Mataku berpendar jauh ke kegelapan langit dan bintang-bintang. Lampu-lampu dalam gerbong menyala temaram. Derit rel beradu dengan roda. Kepala-kepala terpantul ke kiri dan ke kanan dengan mulut menganga. Disini rasanya aku makin terbuang jauh. Tidak punya siapa-siapa. Senyum kedua anakku di foto yang sengaja aku selipkan di kantong ransel rasanya menyiangi hatiku dengan seribu silet. Andaikan aku bisa mengajakmu, kalian akan kubawa serta.
Andai kata keinginanku itu kutawarkan, mereka dengan tegas akan berkata: Tidak! Mereka tidak salah membantahku. Mereka pasti mengerti, ketika mereka minta mainan boneka, aku memberinya dongeng-dongeng yang membosankan. Hanya karena ibunya memerintahkan untuk mendengar kata-kataku, mereka pura-pura mendengarkanku dengan takzim. Dan dalam hatinya mereka berseru; pembual!
Bangku kereta ini terasa lembab. Aku mengambang di antara bintang-bintang berkedip meredup. Aku senyap. Lebih sunyi dari onggokan batu koral sepanjang rel. Tiba-tiba kerinduanku menyergap saat angin kencang berembus dari kaca jendela kereta yang membuka. Kerinduan yang tak menentu. Mengantarku antara tidur, mimpi, marah dan tak berdaya.
***
Pagi menyeruak. Hiruk pikuk merambat. Televisi di ruang tunggu jalur satu menyala. Beberapa orang merubung. Mereka mengumpat hampir berbarengan. “Edan!”
“Berita apa Pak?” sapaku.
“Satu keluarga, ibu dan anak-anaknya minum racun. Edan.”
“Mati semua Pak?”
Tewas!!!
Aku lemas. Wajah dua anakku mengambang di antara riuhnya suara pembaca berita. Aku agak lega ketika penyiar cantik itu tidak menyebut kotaku berasal. Namun, ulasan para pakar yang menyertainya melemparkanku kembali pada kekhawatiran.
Berita ini memang tidak berasal dari kotaku. Bukan menimpa keluargaku. Tetapi esok, lusa atau entah kapan suatu hari nanti? Siapa tahu giliran anak-anakku.