Lima belas menit kemudian, Kam datang lagi menyunggi seikat kayu pula. Membanting. Pergi lagi. Datang lagi dengan seikat kayu bakar lagi. Membanting lagi. Masuk rumah sebentar, minum air putih. Kemudian pergi lagi. Datang lagi. Menjelang petang ada seonggok kayu bakar di depan rumah.
Kayu-kayu ini akan Bawon jual, kata Kam, sebelum Bawon bertanya.
Kali ini Bawon mengagumi istrinya. Seperti Zal, Kam kadang-kadang menjadi cerdas. Ceritanya, ide Kam itu berawal dari mendengar keluhan ibu-ibu di kampung ini karena harga minyak tanah mahal. Ia ingat bagaimana emaknya dulu bisa menabung dari hasil menjual kayu bakar. Kenapa tidak? Pikir Kam. Kalau yang membutuhkan banyak pasti jualannya akan laris.
Benar juga. Ibu-ibu banyak yang datang ke rumah Bawon untuk membeli kayu bakar. Awalnya sehari bisa terjual lima ikat. Hari berikutnya persediaan kayu cepat habis, tapi yang pesan masih banyak. Kam kewalahan mencari kayu bakar. Ia membabati pohon-pohon perdu liar yang biasanya tumbuh di pinggiran; entah itu pinggir jalan, entah pinggir sungai, pinggir tegalan orang, sampai pinggir hutan.
Zal dengan suka cita membantu Kam. Karena kayu-kayu yang diangkut cukup banyak, Kam menyewa gerobak agar cepat mengangkutnya. Zal yang menarik gerobak sedangkan Kam yang mendorong. Min memang masih anak-anak. Ia masih ingin main-main. Kalau Zal dan Kam menarik gerobak kayu, Min minta naik di atas tumpukan kayu. Kalau dilarang, sifat batunya muncul. Dia akan diam seperti seonggok batu di pinggir sungai sana.
Kayu bakar ini tiba-tiba menjadikan keluarga mereka riang gembira. Bawon membantu mengupas kulit kayu yang masih basah. Kayu yang sudah Bawon kupas dijemur di terik matahari. Kupasannya dikumpulkan untuk dibakar sendiri.
Usaha menjual kayu bakar ini berkembang pesat. Pembelinya sampai kampung sebelah. Namun, rasanya kayu-kayu itu tidak pernah habis. Kadang-kadang, karena pembelinya banyak, Kam juga memborong kayu bakar milik petani yang tinggalnya dekat hutan. Untungnya tidak banyak. Tapi sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit.
Nah, akhirnya, malapetaka itu datang lagi. Kam dituduh mencuri kayu di di perkebunan pinggir hutan. Kam ditangkap saat sedang mengangkut kayu. Orang itu meneliti kayu-kayu di dalam gerobak. Kam bersikukuh tidak mencuri, karena di dalam gerobak hanya ada ranting-ranting saja. Ranting-ranting itu dia borong dari petani. Karena merasa bukti-buktinya tidak kuat Kam dilepas.
Namun, malamnya beberapa orang berpakaian preman diantar Pak RT datang ke rumah Bawon. Mereka merebut Kam dari dekapan keluarga yang sedang berusaha keluar dari kubangan ini. Mereka mencekal Kam, menggiringnya menuju mobil patroli. Bawon tidak percaya Kam melakukannya, karena Bawon tahu, Kam tidak akan pernah punya niat untuk mencuri.
Saat digelandang keluar rumah Kam berontak. Ia membantah di sepanjang gang itu. Kami tak sanggup memandang Kam. Zal menggigil ketakutan, sedangkan Min mengerang, mengiba. Zal memeluk adiknya. Bawon merayap di lantai tanah mendekati mereka. Ia mendekap kedua anaknya. Bawon berbisik nyaris tak bersuara.
“Besok kita susul emak kalian, Nak. Kita usahakan. Kita bebaskan….”