Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Pelajaran Pak Guru Wardi

2 Mei 2016   00:19 Diperbarui: 2 Mei 2016   07:06 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kepalaku terasa dimartil satu kwintal. Mataku berkunang-kunang. Bidang yang aku tangani dalam pekerjaan di kantor, masih aku temukan dengan mata kepala sendiri, seorang guru yang bekerja sejak aku kecil, satusnya tidak beranjak, tetap menjadi seorang guru GTT. Pak Suwardi. Guruku sendiri.

***

Pak Suwardi, meskipun bukan guru favorit, tetapi cara mengajar dan mendidik murid-murid sangat membekas dalam relung dadaku. Dulu ia mengajar berbagai macam pelajara. Ia mengajar Matematika, tetapi juga mengajar Bahasa Indonesia. Kalau mendongeng, aku selalu terpikat dibuatnya. Tentang semangat, tentang kejujuran, tentang keberanian, tentang kesetiakawanan. Semua tokoh-tokoh ceritanya seperti tergambar dalam layar di depan mata, hingga kini, setelah berpuluh tahun. Namun, ia juga lihai memberi pelajaran menggambar.

Setahuku, Pak Suwardi masuk menjadi pengajar sekolah dasar tempatku belajar di kampung ini, setelah tamat SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Sekolah guru setingkat SMA. Ia diminta membatu mengajar di sekolah ini karena kekurangan guru.

Pak Suwardi termasuk guru yang disiplin. Hampir tidak pernah meninggalkan kelas untuk keperluan lain. Honor yang diterima saat itu jauh dari cukup. Meskipun begitu, dia tidak pernah ngobyek, melakukan pekerjaan lain di jam sekolah. Ia tidak pernah memanfaatkan tempatnya bekerja untuk mencari penghasilan tambahan. Kalaupun itu terjadi, hanyalah berjualan kue yang dititipkan kantin sekolah. Pagi hari, sebelum subuh, ia bersama istri membuat kue-kue itu, dibawa ke sekolah dititipkan di kantin. Sepulang sekolah kerap kali aku mengetahui dia ikut buruh tani, mencangkul juga memanen padi. Luar biasa.

Nasib semacam itu, masih berlangsung hingga kini. Betapa bodohnya aku, yang bekerja sebagai tenaga ahli dalam bidang ini, tak dapat menyelesaikan, dan aku temukan sendiri orang yang terputus laju hidupnya, orang yang memoles masa kecilku, mewarnai hidupku. Bagaimana di tempat lain? Pasti masih banyak. Oh! Kebodohan.

***

Di sekolah tempat upacara penerimaan penghargaan, aku bergegas menemui Kepala Sekolah. Aku ingin memastikan, apakah permintaanku untuk mengundang Pak Suwardi sudah dilaksanakan, mengingat beliau mengajar di sekolah lain, di desa yang lain. Kepala sekolah sudah mengirim utusan untuk mengantar undangan sekaligus menjemputnya. Aku cukup tenang. Bagiku sekarang, kehadiran Pak Suwardi lebih penting dari kehadiranku disini.

Aku ingin menebus kebodohanku terhadap guruku. Aku telah persiapkan semalam untuk memberikan acara tambahan. Aku ingin melihat kebahagiaan guruku nanti dalam upacara. Pengabdiannya berpuluh tahun itu harus disembuhkan lukanya pada momentum ini. Dia harus hadir.

Namun, ketika acara telah dimulai, Pak Suwardi belum kelihatan rupa wajahnya. Aku sungguh gelisah. Aku minta kepada kepala sekolah untuk menghubungi utusannya. Kepala sekolah itu hanya bilang, sabar beliau pasti datang. Acara demi acara bergulir, belum juga hadir yang kutunggu. Sampai aku dipanggil untuk naik podium, belum ada tanda-tanda juga. Aku seperti sedang menunggu kepastian cinta dari seorang yang aku kasihi.

Konsentrasiku pecah. Beberapa waktu termangu di hadapan undangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun