Ketika aku selesai mengucapkan salam, pintu aula dibuka pelan. Aku seperti mendapat pencerahan dari sinar yang dipancarkan dari lentera minyak pohon jaitun. Aku ucapkan salam kepada seluruh hadirin, dengan nada singa podium yang terluka. Aku sebut secara khusus Pak Suwardi.
Aku sampaikan sambutan dengan kalimat-kalimat yang meluncur deras tentang perkembangan-perkembangan pendidikan. Tentang harapan-harapan kualitas manusia masa depan yang mulai dari tonggak pendidikan sekolah dasar. Aku pidato. Tuntas.
Setelah memberikan penghargaan kepada sekolah ini, secara hormat aku meminta Pak Suwardi tampil ke panggung. Aku minta kesempatan lagi untuk menyampaikan tentang acar tambahan ini, tentang perjuangan Pak Suwardi, tentang contoh-contoh peranannya mewarnai kami murid-muridnya. Ujungnya aku serahkan kepadanya atas nama maaf secara pribadi dan kantor tempat saya bekerja, sebuah tali asih untuk membantu menjamin sisa-sisa hidupnya.
Pak Suwardi memohon kesempatan untuk bisa bicara di forum ini. Panitia mempersilahkan untuk menyampaikan dengan singkat.
“Saya terimakasih kepada murid yang satu ini.” Katanya membuka sambil menoleh kepadaku. “Saya ingin katakan, sudah menjadi kewajiban saya sebagai guru untuk mendidik murid-murid. Kebahagiaan saya bukan ketika menerima ini, kebahagian saya ketika murid saya telah berhasil dan bersedia ikut memikirkan pendidikan bangsanya. Saya bangga kepadanya. Terimakasih.” Katanya, lantas turun panggung.
Seperti ada yang meledak dalam diriku. Aku sambut Pak Suwandi dengan pelukan erat. Aku mendapatkan pelajaran yang sangat berharga hari ini. Dari guruku, dari guru sepanjang hidupku. ***
Selamat Hari Pendidikan!
Djoglo Pandanalandung Malang
Mei 2016
iman.suwongso@yahoo.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H