Saat itu, orang-orang kampung tidak memiliki pikiran lain selain sedang mendapat sial; orang gila yang bakal merepotkan desa ini. Apa lagi tubuhnya tidak normal. Wajahnya sangat keras dengan tonjolan-tonjolan tulang pipinya yang mencuat. Kalau wajah normal biasanya simetris, wajah Siwo pipi kirinya gemuk sedangkan kanannya rata. Dahinya lebih menonjol dibanding tulang pipinya. Dan, ia tidak bisa bicara dengan jelas.
      Usia Siwo yang sebenarnya tidak ada yang tahu. Wajahnya kalau dibandingkan dengan orang kampung ini kira-kira wajah usia 50 tahunan. Tapi, yang mengagumkan, wajah itu tetap saja dari waktu ke waktu. Sejak ditemukan di ujung jalan sampai terakhir kali ada di desa ini usia wajahnya tidak berubah.
      Namun, Siwo bukan orang gila. Disamping tidak merepotkan, ia juga suka bermain dengan anak-anak. Ia tidak pernah marah kalau diolok-olok. Bahkan ia tertawa-tawa sambil mengucapkan kata-kata yang tidak bisa dipahami anak-anak. Kadang-kadang dia memberi kelereng kepada anak-anak, dan anak-anak tidak pernah tahu dari mana ia mendapat kelereng. Anak-anak hanya tahu, Siwo merogoh saku celananya yang robek-robek, kemudian mengeluarkan genggaman tangannya. Seperti pesulap, ia membuka genggamannya pelan-pelan, butiran-butiran kelereng menggelundung di telapak tangannya.
      Ketua RW dari kampung ujung jalan itu pernah akan mengusirnya. Ia kawatir pos ronda akan dijadikan sarangnya. Kekawatiran Ketua RW itu tidak beralasan, karena Siwo tidak pernah masuk pos ronda, apa lagi tidur di situ.
      Lantas, Siwo tidur di mana? Ada yang mengatakan tidur di atas pohon, ada yang mengatakan tidur di goa di tebing sungai. Semua itu hanya dugaan, tidak ada yang tahu persis.
      Pada saatnya, orang-orang kampung ini menyadari kalau kehadiran Siwo merupakan berkah. Mereka menganggap, Siwo dikirim ke desanya untuk membasmi kejahatan yang sedang merajalela. Tentu saja pendapat itu berlebihan. Tetapi, Siwo selalu membongkar kejahatan yang terjadi di desa ini. Entah bagaimana cara dia mengetahui pengutil di toko Wak Geng itu si Juling, si Jangkung suka mengintip tetangganya yang mandi dari lubang angin-angin rumahnya.Â
Hebatnya, semuan pelaku tindakan jahat itu tidak bisa mengelak. Kelebihan Siwo itu semula diketahui ketika buah nangka milik Wak Pir di kebunnya hilang. Siwo yang melintas di kebun itu menghampiri Wak Pir. Dia bercerita kepada Wak Pir. Wak Pir awalnya tidak begitu mengerti yag dikatakan Siwo. Tetapi ia teringat ilmu bahasa binatang yang pernah diajarkan kakeknya. Kira-kira sama untuk memahami bahasa Siwo. Wak Pir mencobanya. Setelah membaca mantra dan mengambil sikap seperti sedang memusatkan pikiran, Wak Pir menyuruh Siwo mengulangi ceritanya.
      Ajaib! Di telinga Wak Pir, cerita Siwo terdengar begitu jelas. Sejelas orang bicara empat mata. Semula orang yang diceritakan Siwo itu menyangkal. Tapi setelah dapat dibuktikan di rumahnya ada sisa buah nangka, dia menyerah. Sejak itu, Siwo menjadi bintang kampung. Tentu saja berkolaborasi dengan Wak Pir, sebagai penerjemahnya. Mereka mengungkap kekelaman kampung ini satu demi satu.
      Kemampuan Siwo itu membalik perasaan orang-orang kampung 180 derajad. Kalau sebelumnya orang-orang cemas karena kawatir nasib buruk menimpa dirinya, sekarang merasa aman oleh pertolongan Siwo. Sebaliknya, yang sebelumnya menari-nari di atas penderitaan orang lain, sekarang amat membenci laki-laki tidak jangkep itu.
      Siwo menjadi rebutan dua belah pihak. Yang satu menempatkan Siwo menjadi pahlawan, dan menuntut pemerintahan desa untuk memberi penghargaan dengan menyediakan kebutuhan hidupnya, seperti makan sehari-hari, pakaian yang layak, dan tempat tinggal. Perhatian itu disamping sebagai bentuk rasa terimakasih, juga kalau sewaktu-waktu Siwo dibutuhkan tidak sulit mencarinya.
      Sebagian yang lain menolak mentah-mentah dengan alasan akan membebani anggaran desa. Disamping itu, kata mereka, cara Siwo mengetahui seseorang telah melakukan kejahatan tidak dapat diterima oleh akal. Hal ini rawan fitnah. Ia bisa dicap mengadu domba.