Mohon tunggu...
Lukman Hamarong
Lukman Hamarong Mohon Tunggu... Administrasi - Sangat sulit menjadikan aku seperti kamu, karena aku adalah aku, kamu ya kamu

Mengalir seperti air

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

BOLA, Guru Bahasa Ketiga Terbaikku

29 Juli 2016   20:04 Diperbarui: 29 Juli 2016   20:15 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dengan berlangganan BOLA, saya bisa belajar lebih banyak lagi tentang bahasa (dok. pribadi)

Dalam kamus kehidupanku, hanya ada tiga guru bahasaku. Pertama, sudah tentu orang tuaku, yang mulai mengenalkan aku tentang huruf-huruf konsonan (A I U E O). Kedua, sudah pasti guru bahasaku di sekolah yang mulai mengajarkan aku bagaimana menyusun kata  menjadi kalimat hingga menjadi sebuah tulisan yang sederhana. Dan yang ketiga adalah BOLA, yang menyempurnakan bahasaku di setiap tulisanku. 

BOLA di sini tentu bukan sahabat sejati dari sepasang kaki Messi, Maradona dan Pele, tiga pemain terbaik yang pernah dimiliki sepak bola. Bukan pula nama orang yang berprofesi guru dan sebagainya..... dan sebagainya. BOLA yang aku maksud adalah Tabloid BOLA, media olah raga terpopuler di tanah air yang merupakan pelopor lahirnya media-media ber-genre olah raga di Indonesia.

Sebagai media olah raga nomor satu di Indonesia, BOLA selalu memberikan sejuta inspirasi bagi pembacanya. Selain hadir sebagai penambah khazanah sepak bola dunia, BOLA juga hadir sebagai guru bahasa terbaik, setidaknya itu menurut aku sebagai pribadi yang punya “kedekatan” historis dengan BOLA. Aku sudah mengenal BOLA sejak 1990,  dua tahun setelah BOLA berpisah dari induknya, KOMPAS. BOLA pertama kali hadir sebagai sisipan Harian KOMPAS pada Maret 1984, dan mulai mandiri empat tahun kemudian. BOLA tidak hanya menyampaikan berita, tetapi juga menyajikan pelajaran bahasa Indonesia melalui isi tulisan yang ada dalam setiap lembarannya.

BOLA itu seperti guru bahasa. Tak salah kuangkat dia sebagai  guru terbaikku yang ketiga. BOLA tahu betul dan sangat paham bagaimana membangun sebuah konstruksi tulisan yang sempurna, yang memenuhi kaidah bahasa Indonsia. Setiap isi tulisannya kutelaah dengan baik. Aku tidak hanya membaca, tetapi juga mempelajari gaya bahasa, penulisan dan pemilihan judul yang benar dan menarik, penempatan tanda baca, pepatah, peribahasa, istilah-istilah asing, sampai akronim-akronim indah yang diciptakannya. Sampai-sampai pada sebuah tulisanku (lupa judulnya) yang aku posting di Kompasiana dikomentari oleh seorang kompasianers (juga lupa namanya). Dia mengatakan gaya bahasa di tulisanku mirip-mirip dengan gaya bahasa di Tabloid BOLA.

Benar! Aku tidak menampik “tuduhan” itu. Pepatah lama mengatakan, buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Mungkin seperti itu juga diriku. BOLA yang sudah aku baca sejak 1990 sedikit banyak memengaruhi pengetahuanku, bukan cuma soal sepak bola semata, tetapi juga perbendaharaan kosakata dan juga penggunaan kata dan bahasa yang sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Bahkan sampai sekarang pun, di tengah membludaknya media olah raga berbasis internet (online), aku masih setia membaca BOLA versi cetaknya, meski BOLA juga hadir lewat versi online. Ibarat rokok, BOLA pun seperti candu bagiku. Berlangganan BOLA hingga detik ini adalah pemuas canduku.

Ada beberapa perubahan besar yang aku jumpai pada penulisan sebuah kata, kalimat, frasa atau istilah-istilah di BOLA, yang sebenarnya jamak kita pakai sehari-hari. Kata “sepakbola” misalnya, sering kita jumpai di kebanyakan media, tapi BOLA menulisnya secara terpisah menjadi “sepak bola”. Akhirnya aku pun mencari tahu kebenarannya di KBBI online. Dan ternyata kata “sepakbola” tidak ditemukan, yang ada hanyalah “sepak bola”. Sejak itulah aku mulai meninggalkan “sepakbola” dan memakai “sepak bola”. Pun dengan kata “olahraga” yang harus ditulis terpisah menjadi “olah raga”.

Ada juga penempatan awalan “di” dan “ke” yang harus disambung atau dipisah. Juga penggunaan kata “sekadar” yang ternyata bukan “sekedar”. Pun kata “mempengaruhi”, ternyata yang benar “memengaruhi”, serta yang lebih ajaib lagi kata “pembalap” yang oleh BOLA selalu tulis “Pebalap”. Aturan penulisan angka biasa dan romawi juga ada. Pun “Anda” bukan “anda”, “di antara” bukan “diantara”, “antarpemain” bukan “antar pemain”, serta “telanjur” bukan “terlanjur”. BOLA menulis seperti itu bukan tanpa dasar. Acuannya pasti EYD. Nah, kalau slogan BOLA selama ini “Memabawa Anda ke Arena”, maka tidak salah juga kalau aku mengatakan BOLA membawa kita ke dalam kelas belajar.

Dari contoh di atas, bisa aku simpulkan bahwa BOLA betul-betul tak pernah keluar dari koridor aturan baku penulisan yang baik dan benar. Menghadirkan sebuah tulisan ke hadapan pembaca harus punya etika, dan etika dalam berbahasa yang dituangkan dalam bentuk tulisan, tidak keluar dari pakem yang sudah diatur dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dipertegas dalam bingkai EYD. 

Banyak yang bisa menulis dengan tata kata dan kalimat serta gaya bahasa yang begitu indah, menarik, dan inspiratif, tetapi belum semua orang bisa menulis dengan bahasa yang mengikuti aturan main EYD. Dan BOLA selangkah lebih maju, karena dia hadir tidak hanya menyajikan berita olah raga, tetapi juga bisa menginspirasi pembaca melalui konstruksi tulisan yang dibangun secara indah dengan menggunakan “material” EYD.

Penulis tanpa bahasa yang benar ibarat tentara tanpa senjata. Olehnya itu, bagi seorang penulis, bahasa adalah senjata. Detail kecil dalam menulis jangan dipandang enteng karena detail kecil dalam penulisan bisa berpengaruh besar pada pembaca. Bahkan seorang konseptor sambutan dan operator persuratan di instansi pemerintahan juga tak boleh menyepelekan hal yang terkait bahasa. 

Dunia literasi yang penuh fantasi dalam memainkan frasa akan terasa minor jika kemampuan menulis tidak dilengkapi dengan kemampuan menempatkan kata berdasarkan EYD. Urgensi bahasa Indonesia bisa kita lihat pada kriteria penilaian Ujian Nasional, di mana mata pelajaran bahasa Indonesia ditempatkan pada posisi tertinggi, kemudian disusul matematika, dan IPA.   

Aku banyak belajar dari tulisan para pendekar literasi semodel Sumohadi Marsis, Christian Gunawan, Weshley Hutagalung, dan Arief Natakusumah. Dari mereka-lah aku bisa seberani ini menulis apa saja. Mereka tidak hanya pandai merangkai kata menjadi frasa dan kalimat yang indah dibaca, tetapi mereka juga sangat lihai menginspirasi melalui metode penempatan bahasa yang tak pernah keluar dari pakem EYD. 

Mereka menulis sekaligus mengajar. Tulisan yang edukatif adalah sumber inspirasi bagi siapa saja yang membacanya. Menginspirasi orang lain lewat tulisan tidak  hanya bergerak pada bingkai gagasan, tetapi juga bisa dalam bingkai bahasa. Dan Tabloid BOLA ahli soal itu. Terima kasih, BOLA. Engkaulah canduku. (Lukman Hamarong)


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun