Rian berkali-kali berusaha membuka matanya lebih lebar, mencoba membaca kata-kata di buku tulisnya meski dengan terbata-bata. Sementara itu, Bu Lis, guru pendampingnya, tampak berusaha keras mempertahankan kesabarannya meski tak bisa menyembunyikan kekesalannya.
Beberapa minggu terakhir ini Rian memang mulai mengikuti kelompok belajar di desa kami. Meski usianya sudah tiga belas tahun, kemampuan membaca dan menulis Rian memang agak tertinggal dibanding anak-anak sebayanya.
Pandemi COVID-19 praktis menghentikan pembelajaran formal Rian di kampungnya dulu. Setelah pandemi berlalu, Rian yang sebelumnya tinggal bersama neneknya mendesak ingin ikut ibunya yang bekerja di Cimahi sebagai pembantu.
Ibunya mulai mencarikan sekolah untuknya, tapi dengan berbagai aturan baru seperti zonasi dan segala macamnya, Rian kesulitan untuk mendapatkan sekolah baru yang dapat menerimanya, hingga salah seorang tetangga menyarankannya untuk mengikuti kelompok belajar pendidikan kesetaraan atau PKBM.
“Sekolah paket,” demikian banyak orang biasa menyebutnya, karena jenjang pendidikan di PKBM dikelompokkan menjadi Paket A untuk program kesetaraan SD, Paket B untuk program kesetaraan SMP, dan Paket C untuk program kesetaraan SMA.
Rian ditempatkan di kelompok belajar Paket A, dan mulai kembali melanjutkan pendidikannya yang sempat tertunda.
Rian mungkin cukup beruntung, meski tak sempat menamatkan bangku SD, ibunya sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Ia tak ingin anaknya bernasib sama dengan dirinya dan mantan suaminya, ayah Rian, yang bekerja sebagai pengumpul barang bekas.
Banyak orang tua yang—dengan berbagai latar belakang dan alasan—tampak tidak lagi peduli atas kelanjutan pendidikan anak-anaknya, seolah menyerah kalah dari game, gadget, keretakan keluarga atau lingkungan—baik pergaulan maupun masyarakat pada umumnya.
Kondisi sosial ekonomi dan kultur masyarakat di kampung Rian dulu juga tampaknya berpengaruh pada putus sekolahnya Rian. Menurut pengakuan ibunya, di Desa Gunung Jampang, kampungnya yang termasuk kawasan terluar Kabupaten Garut, banyak masyarakat memang terbiasa putus sekolah.
Begitu terpencilnya desa ini, sehingga pembangunan jalan yang dapat dilalui kendaraan roda empat dari pusat kota Kabupaten Garut baru akan dirampungkan tahun ini.
Begitu juga dengan akses terhadap pendidikan, yang menurut penuturan ibunya Rian, selain SD, di kampungnya hanya terdapat satu SMP terbuka. Desa ini seolah tak terjamah laju pembangunan.
Namun demikian, kini Rian sudah bisa melanjutkan pendidikannya, meski dengan fasilitas dan kapasitas kelompok belajar yang seadanya.
Di tengah kesibukan sebagai pembantu yang seringkali tak kenal waktu, ibunya pun selalu menyempatkan mendampingi kegiatan belajar Rian.
Namun masalah baru muncul, ketika operator Dapodik tidak bisa memasukkan data Rian ke dalam data siswa di PKBM, karena ternyata data Rian sudah dimasukkan di sebuah sekolah menengah pertama di Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut.
Pada saat pulang kampung, ibunya pun sudah berusaha menanyakan masalah ini ke pihak SD tempat Rian dulu bersekolah. Mereka mengaku sudah lama mengeluarkan data Rian.
Lalu, bagaimana bisa Rian terdata di sekolah menengah pertama? Bukankah untuk bisa masuk SMP perlu ijazah SD, sementara Rian tidak pernah menamatkan sekolah dasarnya.
Operator Dapodik di PKBM mencoba mencari informasi mengenai SMP tadi, tapi nomor telepon yang terdapat di Google ternyata tidak bisa dihubungi.
Dia juga belum berkonsultasi dengan operator Dapodik di Dinas Pendidikan, karena berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, jarang mendapat solusi, kecuali penjelasan prosedural seperti biasa.
Mendorong Rian untuk melanjutkan pendidikan di SMP tersebut juga bukan pilihan yang memungkinkan. “Siapa yang mau mengantarnya, pak? Lagipula Pakenjeng itu jauh. Rumah saya mah di gunung,” ungkap sang ibu.
Jarak Desa Gunung Jampang ke Kecamatan Pakenjeng memang hampir 40 kilometer jauhnya, dan ya, siapa yang mau mengantarnya? Sementara di kampung hanya tinggal kakek dan nenek Rian yang sudah sepuh.
Apa yang harus Rian Lakukan?
Ijazah dan pembelajaran memang tak mesti selalu sejalan. Ibunya berharap Rian setidaknya bisa lebih lancar membaca, menulis dan berhitung. Akan tetapi, bagaimana masa depannya nanti jika ijazah SD pun tak punya? Apalagi Rian bukan anak pengusaha, artis atau pejabat yang punya banyak relasi.
Data siswa seolah menjadi permainan bagi sebagian orang. Terkadang, beberapa sekolah menahan data siswa sehingga tidak bisa pindah sekolah dengan berbagai alasan, terutama tunggakan biaya pendidikan. Sudah beberapa siswa PKBM di desa kami yang tidak bisa melanjutkan pendidikan dengan alasan ini.
Prosedur input data juga seringkali menjadi hambatan, seperti yang dialami Rian. Kenyataan di lapangan menunjukkan, sekedar membebaskan siswa dari biaya SPP kadang tidak serta merta menjamin mereka terbebas dari ancaman putus sekolah.
Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka anak putus sekolah di tahun 2022 yang lalu. Merujuk pada hasil olah data Susenas oleh Bappenas, angka anak putus sekolah di Indonesia meningkat dari 3.939.869 anak pada tahun 2021 menjadi 4.087.288 anak pada tahun 2022.
Ada banyak faktor ekonomi, sosial dan kultural yang dapat menghambat anak-anak ini untuk dapat mengikuti persekolahan seperti anak-anak lainnya.
Sebagian dari mereka harus menjaga adik-adiknya karena kedua orang tuanya bekerja, ikut menjaga warung, membantu orang tua, bekerja, bahkan pernikahan dini.
Pendidikan kesetaraan di PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) yang menjadi harapan terakhir mereka untuk melanjutkan pendidikan pun kini tak lagi bisa berbuat banyak.
Upaya standarisasi proses pembelajaran dan prosedur administrasi pendataan yang terpusat seperti sekarang ini sampai batas tertentu memang diperlukan, tapi kehidupan orang-orang kecil tak selalu berjalan sesuai prosedur hidup menurut para ahli dan pengambil kebijakan.
Kisah Rian hanyalah satu dari sekian banyak cerita orang-orang kecil lainnya, anak-anak bangsa yang konon akan menjadi bonus demografi bagi Indonesia di masa depan.
Sayangnya mereka tak punya banyak pilihan, masa depan mereka seringkali disandera berbagai kepentingan, manipulasi, standarisasi, prosedur dan laporan asal bapak senang.
Ah, kadang sekedar ingin sekolah saja serba salah …
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H