“Kalau begitu, kamu kembali ke kamar.”
“Kang.”
Pandangan mata mereka saling berbenturan.
“Aku akan tetap di sini sampai jam dua belas nanti.”
Sunyi lagi. Marmo menarik nafas kuat-kuat.
“Kalau begitu marilah kita tidak terlalu bersedih. Kita sambut jam dua belas dengan kegembiraan. Aku ingin mengajakmu mengenang masa hidup kita yang senang-senang, yang indah-indah.”
Lasmi diam saja. Tetapi Marmo terus saja bicara. Dia mulai membuka cerita demi cerita yang pernah mereka alami berdua, yang lucu-lucu, yang menyenangkan. Tetapi tidak bisa membuka mulut Lasmi agar bisa tersenyum. Ya. Ya, Marmo harus menghiburnya agar detik-detik ini terlewatkan tidak dalam kesunyian. Ia ingin mengucapkan selamat tinggal kepada dunia dengan lelucon.
“Kamu ingat Markaban?” katanya. Tidak disangka, nama Markaban bagi Lasmi ternyata lebih lucu dari Srimulat. Lebih menggelikan dari pada nama Kartolo, Baseman atau Sapari. Lasmi tiba-tiba tertawa cekikikan. Marmo merasa telah menemukan jalan untuk meninggalkan kemuraman sejenak.
“Kamu, masih ingat kan? Ketika sore hari gubuk kita sudah dikepung petugas ketertiban kota. Kita disuruh keluar karena gubuk kita akan dibongkar paksa. Ketika kita sudah keluar ternyata yang kita hadapi para petugas yang berpenampilan layaknya tentara mau perang. Mukanya dilepoti jelaga. Seorang petugas yang berada di depan kita juga sulit kita kenali. Tetapi kita tiba-tiba ingat karena tai lalat di bawah bibirnya dan nama yang menempel di atas saku bajunya: MARKABAN.”
“Hik.Hik.Hik.”
“Apa Las?”