Ilustrasi: Bunga Tebu. Dokpri.
Tamun memandangi kembang tebu yang meliuk-liuk diterpa angin. Ujungnya yang meruncing seperti mengebor langit untuk membantunya mencari bocoran tentang jawaban yang sedang menekan-nekan relung dadanya. Dia mengempaskan nafasnya keras-keras, seakan hendak menguras rasa dongkol itu hingga tuntas.
Pasalnya, ancaman yang ia terima kemarin memaksanya menyerah. Sesungguhnya, sudah kerap kali Tamun didatangi orang yang tidak pernah dia kenal. Kepentingannya hanya satu: mereka semua menanyakan ladangnya yang berada di tengah-tengah perumahan ini. Dan entah apa yang sedang mereka rencanakan, muaranya semua mendesak agar tanah seluas hampir satu hektar itu dijual.
Dulu, waktu pertama kali seorang laki-laki berkumis, berkepala botak, tubuhnya gempal dibalut kulitnya yang legam menyemprotkan ancaman yang dibarengi bau alkohol, Tamun berani menatap mata di balik kacamata hitam itu. Ia hanya perlu dua kata saja untuk mengusirnya: tidak dijual!
Keberanian yang lumrah. Karena bagi Tamun, tanah adalah segalanya. Tanah adalah sumber hidupnya. Karena ia adalah seorang petani tulen. Leluhurnya petani. Bapaknya petani. Keluarga dari ibunya petani. Semua petani. Bahkan, ia dilahirkan di pondok yang berdiri di tengah-tengah kebun jagung milik bapaknya.
Cerita terakhir itu benar. Saat ibunya mengandung Tamun, dia mengirim bekal suaminya untuk makan siang. Tetapi ketika sudah sampai di ladang perutnya mulas. Rasanya bayi Tamun sudah mendesak-desak. Untung saat itu ada Mardi, adik suaminya. Karena tidak mungkin membawa ibu Tamun pulang, Mardi memanggil dukun bayi di kampungnya, dan dibawa ke pondok itu.
Sejak kecil rumah dan ladangnya tiada beda. Ia kerap ikut bapaknya tidur di pondok. Gubuk yang tempanya lahir juga. Bahkan ia memilih membolos sekolah yang letaknya di balik gunung itu untuk membuntuti bapaknya meluku ladangnya. Dan betapa meledaknya kegembiraannya saat menemukan jangkrik yang akan ia bakar untuk dimakan. Gurih rasanya.
Ujungnya, Tamun tak mengindahkan peringatan gurunya. Wajahnya lebih menyala ketika ikut menancapkan pokok-pokok batang singkong pada tanah yang telah diolah. Dan, dunia tidak runtuh ketika dia dikeluarkan dari sekolah sebelum kelas lima sekolah rakyat.
Maka tidak diragukan lagi darah Tamun adalah darah petani.
Karenanya dia tidak tergiur ketika orang-orang asing itu menjanjikan iming-iming yang kedengarannya memakmurkan. Prinsip Tamun tidak bergeser sejengkal pun. Hidup dan matinya tidak pernah bisa dia lepaskan dari tanah pertanian.
“Kalau aku jual, aku akan ke mana?” kata Tamun.