Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Si Jujur Mati di Desa Ini

15 April 2016   00:08 Diperbarui: 15 April 2016   00:26 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Berbagi cerita di depan tungku"][/caption]

Oleh: Iman Suwongso

Pagi yang indah memudar di Pasar Kliwon. Langit biru tak berawan. Angin lembah semilir menyusup ke gang-gang pasar. Hari itu orang-orang desa yang tinggal di lembah ini tidak ingin segera beranjak dari pasar. Mereka sedang membicarakan suatu peristiwa yang terjadi di Kantor Desa; perihal hilangnya mesin ketik Pak Carik.

            Masyarakat desa ini punya kebiasaan bercerita dari mulut ke mulut, tentang peristiwa yang dialami warga desanya. Ibaratnya, jarum jatuh saja akan terdengar oleh tetangganya dan menjadi bahan cerita. Cerita itu akan dikupas sebab-sebabnya, kemudian dicari kemungkinan-kemungkinan penyelesaiannya. Cerita itu akan bergulir terus. Hanya peristiwa lain, yang lebih seru, yang akan menghentikan cerita itu.

            Raibnya mesin ketik itu sudah pasti cepat menyebar. Karena, tanpa mesin ketik itu, Pak Carik tidak akan bisa melayani masyarakat, membuatkan surat pengantar untuk mengurus KTP.  Diantara orang-orang yang mengurus surat itu, ada yang dengan kesal menceritakan kepada orang-orang yang berpapasan dengannya sepanjang jalan pulang dari Kantor Desa. Menurutnya, kebutuhan untuk menggunaka KTP-nya sangat mendesak, sedangkan KTP-nya yang lama sudah habis tanggal.

            Namun, bagi sebagian besar orang desa ini, mereka kesal karena yang dibobol pencuri kali ini adalah Kantor Desa. “Kantor Desa itu kan dijaga hansip 24 jam, lha kok ya masih disatroni maling. Bagaimana dengan rumah-rumah di pinggir hutan?” Kata seorang pedagang.

            Kekecewaan itu menggugah kenangan tentang rentetan peristiwa-peristiwa culas yang mereka alami sebelumnya. Kenangan-kenangan itu menggumpal di wajah mereka, siap meledak menjadi kejengkelan. “Bayangkan, sebelum pencurian mesin ketik itu, pernah diceritakan di pasar ini juga tentang maling di rumah janda muda itu. Ceritanya waktu itu menjadi seru karena si janda ditelanjangi, hampir diperkosa.” Seorang pembeli mengingatkan. Kemudian ada juga yang ingat tentang aksi copet di Pasar Kliwon ini; ada lagi aspal jalan yang akan digunakan meratakan jalan desa, tiba-tiba lenyap satu drum, tak jelas jejaknya.

            Sudah kodratnya kalau manusia ingin hidup tenang, tanpa gangguan oleh peristiwa-peristiwa mencemaskan. Mereka berpikir, apakah tidak ada jalan keluar untuk mencegah maling-maling itu semakin bergentayangan? Saat pikiran mereka berputar-putar, ada yang berkata dengan nada spontan, “Saya kok menjadi rindu sama Siwo, ya.”

            Orang-orang di pasar ini, setelah mendengar nama Siwo, tiba-tiba wajahnya memancarkan seribu cahaya. Mereka merapat satu sama lain membentuk kerumunan yang padat. Pembicaraan mereka terpusat pada nama Siwo. Ujung-ujungnya muncul harapan diantara mereka, apakah mungkin Siwo dikirim ke desa mereka lagi?

***

            Dulu, Siwo adalah sosok yang bisa mengetahui peristiwa-peristiwa tersembunyi yang dialami desa ini. Padahal, dia tidak mewarisi darah desa ini. Asal usulnya juga tidak jelas. Ia tiba-tiba saja ada di desa ini sepuluh tahun yang lalu. Ia seperti gelandangan yang dilemparkan begitu saja dari dalam truk di bawah gapura ujung jalan.

            Saat itu, orang-orang kampung tidak memiliki pikiran lain selain sedang mendapat sial; orang gila yang bakal merepotkan desa ini. Apa lagi tubuhnya tidak normal. Wajahnya sangat keras dengan tonjolan-tonjolan tulang pipinya yang mencuat. Kalau wajah normal biasanya simetris, wajah Siwo pipi kirinya gemuk sedangkan kanannya rata. Dahinya lebih menonjol dibanding tulang pipinya. Dan, ia tidak bisa bicara dengan jelas.

            Usia Siwo yang sebenarnya tidak ada yang tahu. Wajahnya kalau dibandingkan dengan orang kampung ini kira-kira wajah usia 50 tahunan. Tapi, yang mengagumkan, wajah itu tetap saja dari waktu ke waktu. Sejak ditemukan di ujung jalan sampai terakhir kali ada di desa ini usia wajahnya tidak berubah.

            Namun, Siwo bukan orang gila. Disamping tidak merepotkan, ia juga suka bermain dengan anak-anak. Ia tidak pernah marah kalau diolok-olok. Bahkan ia tertawa-tawa sambil mengucapkan kata-kata yang tidak bisa dipahami anak-anak. Kadang-kadang dia memberi kelereng kepada anak-anak, dan anak-anak tidak pernah tahu dari mana ia mendapat kelereng. Anak-anak hanya tahu, Siwo merogoh saku celananya yang robek-robek, kemudian mengeluarkan genggaman tangannya. Seperti pesulap, ia membuka genggamannya pelan-pelan, butiran-butiran kelereng menggelundung di telapak tangannya.

            Ketua RW dari kampung ujung jalan itu pernah akan mengusirnya. Ia kawatir pos ronda akan dijadikan sarangnya. Kekawatiran Ketua RW itu tidak beralasan, karena Siwo tidak pernah masuk pos ronda, apa lagi tidur di situ.

            Lantas, Siwo tidur di mana? Ada yang mengatakan tidur di atas pohon, ada yang mengatakan tidur di goa di tebing sungai. Semua itu hanya dugaan, tidak ada yang tahu persis.

            Pada saatnya, orang-orang kampung ini menyadari kalau kehadiran Siwo merupakan berkah. Mereka menganggap, Siwo dikirim ke desanya untuk membasmi kejahatan yang sedang merajalela. Tentu saja pendapat itu berlebihan. Tetapi, Siwo selalu membongkar kejahatan yang terjadi di desa ini. Entah bagaimana cara dia mengetahui pengutil di toko Wak Geng itu si Juling, si Jangkung suka mengintip tetangganya yang mandi dari lubang angin-angin rumahnya. 

Hebatnya, semuan pelaku tindakan jahat itu tidak bisa mengelak. Kelebihan Siwo itu semula diketahui ketika buah nangka milik Wak Pir di kebunnya hilang. Siwo yang melintas di kebun itu menghampiri Wak Pir. Dia bercerita kepada Wak Pir. Wak Pir awalnya tidak begitu mengerti yag dikatakan Siwo. Tetapi ia teringat ilmu bahasa binatang yang pernah diajarkan kakeknya. Kira-kira sama untuk memahami bahasa Siwo. Wak Pir mencobanya. Setelah membaca mantra dan mengambil sikap seperti sedang memusatkan pikiran, Wak Pir menyuruh Siwo mengulangi ceritanya.

            Ajaib! Di telinga Wak Pir, cerita Siwo terdengar begitu jelas. Sejelas orang bicara empat mata. Semula orang yang diceritakan Siwo itu menyangkal. Tapi setelah dapat dibuktikan di rumahnya ada sisa buah nangka, dia menyerah. Sejak itu, Siwo menjadi bintang kampung. Tentu saja berkolaborasi dengan Wak Pir, sebagai penerjemahnya. Mereka mengungkap kekelaman kampung ini satu demi satu.

            Kemampuan Siwo itu membalik perasaan orang-orang kampung 180 derajad. Kalau sebelumnya orang-orang cemas karena kawatir nasib buruk menimpa dirinya, sekarang merasa aman oleh pertolongan Siwo. Sebaliknya, yang sebelumnya menari-nari di atas penderitaan orang lain, sekarang amat membenci laki-laki tidak jangkep itu.

            Siwo menjadi rebutan dua belah pihak. Yang satu menempatkan Siwo menjadi pahlawan, dan menuntut pemerintahan desa untuk memberi penghargaan dengan menyediakan kebutuhan hidupnya, seperti makan sehari-hari, pakaian yang layak, dan tempat tinggal. Perhatian itu disamping sebagai bentuk rasa terimakasih, juga kalau sewaktu-waktu Siwo dibutuhkan tidak sulit mencarinya.

            Sebagian yang lain menolak mentah-mentah dengan alasan akan membebani anggaran desa. Disamping itu, kata mereka, cara Siwo mengetahui seseorang telah melakukan kejahatan tidak dapat diterima oleh akal. Hal ini rawan fitnah. Ia bisa dicap mengadu domba.

            “Selama ini yang dikatakan Siwo terbukti benar, kan? Tidak satu pun kata-katanya yang meleset!”  Kata pembela Siwo telak.

            Penentang Siwo mati kata, tidak dapat mengelak.

            Orang-orang yang menghendaki Siwo diusir dari desa ini, tampaknya tidak ikhlas menerima kekalahan dalam adu pendapat. Mereka memilih jalan kekerasan untuk menyingkirkan Siwo. Suatu malam yang pekat, Siwo dihadang segerombolan orang. Tanpa mengeluarkan kata-kata, mereka menyergap Siwo. Orang linuwih ini ditinju wajahnya, ia terpelanting ke belakang. Dari belakang disambut tendangan di punggunggnya, ia sempoyongan beberapa langkah ke depan. Dari depan disambut ayunan lutut menghembas dadanya. Lantas ia terjungkal. Tubuhnya yang telungkup dimasukkan ke dalam karung, diikat, dan dibuang di pinggir sungai.

            Pagi harinya, seorang pembuang sampah menemukanya. Ikatan karung itu dibuka. Saat isinya menyembul, yang terlihat pertama kali wajah Siwo. Ia menyeringai. Wajahnya nyaris tidak ada bekas pukulan. Kalau ada, di bagian pipi kanannya yang rata agak bengkak. Memar itu justru membuat wajah Siwo tampak lebih seimbang.

            Siwo menceritakan kejadian itu kepada Wak Pir. Ketika didesak untuk mengatakan siapa pelakunya, Siwo hanya menyeringai.

            Begitulah, kemudian orang-orang yang tidak suka pada Siwo menyerah. Desa menjadi aman. Orang berpikir seribu kali kalau mau berbuat yang tercela di desa ini.

***

Pada saat desa ini tenang, tata tentrem kerta raharja, mendadak ada kabar yang mengejutkan. Siwo mati tertelungkup di pinggir sawah. Orang-orang kampung berduyun-duyun datang ke sawah. Mereka merasa heran, juga ragu, kemudian cemas. Mereka berpikir Siwo tidak mati, tapi dibunuh. Ketika mereka ingin bertanya penyebab matinya Siwo, mereka kebingungan. Mau ditanyakan kepada siapa? Tak ada saksi. Selama ini yang menjawab misteri di desa ini tidak ada lain selain Siwo.

            Misteri kematian Siwo ini tidak pernah jelas. Oarang-orang hanya bisa menceritakan dari mulut ke mulut. Sampai ceritanya menguap. Digantikan cerita-cerita perbuatan tercela yang lain, yang muncul satu demi satu. Sampai akhirnya Pak Carik kehilangan mesin ketik itu.

***

            Ketika sore itu ada orang tiba-tiba muncul di ujung gang, orang yang seperti dilemparkan dari langit, orang-orang kampung cepat mengerumuni. Kabar yang menyebar adalah Siwo telah kembali. Begitu antusiasnya orang-orang menunggu reaksi orang itu. Dia memang seperti Siwo waktu dia dilempar ke kampung ini. Juga di mulut gang itu. Pakaiannya juga compang-camping. Rambutnya kumal.

            Satu dua orang menanyai asal-usulnya. Tapi dia tidak mengeluarkan satu kata jawabanpun. Ada yang menanyakan tentang pencuri kambing Pak Gino. Ada juga yang mendesak mesin ketik Pak Carik sebenarnya ada di mana. Pertanyaan-pertanyaan yang sia-sia. Laki-laki itu menggigil kedinginan. Bibirnya yang kotor sampai bergetar.

            Karena tidak ada tanda-tanda dia sesosok Siwo, seseorang meninggalkan kerumunan sambil mengatakan, “Orang mbambung!”

            Yang lain membenarkan. Mereka bubar satu per satu, pulang ke rumah masing-masing. Kemudian tidur, dan bermimpi sesosok Siwo hadir di kampung ini. ***

 

Djoglo Pandanlandung, Malang

2012/2016

iman.suwongso@yahoo.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun