Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Jangan Masukkan Ranting-ranting dalam Terali

10 April 2016   10:07 Diperbarui: 10 April 2016   21:07 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Zal! Jangan hanya jadi patung. Ayo bantu emak!” Zal bangkit. Pergi entah ke mana.

“Ya ampun… Mbok ya nyapu… ngepel lantai...,” Suaranya pasti ditujukan kepada Bawon. Ia merasa mungkin harus mulai belajar menyapu dengan jalan merangkak. Tapi, mengepel lantai? Apanya yang dipel? Lantainya rumahnya masih berupa tanah. Bawon menahan diri. Ia tidak boleh menanggapi omelan Kam. Sekarang perempuan itu yang memutar roda di rumah ini.

“Min jangan dimanja saja. Suruh dia bangun,” perintahnya.

“Ayo Min, bangun! Sekolah! Emak sudah bilang pada Bu Guru,” kata Kam, pagi itu. Katanya Min telah dibebaskan dari uang sekolah. Tapi, Min tetap tidak mau sekolah. Ia sebenarnya sudah bangun, tapi pura-pura tidak mendengar. Telinganya ia sumpal dengan bantal.

Kam marah. Tiga cubitan mendarat di paha, di lengan, dan di punggung. Min tidak bereaksi. Namun, setelah batang sapu hendak melayang, Min lekas ganti baju. Meskipun begitu, ia tidak pergi ke sekolah, hanya berdiri di sudut gang. Pasti sampai matahari merambat ke ubun-ubun, sampai teman-temannya sudah kembali pulang dari sekolah.

“Aduuuh! Bubrah semua. Minyak goreng tidak ada. Jelantah pun kering. Ngutang sudah tak berani. Heh!” keluhnya dari dapur.

Memang wajar Kam mengeluh. Suaranya dikeraskan agar Bawon mendengar juga sudah selayaknya. Bawon merasa memang sudah seharusnya ia yang membuat anak-anak makan kenyang, tidur pulas, bisa sekolah, dan istri tidak keluyuran di pagi hari untuk mengepulkan tungku dapur.

***

Bagi Kam, tidak mudah untuk mencari pekerjaan. Sekarang bisanya kalau tidak mencuci baju, mungkin mencuci piring. Tetapi pekerjaan itu tidak pasti. Tergantung ibu-ibu di kampung ini terjepit waktu dan ada uang recehan atau tidak. Semua pekerjaan yang dikerjakan Kam ongkosnya memang kecil, tidak cukup untuk menjejali empat mulut dalam sehari.

Pernah Kam menceritakan temannya sekampung berangkat ke Hongkong menjadi TKI. Keberangkatan kedua, setelah pulang membawa segebok uang yang cukup untuk membangun rumah dengan lantai keramik. Bawon diam saja. Bawon tahu Kam tidak mungkin pergi menjadi TKI. Ia tidak punya hati untuk bekerja menyeberang laut di negeri orang. Ia hanya bisa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak jauh dari rumah. Ia sangat menyayangi anak-anaknya, meskipun suaranya renyah kepada mereka. Kalau belakangan ia suka marah  karena hatinya sedang capek. Kalau ada waktu yang longgar pasti ia bersikap lembut kepada Zal dan Min.

“Huh! Hari ini tidak ada pekerjaan. Semua orang sudah mencuci sendiri. Sisa uang kemarin hanya cukup untuk ini,” keluh Kam pagi ini sambil meletakkan sebungkus beras di atas meja. Lantas ia pergi lagi. Bawon tidak sempat bertanya kepada Kam. Bawon sedang memecah bilah bambu saat Kam tergopoh-gopoh keluar gang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun