Ketulusan peribadatan tidak bisa menjadi pembenaran bagi siapapun untuk abai terhadap hak-hak publik atas ruang yang kita berbagi hidup di dalamnya.
Jangankan menggunakan toa, dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, Nabi Muhammad bahkan menegur sahabatnya karena mengeraskan suara saat membaca Al-Quran di dalam mesjid.
"Sesungguhnya kalian memiliki munajatnya masing-masing dengan Rabb-nya. Karena itu, janganlah kalian saling mengganggu, dan jangan pula saling mengeraskan bacaan Al-Quran (atau dalam salatnya)."
Tentu, adakalanya kita perlu mengeraskan suara. Saat azan yang memang merupakan panggilan salat, toa dibutuhkan, namanya juga memanggil dari kejauhan.
Di samping untuk azan, terkadang toa juga bisa kita gunakan untuk memaklumkan hal-hal yang perlu diketahui warga, misalnya saja kabar duka anggota masyarakat sekitar.
Tapi, kan tidak setiap yang mampir di kepala perlu dimaklumatkan juga, berdoa pun rasanya tak harus selalu ber-toa.
Menjaga ruang publik agar nyaman ditinggali bersama tentu harus dipertimbangkan juga dalam kaifiyat ber-toa ini.
Lagi pula, kedekatan seseorang dengan mic, amplifier dan toa tidak bisa menjadi ukuran kebenaran orang tersebut, apalagi kedekatannya dengan Tuhan.
Apa jadinya jika kebenaran di negeri ini boleh ditentukan siapapun yang menguasai toa? Meski mungkin, genggaman tangan atas mic, amplifier dan toa memberikan semacam kuasa juga.Â
Ada yang berkuasa dengan memiliki jabatan lebih tinggi, dengan memiliki uang lebih banyak, dengan memiliki titel lebih banyak, ada juga yang berkuasa dengan ber-toa.
Pada akhirnya, karena toa hanya punya moncong tanpa telinga, terpaksa juga kita maklumi. Ya, harap maklum.