Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Pelajaran Pak Guru Wardi

2 Mei 2016   00:19 Diperbarui: 2 Mei 2016   07:06 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Foto: Belajar Bersama Pemuda Ranupani

Lampu-lampu jalan berpendar lemah. Pohon-pohon masih kelihatan remang-remang. Sesekali kilatan sisa hujan diterpa cahaya dari lampu motor. Deretan pohon perdu pembatas jalanan membetuk garis silut yang kabur di ujung sana. Langit pekat kelabu, sesekali disibak kilat di ketinggian angkasa. Menyusul gemuruh guntur tanpa daya tersembunyi dalam beku alam raya. Aku turun dari taksi pada gerbang menuju kampung saya.

Langkah-langkah berlompatan kecil menghindari lumpur tanah menuju pangkalan ojek di sudut gang. Pangkalan yang aku kenal sejak dahulu berdiri semacam itu; tiangnya dari bambu dengan atap seng berkarat yang berlubang di sana-sini. Tak banyak perubahan, selain tanahnya bekas baru disemen. Untung masih ada tukang ojek yang mangkal.

Aku memilih tidak melanjutkan taksi yang mengantar dari bandara sampai tujuan akhir, rumah orang tuaku, rumah tempatku lahir dan beranjak besar. Aku ingin selalu membangkitkan kenangan masa lalu, hidup dan menghirup udara kampung halaman bersama orang-orang sekampung. Aku menggunakan ojek untuk mengantarku, berharap selalu kutemukan sisa-sisa masa lalu dalam percakapan dan raungan pekak motor butut. Selebihnya, aku tahu kampungku adalah kampung bersahaja, yang akan gempar dengan sekadar ada orang naik taksi di kampungnya.

Gairah hidupku menjadi menyala ketika mulai menyapa tukang ojek, meminta untuk mengantarku. Kesopanan khas desa yang tiba-tiba menghampar di depanku, seperti membenturkanku dengan rutinitas kaku di ibu kota tempat aku mencurahkan pikiran dan tenaga. Meskipun aku tidak dapat emlihat jelas wajah tukang ojek ini, karena remang-remang itu, aku merasa mencecap kata-kata rendah hati yang dilontarkannya. Dan, sekarang aku menemukan cita rasa kata yang teduh, matang, melampaui kedewasaan.

Meskipun dengan ungkapan-ungkapan sederhana, aku merasa setiap orang sejak aku memasuki gang ini tahu, namaku siapa dari keluarga siapa dan pekerjaanku dimana. Tukang ojek ini juga tidak banyak bertanya, bahkan dia memotong ucapanku sebelum aku menggambarkan tujuanku kemana. “Mari Mas naik.” Katanya.

Aku diterbangkan ojek menghirup udara segar desa sehabis hujan. Aku akan menginap di rumah masa kecilku, aku pilih karena mendapat tugas dari kantor tempatku bekerja. Esok pagi aku harus menghadiri acara seremonial memberikan penghargaan pada sebuah sekolah dasar karena prestasinya. Kepala kantor tidak bisa hadir, dan tanpa berpikir panjang aku ambil tugas yang dilimpahkan.

“Kok masih ngojek Pak?” tanyaku ditengah raungan kenalpot butut.

“Ya, Mas.” Jawabnya singkat.

“Kan seharusnya pensiun. Di rumah bersama cucu.” Aku bayangkan orang tuaku.

“Cari tambahan Mas, untuk uang saku anak-anak.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun