang malas, ia juga bukan seorang yang bodoh. Namun, Salim hanya bisa menawarkan tenaga pada sebuah pekerjaan pembangunan jembatan. Bekerja sebagai kuli. Mengangkat batu, memikul pasir. Di bawah pancaran terik matahari yang menghauskan. "Alhaamdulillah." katanya. la mendapatkan simpanan, dan dikirimkan kepada istrinya dengan hati berbunga-bunga. Hanya sekali itu ia mengirimkan janjinya. Hanya sekali.
Bumi memang cepat berputar. Ia akhirnya terdampar ke masjid di gang tempatku tinggal, ditengah perkotaan besar ini. Ia menitipkan dirinya di masjid itu setiap hari. Ia lakukan segala pekerjaan yang bisa dilakukan. Ia kelihatan rutin menyapu lantai masjid, mengisi bak wudlu dengan air sumur, juga mengecat masjid ini.
*
Kilap-kilap sisa hujan teman termangunya di sudut masjid. Sementara aku hanya memandanginya dari balik jendela rumahku. Genangan air sisa hujan menggiring pandangannya berlompatan. Tatapan matanya pada gundukan hitam di trotoar jalan depan masjid menyentakkannya.