Halo teman semua, khususnya sesama diabetesi yang berbahagia.
Setelah sebulan lamanya saya mengikuti marathon Samber THR Kompasiana, sekarang kita berjumpa kembali di habitat yang kita cintai bersama, habitatnya para pembelajar hidup sehat.
Senang rasanya saya bisa kembali ke habitat kita ini, habitat yang bukan saja mempertemukan sesama pembelajar hidup sehat, tetapi secara khusus boleh mengumpulkan para diabetesi, untuk saling memberi semangat bahwa kita masih bernilai, bahkkan sangat berarti, bagi dunia ini. Tanpa kehadiran kita, dunia ini akan terasa sepi. Ini serius, bukan sekedar menghibur diri. Makanya, ayo semangat. Dunia tidak selebar lembaran resep dokter.
Kedatangan kembali saya saat ini adalah dengan sebuah oleh-oleh yang semoga saja boleh menggembirakan hati setiap orang, khususnya para diabetesi. Coba terka, apakah oleh-oleh yang saya bawakan untuk kamu semua?
Oleh-oleh yang saya bawakan bukanlah sejumlah obat atau suntikan insulin yang kamu bisa beli di apotik atau di toko online. Oleh-oleh yang saya bawakan bukanlah juga sebuah peralatan olahraga untuk membuat daftar inventaris peralatan olahragamu semakin bertambah. Oleh-oleh yang saya bawakan kali ini adalah sebuah kabar tentang sayur brokoli. Sebuah oleh-oleh yang sederhana, si hijau yang gagah, yang turut menjaga kadar glukosa darah.
Ya, mungkin terasa 'lebay' kalau brokoli dijuluki sebagai si hijau yang gagah, yang turut menjaga kadar glukosa darah. Tapi penilaian tentang kehebatan brokoli dalam mengendalikan gejala diabetes bukanlah suatu penilaian subyektif. Dan, kabar tentang kemampuan brokoli dalam menjaga kadar glukosa darah bukanlah juga sebuah cerita fiktif. Karena, ada data dan fakta sehingga si hijau yang gagah ini pantas menjadi menu makanan seorang diabetesi.
Oh, iya, saya sebut brokoli sebagai si hijau yang gagah karena sayuran berwarna hijau ini berbeda dari kebanyakan sayuran yang lain. Kalau banyak sayuran lain mempunyai batang yang terkesan lemah-gemulai, maka brokoli memiliki batang yang lumayan keras sehinga membuat sayuran ini terlihat kokoh dan tidak loyo. Hohoohooo ...!
= = =
Brokoli adalah tanaman yang masuk dalam golongan tanaman kubis-kubisan. Tanaman yang masih satu famili dan bersaudara sepupu dengan brokoli adalah kol, kembang kol, sawi putih, sawi hijau, pakcoi, lobak, selada air, dan sebagainya. Sebagaimana tanaman saur-sayuran lainnya, brokoli tumbuh subur di daerah yang berhawa sejuk, di tanah yang gembur pada ketinggian 1000-2000 mdpl.
Dilansir dari sinta.unud.ac.id, brokoli merupakan tanaman semusim dengan daur hidup berlangsung minimal empat bulan dan maksimal setahun, tergantung tipenya. Sebagai mahluk hidup brokoli termasuk spesies Brassica oleraceae, genus Brassica, Famili Cruciferae, Kelas Dicotyledoneae, Subdivisi Angiospermae, dan Divisi Spermatophyta.
Teman-teman gak usah pusing dengan semua nama ilmiah pada klasifikasi tanaman brokoli tersebut. Gak usah dihapalkan. Dilupakan atau diabaikan juga gak apa-apa. Tapi kalau untuk sekedar ingin tahu, tentu saja boleh. Heheeheee ...!
Masih dari situs yang sama tersebut di atas, brokoli dikatakan mengandung nilai gizi yang sangat penting untuk kesehatan. Brokoli mengandung vitamin A, B1, B2, B3, C, E dan K. Brokoli juga mengandung folic acid, fosfor, magnesium, besi, potassium, serat, beta karoten dan kalsium yang tinggi. Selain itu, brokoli juga mengandung polynutrients seperti sulforaphane yang merupakan agen anti kanker.
Dilansir dari health.kompas.com, hanya 3,5 gram karbohidrat yang dapat dicerna dari satu cangkir atau 91 gram brokoli. Dan, dengan indeks glikemik sebesar 10 (IG rendah = 55 ke bawah) berarti brokoli dapat menjadi menu makanan untuk mengendalikan kadar glukosa darah dalam kisaran aman. Kadar glukosa darah tidak akan langsung melonjak tinggi setelah makan brokoli.
Sebagai seorang diabetesi yang memilih pendekatan 'intermittent fasting' dan menu makanan yang selektif dalam mengendalikan gejala diabetes, maka saya telah mengalami dan merasakan sendiri bagaimana brokoli telah menjadi salah satu pilihan yang cocok untuk mengisi piring makan seorang penderita diabetes.
Ada beraneka macam sajian makanan yang berisikan brokoli. Mau dicampur atau tidak dicampur dengan sayur-sayuran lainnya, brokoli tetap enak walau sekalipun tanpa dimasak.
Saya sendiri suka memakan brokoli mentah, atau cukup disiram air panas saja. Batangnya  terasa renyah seperti tulang rawan yang dikunyah. Apalagi, jika disantap bersama kecap, tomat, bawang merah, bawang putih, cabe rawit dan kerupuk, maka jadilah saya seperti sedang melahap sate padang. Duh, enaknya!
Saat ini saya sudah dan sedang menjalani 'intermittent fasting'Â dengan pola jendela 5:2 selama hampir tiga bulan. Dan, hasil yang saya dapatkan adalah bahwa kadar glukosa darah puasa saya selalu stabil di bawah 100 mg/dL. Bukan itu saja, kadar total kolesterol saya pun stabil di bawah 200 mg/dL, dulunya selalu di atas 200 mg/dL, bahkan sering di atas 250 mg/dL. Berat badan saya juga sudah turun secara perlahan dan bertahap dari 80 kg pada saat awal melakukan 'intermttent fasting' menjadi 76 kg pada saat ini. Kisah lebih lengkap tentang alasan saya menjalani metode 'intermittent fasting'Â dapat dilihat di sini
Saya sudah tidak lagi memakan obat metformin dan glibenclamide ataupun obat-obat lainnya untuk menjaga kadar glukosa darah saya. Saya gak berani memakan obat-obatan itu lagi karena penderitaan sembelit yang hebat sebagai efek samping obat yang saya rasakan. Entahlah, kalau nanti gejala diabetes saya semakin memburuk, saya mungkin terpaksa harus minum obat-obatan itu lagi.
Setelah menghentikan pemakaian metformin dan glibenclamide sebagai obat penurun kadar glukosa darah, saya hanya menjalankan 'intermittent fasting' dan melakukan gerak badan secara teratur setiap hari, kecuali hari Sabtu, rata-rata 45-60 menit per hari untuk menjaga kadar glukosa darah saya. Saya tidak tahu apakah pendekatan yang saya lakukan ini, jika dilakukan dalam jangka waktu yang panjang, masih akan efektif dalam pengendalian gejala diabetes saya atau justru memperburuk kondisi kesehatan saya. Entahlah, saya tidak tahu pasti. Saya akan terus memantau. Tapi mudah-mudahan saja hasilnya tetap efektif. Tapi saya percaya bahwa 'intermittent fasting'Â dapat memenuhi tujuan penatalaksanaan diabetes sebagaimana Konsensus yang dibuat oleh PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) di sini.
Sejauh ini, rasa kesemutan yang hebat dan yang dulu sering saya rasakan sudah jauh berkurang. Tapi saya berpikir bahwa berbagai kerusakan karena diabetes mungkin saja sudah terjadi di dalam tubuh saya.
Saya pernah diberitahu oleh dokter bahwa semua kerusakan yang sudah terjadi itu tidak akan dapat pulih 100% normal lagi. Karena itu, saya tidak merasa heran ketika pada saat ini saya masih merasakan rasa kebas di jari-jari kaki (gejala neuropati diabetik), atau penglihatan mata saya masih blur (gejala retinopati diabetik), atau bahkan juga, air urin saya masih terlihat berbusa (gejala nephropati diabetik).
Ya, itulah berbagai gangguan kesehatan yang saya alami akibat kebiasaan pola hidup tidak sehat yang saya jalankan puluhan tahun lamanya. Padahal, dokter sudah berulang kali mengingatkan saya, tapi selalu saya abaikan. Sekarang saya menyesal. Tapi apa boleh buat? Ini adalah penyesalan yang terlambat. Saya harus siap menerima label sebagai seorang penderita diabetes melitus tipe 2.
Jadi, seorang diabetesi memang harus tahu diri kalau dirinya gak bisa seperti dulu lagi. Seorang diabetesi gak bisa bebas lagi untuk makan apa saja walau mulut masih meminta dan kapasitas penampungan di lambung masih tersedia. Jangan lagi deh seorang diabetesi berangan-angan untuk bebas makan apa saja kalau masih ingin memiliki hidup yang lebih berkualitas di sisa-sisa akhir hidupnya. Ih, kok seram begitu sih?
Ya, betul itu. Seorang penderita diabetes melitus tipe 2 sepatutnya memang harus selalu sadar bahwa dirinya sudah tidak mungkin untuk makan-makan enak lagi. Beberapa organ dalam tubuh seorang diabetesi sudah tidak dapat berfungsi maksimal lagi. Salah dalam mengatur asupan jenis dan jumlah makanan, dan kurang dalam melakukan gerak badan, akan menyebabkan kadar glukosa darah naik lagi melewati ambang batas normal yang ditentukan.
"Saya menyerah," begitulah mungkin kira-kira rintihan sel-sel di dalam tubuh yang tidak sanggup lagi menyerap glukosa di dalam darah. Resistensi insulin telah terjadi. Akibatnya, kadar glukosa darah akan tetap tinggi di atas ambang batas normal kalau asupan karbohidrat tidak dikendalikan. Dan itu berbahaya, bukan? Komplikasi diabetes semakin mengancam, bukan?
= = =
Teman-temanku yang masih benar-benar sehat, berbahagialah kamu kalau kamu belum terkena status pre-diabetes, apalagi diabetes. Tapi itu bukan berarti bahwa kamu bebas untuk makan sembarangan. Itu juga bukan berarti bahwa kamu boleh hidup secara bermalas-malasan.
Kamu perlu jalankan pola hidup sehat. Kamu harus lakukan gerak badan secara teratur dan dengan bersemangat. Agar kamu jangan menjadi seperti kami-kami ini yang sudah terjerat dalam pelukan maut si 'manis', istilah untuk penyakit kencing manis atau diabetes.
Tentu makanan yang cocok untuk menjaga kadar glukosa darah bukan cuma brokoli. Masih ada banyak sayur-sayuran, biji-bijjian, dan buah-buahan yang cocok sebagai santapan yang tidak menyebabkan naiknya kadar glukosa darah. Nanti di kesempatan lain kita coba lihat bersama makanan apa lagi yang pantas untuk turut menjaga kadar glukosa darah bagi kita semua, khususnya bagi para diabetesi.
Akhir kata dari saya saat ini, untuk kamu yang masih sehat, dan khususnya untuk sesama penderita diabetes seperti saya, ayo sering-seringlah jadikan brokoli sebagai salah satu menu di piring makan kita. Bersama brokoli, si hijau yang gagah, kita jaga kadar glukosa darah.
Selamat menjalankan pola hidup sehat dan tetap semangat!
Bekasi, 16 Mei 2021
Si-Iman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H