Mohon tunggu...
Iman Haris M
Iman Haris M Mohon Tunggu... Freelancer - Loper Koran

Semua penulis akan mati

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Yang Muda yang Menggoda, Menggaet Gen Z dengan Kegemoyan dan Berjoged

19 November 2023   21:50 Diperbarui: 23 November 2023   01:15 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi APK 'Gemoy' (Foto: KOMPAS.com/XENA OLIVIA)

Kita rasanya memang sering terobsesi dengan kemudaan, yang boleh jadi salah satu obsesi tertua peradaban manusia: awet muda, daun muda, apapun yang muda-muda.

Bangsa Maya konon menjadikan gadis-gadis muda sebagai persembahan bagi dewa-dewa mereka. Saat bencana melanda, anak-anak perawan dikorbankan untuk meredakan murka para dewa.

Ritual pengorbanan anak muda ini merupakan hal yang sangat lazim di banyak peradaban kuno. Mungkin karena kemudaan atau keperawanan dipercaya mewakili konsep kemurnian dan kesucian.

Manusia modern belum bisa benar-benar terlepas dari gagasan kemurnian anak muda ini. Anak-anak atau remaja tetap menjadi brand architype untuk menampilkan citra kejujuran dan harapan.

Anak-anak muda ini juga tidak hanya menjadi brand image produk-produk industri, tetapi juga pasar potensial mereka.

Di dunia politik, strategi pemasaran dan periklanan ini juga menjadi salah satu taktik para politisi dalam meraup dukungan dan suara, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di banyak belahan dunia.

Anak Muda Jadi Incaran

Survei CSIS yang dirilis Kompas (27/09/2022) menunjukkan bahwa jumlah pemilih muda (usia 17-39) akan mendominasi Pemilu 2024, yaitu sekitar 190 juga pemilih atau 60 persen dari total suara.

Tingginya angka pemilih muda dalam Pilpres 2024 mendorong para calon presiden berlomba mencari perhatian anak-anak muda (generasi Y dan Z) dengan berbagai cara.

Prabowo Subianto segera menggaet Gibran, meski lolosnya sang putra mahkota dari aturan syarat ambang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden menuai kontroversi.

Kaesang Pangarep, putra Jokowi lainnya, tentu menyokong langkah sang kakak. Setelah sebelumnya mengambil alih kepemimpinan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) hanya dalam dua hari paska bergabung dengan partai anak muda itu.

Dalam deklarasi dukungan PSI terhadap pasangan Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024, tercetuslah panggilan 'gemoy' untuk calon presiden yang sebelumnya pernah diberikan penghargaan 'Kebohongan Award' oleh partai yang menjadi sekoci Jokowi itu.

Panggilan 'gemoy' yang merupakan plesetan dari 'menggemaskan' itu tampaknya diberikan sebagai citra baru bagi Prabowo agar terasa lebih ramah dan dekat dengan pemilih muda.

Sebelumnya, Sekjen PSI--Raja Juli Antoni--menilai pencitraan Prabowo pada Pilpres 2019 sebagai sosok yang lembut, ramah, interaktif dan komunikatif telah gagal.

"Mungkin masa kampanye yang panjang ini akhirnya membuka topeng dan bedak pencitraannya. Beliau kembali menjadi pemimpin yang emosional, egoistik, self sentric dan merasa hebat," ujarnya kepada Kompas (09/04/2019).

Gen Z, Pemilih Pemula dan Massa Mengambang

Anak-anak muda, terutama gen Z yang merupakan pemilih pemula adalah digital native. Mereka pada umumnya mendapatkan informasi melalui media sosial.

Menyadari hal itu, para pendukung Prabowo segera membanjiri media sosial dengan gambar-gambar kartun gemoy Prabowo.

Kampanye digital dan visual menjadi menu utama bagi generasi yang terutama berinteraksi, bersosialisasi dan berkomunikasi melalui media sosial ini.

Rasanya cukup sulit untuk menemukan adu argumentasi dan pertukaran gagasan yang subtantif menjelang pemilihan kepala pemerintahan negara dengan penduduk lebih dari 270 juta ini.

Publik hanya disajikan gambar-gambar kartun gemoy dan foto Prabowo berjoged yang diselingi tautan berita berjudul "Diamkan Saja!" atau ajakan 'move on' dari putusan kontroversial MK yang meloloskan salah satu cawapres dalam kontestasi yang memakan anggaran sebesar 76,6 triliun ini.

Sementara itu, anak-anak muda yang berani bersuara dan bersikap kritis terhadap situasi negara ini menghadapi pembungkaman dan diintimidasi, seperti dialami oleh Ketua BEM UI, Melki Sedek Huang, usai mengkritisi putusan MK.

Para pemilih muda seolah hanya perlu ikut rame-rame--tanpa perlu pemikiran, penalaran, argumentasi ataupun rasionalisasi--dengan dalih "politik riang gembira" dan "pesta demokrasi."

"Sudah saatnya Pemilu sebagai pesta demokrasi lima tahunan disambut rakyat dgn gembira dan sukacita," tulis Sigit Widodo pada akun X-nya (8/11/2023)

Dia juga menambahkan, "Sudah bukan zamannya lagi Pemilu disambut dgn keresahan, apalagi perpecahan hanya karena beda pilihan. Yuk move on, berpolitik dgn santun dan santuy."

Membaca cuitan Ketua DPP PSI--Sigit Widodo--di atas, seakan membaca parafrase pidato Jendral Soeharto lebih dari 40 tahun yang lalu.

"Pemilu harus dirasakan sebagai pesta poranya demokrasi, sebagai penggunaan hak demokrasi yang bertanggung jawab dan sama sekali tidak berubah menjadi sesuatu yang menegangkan dan mencekam," terang Soeharto menjelang Pemilu 1982.

Depolitisasi melalui politik massa mengambang (floating mass) merupakan tahapan penting dari proses rezimentasi otoritarianisme Orde Baru.

Menurut Made Supriatma (2019), "Bagi para ideolog Orde Baru, rakyat adalah massa mengambang. Massa ini tidak punya ideologi atau keyakinan, tidak punya imajinasi tentang masa depan."

Rasanya, persepsi akan masyarakat--khususnya anak muda--seperti ini juga yang dimiliki para politisi hari ini, tidak terkecuali para politisi muda.

Memajang anak muda di jejeran timses, cawapres dan pendukung itu perlu untuk menampilkan imaji kemurnian perjuangan, ketulusan dan harapan; tanpa perlu bicara terobosan gagasan, cukup keberlanjutan.

Karena itu, menurut mereka, masyarakat tidak perlu bersusah payah ikut berpikir atau berdebat mengenai mekanisme seleksi para calon pemimpin mereka.

Dengan cara berpikir seperti itu, wajar para pendukung capres-cawapres ini lebih banyak mengkomunikasikan kegemoyan dan joged calon presiden ketimbang terobosan gagasan ataupun etika dan moralitas yang melatari pencalonan mereka.

Bagi para politisi itu para pemilih muda hanya dipandang sebagai generasi yang polos tanpa pandangan dan kepentingan politik, cukup asik-asik aja dan serahkan semua urusan kepada penguasa.

Lalu, Apa Maumu Anak Muda?

Pilihannya tentu ada di tangan anak muda. Apakah mereka hanya akan membiarkan suara mereka diperebutkan dan sekedar dipersembahkan untuk memenuhi kotak suara, atau mereka akan bersuara melantangkan pandangan, gagasan dan cita-cita mereka.

Masa depan Indonesia ada di tangan mereka. Para politisi itu harus belajar mendengarmu dan bukan sekedar mengira-ngira apa maumu atau memajangmu sebagai juru bicara, sementara masa depanmu dikorbankan demi kenyamanan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun