[caption caption="Pencari rumput"][/caption]Jalanan sedang lengang. Rintik hujan mengurai mendung yang mengambang di langit bersama burung-burung sriti. Suara sepeda motor meraung dari belakang punggung Bawon. Putaran rodanya melesat mengibarkan angin yang diam menyambut rintik hujan. Sedetik kemudian kuda besi itu menghantam Bawon dari belakang. Tubuhnya terpelanting ke udara. Bagai buah apel jatuh terhempas di permukaan aspal yang mengkilat. Becaknya ringsek. Rodanya melengkung membentuk angka 8.
Siapa pengemudi gila itu? Tidak ada yang tahu. Ia melesat sesudah menubruk hingga ditelan ujung jalan. Mungkin ia setan, mungkin juga dia malaikat, yang ditugaskan mengubah hidup Bawon.
Bawon tidak terlalu mengutuk penabrak itu. Ia merasa bersalah karena mengayuh becak tidak memperhatikan jalan. Tapi Bawon tidak sepenuhnya salah, tagihan uang sekolah anaknya yang harus cepat dibayar sebelum ujian sekolah dimulai membuat pikirannya melayang-layang. Mungkin sekolahan anaknya juga tidak salah, sebab barangkali uang itu dibutuhkan segera untuk membayar gaji gurunya.
Nahas di tengah gerimis itu sungguh melemparkan Bawon ke dunia baru. Tulang kakinya patah, otot-ototnya lumpuh, tak dapat menahan beban tubuhnya yang kerempeng itu. Becaknya menjadi seonggok rongsokan di gudang kantor polisi. “Selamat tinggal,” ucapnya lirih kepada si roda tiga yang setia menemani mengucurkan keringat bertahun-tahun. Bawon pensiun.
Kecelakaan itu juga menghentikan mimpi Zal, anak Bawon. Zal tidak berani masuk sekolah sebelum uang sekolahnya bisa dibayarkan. Tapi, rasanya tidak mungkin Bawon dapat menyediakan. Untuk mengurus Bawon di rumah sakit dan beli obat, Kam, istri Bawon telah menggadaikan perkakas dapur. Masih ditambah lagi utang pada tetangga.
Bawon menghibur Zal, “Nak, sekolahmu bisa dilanjutkan tahun depan. Kalau Bapak sudah sembuh. Kalau Bapak sudah bisa bekerja lagi. Kamu masih bisa belajar dari buku-buku bekas....”
Untungnya Zal penurut. Ia mengerti kesulitan bapaknya.
***
Hari-hari Zal berubah. Tidak ada lagi seragam sekolah. Tidak ada lagi sepatu jebol tungkainya. Tidak ada berangkat sekolah terburu-buru karena menunggu uang saku. Yang tidak berubah, Zal masih bangun pagi, saat adzan subuh berkumandang. Namun, dia tidak pergi ke sungai untuk mengucurkan badannya yang masih lunglai di pancuran sumber, seperti waktu masih sekolah. Ia mencangkung di pojok rumah memandangi matahari merekah di pucuk gunung. Ia menekuk kakinya, meletakkan dagunya di ujung runcing lututnya. Tangannya menggores-goreskan lidi di tanah, menorehkan sesuatu tak berbentuk.
Sementara Min, adik Zal, masih melungker di bilik gelap pengap. Ia ikut-ikutan tidak mau sekolah. Tidak jelas alasannya. Dia memang anak batu yang mampu diam dalam waktu yang panjang. Bawon tidak tega untuk berbuat kasar kepadanya. Ia belai-belai rambut anak bungsunya itu. Rambut yang kering dan berbau debu bantal.
Kam pulang ketika matahari belum setinggi tombak. Ia telah selesai mencuci pakaian di rumah Bu RW. Ia pulang membawa beras, tempe gembos, tahu gembos, seunting bayem. Rumah menjadi ramai oleh suaranya yang menghentak-hentak. Kadang tersengal-sengal karena napasnya pendek. Suaranya berturut dari depan rumah; mengomeli Zal yang mencangkung.
“Zal! Jangan hanya jadi patung. Ayo bantu emak!” Zal bangkit. Pergi entah ke mana.
“Ya ampun… Mbok ya nyapu… ngepel lantai...,” Suaranya pasti ditujukan kepada Bawon. Ia merasa mungkin harus mulai belajar menyapu dengan jalan merangkak. Tapi, mengepel lantai? Apanya yang dipel? Lantainya rumahnya masih berupa tanah. Bawon menahan diri. Ia tidak boleh menanggapi omelan Kam. Sekarang perempuan itu yang memutar roda di rumah ini.
“Min jangan dimanja saja. Suruh dia bangun,” perintahnya.
“Ayo Min, bangun! Sekolah! Emak sudah bilang pada Bu Guru,” kata Kam, pagi itu. Katanya Min telah dibebaskan dari uang sekolah. Tapi, Min tetap tidak mau sekolah. Ia sebenarnya sudah bangun, tapi pura-pura tidak mendengar. Telinganya ia sumpal dengan bantal.
Kam marah. Tiga cubitan mendarat di paha, di lengan, dan di punggung. Min tidak bereaksi. Namun, setelah batang sapu hendak melayang, Min lekas ganti baju. Meskipun begitu, ia tidak pergi ke sekolah, hanya berdiri di sudut gang. Pasti sampai matahari merambat ke ubun-ubun, sampai teman-temannya sudah kembali pulang dari sekolah.
“Aduuuh! Bubrah semua. Minyak goreng tidak ada. Jelantah pun kering. Ngutang sudah tak berani. Heh!” keluhnya dari dapur.
Memang wajar Kam mengeluh. Suaranya dikeraskan agar Bawon mendengar juga sudah selayaknya. Bawon merasa memang sudah seharusnya ia yang membuat anak-anak makan kenyang, tidur pulas, bisa sekolah, dan istri tidak keluyuran di pagi hari untuk mengepulkan tungku dapur.
***
Bagi Kam, tidak mudah untuk mencari pekerjaan. Sekarang bisanya kalau tidak mencuci baju, mungkin mencuci piring. Tetapi pekerjaan itu tidak pasti. Tergantung ibu-ibu di kampung ini terjepit waktu dan ada uang recehan atau tidak. Semua pekerjaan yang dikerjakan Kam ongkosnya memang kecil, tidak cukup untuk menjejali empat mulut dalam sehari.
Pernah Kam menceritakan temannya sekampung berangkat ke Hongkong menjadi TKI. Keberangkatan kedua, setelah pulang membawa segebok uang yang cukup untuk membangun rumah dengan lantai keramik. Bawon diam saja. Bawon tahu Kam tidak mungkin pergi menjadi TKI. Ia tidak punya hati untuk bekerja menyeberang laut di negeri orang. Ia hanya bisa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak jauh dari rumah. Ia sangat menyayangi anak-anaknya, meskipun suaranya renyah kepada mereka. Kalau belakangan ia suka marah karena hatinya sedang capek. Kalau ada waktu yang longgar pasti ia bersikap lembut kepada Zal dan Min.
“Huh! Hari ini tidak ada pekerjaan. Semua orang sudah mencuci sendiri. Sisa uang kemarin hanya cukup untuk ini,” keluh Kam pagi ini sambil meletakkan sebungkus beras di atas meja. Lantas ia pergi lagi. Bawon tidak sempat bertanya kepada Kam. Bawon sedang memecah bilah bambu saat Kam tergopoh-gopoh keluar gang.
Bawon mulai mencoba menemukan jalan agar bisa membantu Kam memperoleh tambahan. Bawon membuat layang-layang. Kerangkanya sudah selesai sepuluh biji. Memang masih hanya bisa membuat kerangkanya dengan bahan yang tidak membeli. Bawon memperoleh bambu dari sisa-sisa pagar milik tetangga. Benang diperoleh dari gulungan yang tergeletak di pojok rumah. Mungkin benangnya Min yang diperoleh dari layang-layang putus.
Menjelang tengah hari Zal muncul di gang kecil di depan rumah. Ia berlari-lari kecil mencari Min. Ia menggenggam beberapa batang permen cap kaki. Dua batang diberikan kepada Min. Anak kelas tiga ini menyambutnya dengan perasaan gembira.
Bawon was-was menyaksikan Zal menghisap permennya. Dari mana dia dapat uang? Dia sudah tidak pernah mendapat uang jajan lagi. Sesen pun tidak. Tapi Bawon tidak tega menegurnya. Jangan-jangan… Ah! Bawon tidak berharap dia melakukannya, sesulit apa pun keadaan mereka.
Bawon hampir menyelesaikan 20 kerangka saat Zal berdiri di depannya. Zal melihat bapaknya dengan mata terbelalak. Wajahnya seperti menyala. “Dijual Pak, biar dapat uang,” katanya, sambil melepas permen cap kaki dari mulutnya. Bawon agak terkejut mendengar usul anak itu. Ia sudah mulai berpikir bagaimana caranya memperoleh uang.
“Ya. Tapi tunggu modal untuk membeli kertasnya,” kata Bawon sambil melilit benang.
“Ini Pak, modalnya. Beli kertas secukupnya dulu.” Zal menyodorkan empat lembar uang ribuan. Bawon melotot padanya. Matanya berkaca-kaca.
“Kamu dapat dari mana, Zal?”
Zal mengeluarkan tutup botol yang dipipihkan dari dalam sakunya. Tutup botol pipih itu dirangkai dengan paku menjadi perkusi ecek-ecek. Kata Zal, ia gunakan ngamen di perempatan dekat alun-alun. Jauh sekali, pikir Bawon. Jaraknya dari rumah ada enam kilometer.
Bawon menarik napas. Menahan linang air mata. Zal berlompatan riang pergi ke toko Wak Geng untuk membeli kertas layang-layang.
***
Hari ini Kam pulang setelah matahari menggelincir dari puncak kepala. Ia membanting seikat kayu dari sunggiannya di halaman rumah. Kali ini Bawon dibuat terperangah. Tidak biasanya Kam mencari kayu bakar. Apa mau beralih masak dengan kayu bakar? Namun, sehabis membanting seikat kayu itu, Kam pergi lagi.
Lima belas menit kemudian, Kam datang lagi menyunggi seikat kayu pula. Membanting. Pergi lagi. Datang lagi dengan seikat kayu bakar lagi. Membanting lagi. Masuk rumah sebentar, minum air putih. Kemudian pergi lagi. Datang lagi. Menjelang petang ada seonggok kayu bakar di depan rumah.
Kayu-kayu ini akan Bawon jual, kata Kam, sebelum Bawon bertanya.
Kali ini Bawon mengagumi istrinya. Seperti Zal, Kam kadang-kadang menjadi cerdas. Ceritanya, ide Kam itu berawal dari mendengar keluhan ibu-ibu di kampung ini karena harga minyak tanah mahal. Ia ingat bagaimana emaknya dulu bisa menabung dari hasil menjual kayu bakar. Kenapa tidak? Pikir Kam. Kalau yang membutuhkan banyak pasti jualannya akan laris.
Benar juga. Ibu-ibu banyak yang datang ke rumah Bawon untuk membeli kayu bakar. Awalnya sehari bisa terjual lima ikat. Hari berikutnya persediaan kayu cepat habis, tapi yang pesan masih banyak. Kam kewalahan mencari kayu bakar. Ia membabati pohon-pohon perdu liar yang biasanya tumbuh di pinggiran; entah itu pinggir jalan, entah pinggir sungai, pinggir tegalan orang, sampai pinggir hutan.
Zal dengan suka cita membantu Kam. Karena kayu-kayu yang diangkut cukup banyak, Kam menyewa gerobak agar cepat mengangkutnya. Zal yang menarik gerobak sedangkan Kam yang mendorong. Min memang masih anak-anak. Ia masih ingin main-main. Kalau Zal dan Kam menarik gerobak kayu, Min minta naik di atas tumpukan kayu. Kalau dilarang, sifat batunya muncul. Dia akan diam seperti seonggok batu di pinggir sungai sana.
Kayu bakar ini tiba-tiba menjadikan keluarga mereka riang gembira. Bawon membantu mengupas kulit kayu yang masih basah. Kayu yang sudah Bawon kupas dijemur di terik matahari. Kupasannya dikumpulkan untuk dibakar sendiri.
Usaha menjual kayu bakar ini berkembang pesat. Pembelinya sampai kampung sebelah. Namun, rasanya kayu-kayu itu tidak pernah habis. Kadang-kadang, karena pembelinya banyak, Kam juga memborong kayu bakar milik petani yang tinggalnya dekat hutan. Untungnya tidak banyak. Tapi sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit.
Nah, akhirnya, malapetaka itu datang lagi. Kam dituduh mencuri kayu di di perkebunan pinggir hutan. Kam ditangkap saat sedang mengangkut kayu. Orang itu meneliti kayu-kayu di dalam gerobak. Kam bersikukuh tidak mencuri, karena di dalam gerobak hanya ada ranting-ranting saja. Ranting-ranting itu dia borong dari petani. Karena merasa bukti-buktinya tidak kuat Kam dilepas.
Namun, malamnya beberapa orang berpakaian preman diantar Pak RT datang ke rumah Bawon. Mereka merebut Kam dari dekapan keluarga yang sedang berusaha keluar dari kubangan ini. Mereka mencekal Kam, menggiringnya menuju mobil patroli. Bawon tidak percaya Kam melakukannya, karena Bawon tahu, Kam tidak akan pernah punya niat untuk mencuri.
Saat digelandang keluar rumah Kam berontak. Ia membantah di sepanjang gang itu. Kami tak sanggup memandang Kam. Zal menggigil ketakutan, sedangkan Min mengerang, mengiba. Zal memeluk adiknya. Bawon merayap di lantai tanah mendekati mereka. Ia mendekap kedua anaknya. Bawon berbisik nyaris tak bersuara.
“Besok kita susul emak kalian, Nak. Kita usahakan. Kita bebaskan….”
Djoglo Pandanlandung Malang
2012/2016
iman.suwongso@yahoo.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H