Mohon tunggu...
Iman Haris M
Iman Haris M Mohon Tunggu... Freelancer - Loper Koran

Semua penulis akan mati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Toxic Positivity Politics

31 Oktober 2023   22:39 Diperbarui: 31 Oktober 2023   23:27 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kaki kita terinjak dan kita hanya tersenyum sama orang yang menginjak kaki kita, tentu hanya akan memperpanjang rasa sakit dan sama sekali tidak mengubah keadaan. Tidak ada yang positif dari keadaan semacam ini.

Timbulnya rasa sakit, lalu bereaksi atas rasa sakit itu merupakan cara manusia bertahan hidup sepanjang sejarahnya. Rasa sakit adalah cara tubuh memberitahu kita ada sesuatu yang salah, bahkan mungkin mengancam kehidupan kita. Tubuh sedang memberitahu bahwa kita sedang tidak baik-baik saja, dan perlu melakukan sesuatu untuk mengatasinya.

Menerima rasa sakit itu dan mengakui bahwa kita tidak sedang baik-baik saja merupakan langkah pertama kita untuk mencari cara mengatasinya.

Dalam kehidupan, tentu bukan cuma resiko terinjak kaki yang mungkin terjadi. Bayangkan jika kita berada dalam sebuah kapal yang akan tenggelam, kita sudah melihat berbagai kebocoran atau gejala lainnya yang akan segera menenggalamkan kapal itu dan membahayakan seluruh penumpang.

Dalam situasi semacam ini, tetap berpura-pura positif dengan mengatakan semuanya baik-baik saja, memuji-muji kinerja nahkoda dan para awak kapal yang sudah bekerja keras jelas tidak akan menyelamatkan kita dan semua orang yang berada di kapal itu dari bencana.

Situasi darurat membutuhkan tindakan darurat, kita harus mengingatkan orang-orang, terutama mereka yang bertanggungjawab, akan bahaya yang tengah terjadi.

Seringkali kita juga mendengar, ketika publik melakukan kritik, menyalakan tanda bahaya, responnya adalah, "Ngomong aja ... Kerja!" atau "Kamu udah melakukan apa!?"

Lha kita kan penumpang, yang awak kapal dan seharusnya kerja bukannya situ?

Pejabat negara--yang memiliki otoritas atas anggaran, aparat, kebijakan dan berbagai perangkat kenegaraan lainnya--menuntut publik untuk melakukan pekerjaan yang mereka pinta sendiri setiap pemilu, yang bahkan mereka bikin anggaran gaji beserta tunjangan mereka sendiri untuk melakukan pekerjaan itu, apa nggak salah?

Kadang narasi agama juga digunakan untuk meredam kritik publik, "masyarakat perlu sabar, kita harus ikhlas." Ya, tentu saja, kita perlu sabar dan ikhlas dengan keadaan apapun yang kita hadapi, tapi apa berarti diam?

Para pendiri negara ini telah bersepakat bahwa bentuk negara Indonesia adalah republik, ketika urusan negara menjadi urusan publik, ini adalah komitmen kita dalam bernegara.

Ketika warga bertanya apa saja yang telah dilakukan negara--misalnya saja--untuk mengatasi membumbungnya harga beras, bukan karena warga ingin ikut campur urusan negara, tapi karena urusan negara adalah urusan publik, dan jangan pula tetiba masyarakat disuruh ganti nasi dengan pisang, singkong atau yang lainnya hanya karena pemerintah gagal mengatasi kelangkaan atau tingginya harga beras.

Upaya diversifikasi pangan adalah satu hal dan langkah konkrit pemerintah untuk mengatasi kesemrawutan tata kelola dan menjaga ketersediaan pangan adalah hal lainnya.

Beberapa waktu yang lalu, pada saat harga cabai naik, seorang kepala daerah meminta masyarakat untuk menanam cabai sendiri. Tampak bijak sana, tapi tidak bijak sini.

Seandainya gagasan tadi lahir dari masyarakat sipil, tentu merupakan inisiatif positif yang harus diapresiasi, didorong dan didukung. Sudah banyak juga kelompok masyarakat yang melakukannya. Sayangnya, lontaran ini justru dikemukakan oleh pejabat negara yang seharusnya mengatasi masalah melalui instrumen kebijakan, alokasi anggaran dan manajemen sumber daya.

Ini kenapa kebalik-balik? Jangan-jangan, kalau terjadi kelangkaan dan kenaikan harga telur, masyarakat diminta bertelur sendiri.

Persoalan dengan sikap seolah positif ini adalah kita cenderung mengabaikan tanda bahaya, kalau kata orang-orang pinter di televisi, "tidak ada sense of crisis."

Ketika demokrasi mengalami regresi, konsolidasi otoritarianisme di depan mata, gagasan usang pembangunanisme diusung partai anak muda, maka kita tidak sedang baik-baik saja.

Adegan makan siang bersama seolah semuanya baik-baik saja jelas tidak mengubah kenyataan bahwa demokrasi Indonesia tengah menuju karam, dan karena itu, setidaknya saya akan bilang, "Aduh! Maaf, kaki saya terinjak kaki bapak."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun