Pagi itu Tamun menghela nafas. Dia bicara kepada batang-batang pohon tebu.
“Menurutmu bagaimana?”
Tentu saja pahon tebu itu diam. Angin pagi yang bertiup perlahan melambai-lambaikan daunnya dengan malas.
“Kau juga anjurkan aku untuk tunduk pada mereka?”
Bunga-bunga tebu ditiup angin. Menggeleng-geleng. Tak mengerti.
Saat matahari menelusup di garis gunung, yang rasanya tidak jauh dari ladang tebu itu, Tamun belum meninggalkan kebun tebunya. Namun, hari ini dia merasa enggan untuk meninggalkan ladang tebunya. Ia merasa ingin berlama-lama disini. Meskipun seharian tidak mengerjakan apa-apa. Meskipun hanya duduk-duduk. Memandangi bunga-bunga tebu. Mondar mandir dari sudut ke sudut ladang. Tak ada sebatang rumput pengganggu pun yang tercerabut dari akarnya.
Dia malah masuk ke dalam jalinan daun-daun tebunya. Kurang tahu maksudnya. Mungkin dia mau mengambil rantang wadah bekal makanannya tadi siang
Saat itulah ada bayangan yang berlompatan ke pinggir-pinggir kebun tebu sambil menyalakan obor-obor. Lantas, seperti dalam satu komando, obor-obor itu menyulut daun-daun tebu yang telah mengering. Titik-titik api mulai menjalar. Dan angin berhembus mengibarkan api di setiap tepi. Api berkobar membakar kebun tebu. Mengurung Tamun di dalamnya.
Tamun sudah berusaha keluar. Namun, sudah tidak ada celah untuknya. Ketika dia nekat menerobosnya, api menyambarnya. Rambutnya terbakar. Bajunya terbakar. Celananya terbakar. Seluruh tubuhnya terbakar.
Di ladang yang gosong dia berusaha memadamkan api pada tubuhnya yang mulai menggosong. Dia bergerak ke sana, ke mari, bagai tarian api yang mengiringi kobaran di ladang tebu.
Tiada yang menolong Tamun. Di ladang ini Tamun hangus. Ambruk. Kembali ke bumi. Menjadi monumen dari kekejian.