Mereka mundur berdesakan. Linmas mendekati potongan daun telinga. Ia mengamati sambil membungkuk dan matanya memicing.
“Mana bergerak?!” katanya sambil menegakkan tubuh. “Siapa yang bilang tadi?”
“Waktu saya lewat dekat sini, telinga itu beregrak-gerak. Tepatnya bergoyang. Kayaknya capek tengkurap, mau tengadah.” Seoarang anak muda menjelaskan.
“He! Jangan memberikan penjelasan mengada-ngada.” Sergah Linmas.
“Barangkali salah lihat.” Seorang ibu menimpali.
“Mata saya masih sehat, Mak Ji.”
“Sudah! Jangan berisik! Jangan ngomong lagi! Jangan!” cegah Linmas.
Linmas berbalik mendekat potongan daun telinga. Ia hendak mengorek potongan daging itu dengan tongkat pentungannya. Saat ujung tongkat karet itu nyaris menyentuh permukaannya, Mak Gendut tiba-tiba datang dan menghalau Linmas.
“Jangan disentuh.” Cegahnya. “Jangan sampai ada bekas sentuhan yang menempel. Kamu bisa dituduh yang melakukan.”
Linmas mau menjelaskan pada Mak Gendut, tapi halilintar menyambar dengan kerasnya. Seketika hujan mulai turun.
“Hai! Lihat, bergerak.”