“Kalau saos tomat, warnanya merah betul. Itu kecoklatan.” Timpal Mak Gendut.
Seorang diantara mereka mengambil setitik noktah yang berserakan di atas tanah dengan ujung telunjuk. Ia mendekatkan ke pintu lubang hidungnya. Matanya terpejam, untuk memperoleh bau yang tepat dari bahan yang ia cium.
“Anyir. Ini bau darah.” Simpulnya.
Mereka saling berpandangan, sambil sesekali memicingkan mata memastikan kesimpulan temannya. Sementara, Mak Gendut menelusuri lagi noktah-noktah yang menuju bibir selokan.
“Betul, daun telinga. Hiiii....” kata Mak Gendut, pundaknya berguncang, bergidik.
“Lihat itu....” Mak Gendut menggambarkan onggokan yang diduga daun telinga itu. Warnanya pucat, tampaknya kehabisan darah. Dan, darah itu telah menetes membentuk bulatan-bulatan beregrigi, akhirnya menggenang di pangkal daun telinga itu.
Ibu-ibu tak begitu mendekat. Tetapi mereka ingin tahu benda yang digambarkan Mak Gendut itu. Mereka berkerumun berhimpitan sambil memegang pundak teman di depannya. Pandangan matanya sekali-kali menyapu gugusan bercak yang berakhir pada daun telinga itu. Pundak mereka pun berguncang, bergidik.
“Betul, daun telinga. Hiiii...”
“Telinga siapa?”
“Kok, ada orang tega memotong telinga?”
“Siapa yang membuang disini?”