Mohon tunggu...
Iman Haris M
Iman Haris M Mohon Tunggu... Freelancer - Loper Koran

Semua penulis akan mati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ber-toa adalah Berkuasa

26 Maret 2023   20:41 Diperbarui: 26 Maret 2023   22:18 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toa | Sumber gambar: macrovector on Freepik

Bagi anda yang tinggal di pemukiman padat penduduk, mungkin tak jarang mendengar suara khotbah yang lantang di malam hari.

Setuju atau tidak, anda hanya bisa menelan monolog yang diperkuat alat bernama toa ini, hingga terkadang pekik semangat pak khatib berpadu dengan hingar karaoke tetangga, bising knalpot dan tangisan anak kecil.

Toa memang tak sendiri, tapi sudah lazim buat kita menyebut apapun merek speaker atau megaphone dengan toa.

Mungkin tak perlu dipermasalahkan juga, toh kita tidak pernah mendengar pemilik merek dagang, misalnya saja, Odol--apalagi masyarakat Jerman--tersinggung sentimen nasionalismenya gegara istilah odol kita gunakan untuk menyebut pasta gigi.

Masalahnya, sebagaimana otoritas administratif atas frekwensi serta merta mendaku sebagai rujukan kebenaran, kekuasaan atas toa masjid pun seolah menjadi landasan orang untuk mendaku kebenaran dan memaksakannya di ruang publik.

Bahkan peribadatan paling privat pun mesti diperdendangkan dan dijejalkan ke telinga semua orang hanya karena menjadi preferensi para pemilik kuasa atas toa.

Kesantunan hidup sebagai anggota masyarakat dipaksa mengalah pada semangat syi'ar yang tak kenal kompromi.

Siang, malam, bahkan dini hari; tak peduli orang mesti beristirahat, punya kesibukan lain, atau sama beribadat pula di rumahnya masing-masing, gaung kesalehan diri mesti terkumandang dan diketahui setiap makhluk Tuhan di muka bumi.

"Ah, jangan su'udzon,"  Oh ya tentu saja, mengganggu orang pun jangan pula.

Jika hingar toa menjadi identik dengan masjid sebagai tempat peribadatan kaum Muslim, maka Islam tak semestinya menanggung kebisingannya.

Ketulusan peribadatan tidak bisa menjadi pembenaran bagi siapapun untuk abai terhadap hak-hak publik atas ruang yang kita berbagi hidup di dalamnya.

Jangankan menggunakan toa, dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, Nabi Muhammad bahkan menegur sahabatnya karena mengeraskan suara saat membaca Al-Quran di dalam mesjid.

"Sesungguhnya kalian memiliki munajatnya masing-masing dengan Rabb-nya. Karena itu, janganlah kalian saling mengganggu, dan jangan pula saling mengeraskan bacaan Al-Quran (atau dalam salatnya)."

Tentu, adakalanya kita perlu mengeraskan suara. Saat azan yang memang merupakan panggilan salat, toa dibutuhkan, namanya juga memanggil dari kejauhan.

Di samping untuk azan, terkadang toa juga bisa kita gunakan untuk memaklumkan hal-hal yang perlu diketahui warga, misalnya saja kabar duka anggota masyarakat sekitar.

Tapi, kan tidak setiap yang mampir di kepala perlu dimaklumatkan juga, berdoa pun rasanya tak harus selalu ber-toa.

Menjaga ruang publik agar nyaman ditinggali bersama tentu harus dipertimbangkan juga dalam kaifiyat ber-toa ini.

Lagi pula, kedekatan seseorang dengan mic, amplifier dan toa tidak bisa menjadi ukuran kebenaran orang tersebut, apalagi kedekatannya dengan Tuhan.

Apa jadinya jika kebenaran di negeri ini boleh ditentukan siapapun yang menguasai toa? Meski mungkin, genggaman tangan atas mic, amplifier dan toa memberikan semacam kuasa juga. 

Ada yang berkuasa dengan memiliki jabatan lebih tinggi, dengan memiliki uang lebih banyak, dengan memiliki titel lebih banyak, ada juga yang berkuasa dengan ber-toa.

Pada akhirnya, karena toa hanya punya moncong tanpa telinga, terpaksa juga kita maklumi. Ya, harap maklum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun