Mohon tunggu...
Lukman Hamarong
Lukman Hamarong Mohon Tunggu... Administrasi - Sangat sulit menjadikan aku seperti kamu, karena aku adalah aku, kamu ya kamu

Mengalir seperti air

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Sepak Bola Harus seperti Tinju

11 Juli 2016   19:16 Diperbarui: 12 Juli 2016   12:08 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Muhammad Ali dan Pele | Foto: Istimewa

Pesta Euro 2016 telah usai. Juara baru, Portugal, berpesta di kandang “Ayam Jantan” Prancis. Eder, pemain pengganti, tampil sebagai pahlawan lewat golnya di babak tambahan waktu. Prancis menangis. Sejarah tak berulang. Kandang “Ayam” pun berubah jadi arena adu tangis. Catatan menarik lainnya, Cristiano Ronaldo, juga harus menangis karena tak mampu menyelesaikan pertandingan akibat cedera. 

Meski demikian, tangisan Ronaldo berubah menjadi tangisan bahagia di akhir laga. Cinta “Sang Dewi” ternyata begitu tulus. Selamat buat Cristiano dkk. Hasil tersebut bisa saja membawa Cristiano meraih Ballon d’Or 2016 meski nir kontribusi di laga final. Saya punya prediksi tentang empat besar Ballon d’Or 2016, yakni Cristiano, Messi, Suarez dan Griezmann. Meski demikian, saya hadir lewat tulisan tidak untuk mengupas hasil final Euro. Saya lebih tertarik membahas adu tendangan penalti, yang pada Euro kali ini sempat terjadi sebanyak tiga kali.

Tak ada satu pun pelatih yang menginginkan timnya menyelesaikan sebuah pertandingan lewat adu tendangan penalti. Kalau bisa menang dalam waktu normal, kenapa harus menunggu waktu tambahan atau harus melewati tos-tosan adu penalti? Adu tendangan 12 pas adalah cara terakhir untuk menentukan sang pemenang sebuah laga, jika dalam waktu normal dan extra time  kedua tim bermain imbang. 

Istilah saya, tim yang menang adu penalti ibarat tim menang “arisan”. Ketika adu penalti diambil, maka sejatinya kedua tim resmi dinyatakan imbang. Itulah sebabnya kenapa gol yang dicetak lewat adu penalti tidak dicatat sebagai gol murni pemain. Hasilnya pun tidak dimasukkan dalam penghitungan gol. Hasil resmi yang menjadi acuan adalah tetap imbang. Makanya adu penalti biasanya dilakukan pada babak knockout atau sistem gugur.

Olehnya itu, karena harus ada tim yang melangkah ke babak berikutnya, ataukah menentukan sang jawara, maka mau tidak mau jalan terakhir berupa adu penalti harus diambil. Suka tidak suka,  pelatih dan pemain harus siap mengambil tugas berat tersebut. Aturan adu penalti sudah dilakukan UEFA dan FIFA sejak 1970-an. 

Dan hingga sekarang selalu dijadikan opsi terakhir untuk menetapkan sebuah pemenang. Nah, pertanyaannya, sudah adilkah aturan adu tendangan penalti diambil dalam menentukan sang pemenang? Apakah sebuah tim yang bermain baik dan menguasai jalannya laga dan unggul dalam statistik pertandingan harus kalah lawan tim yang memainkan sepak bola “negatif” dengan acara tos-tosan adu penalti?

Argentina dua kali mengalami hal menyakitkan di laga final. Final Copa America 2015 dan 2016 menjadi bukti sahih betapa opsi adu tendangan penalti tidak adil dalam sepak bola. Pun di Piala Eropa, di mana Polandia harus angkat koper akibat disingkirkan Portugal di babak perempat final. Belum lagi Italia yang tersingkir lewat jalan yang sama oleh Jerman di babak delapan besar. 

Saya pribadi paling anti dengan adu penalti. Saya lebih senang menonton sebuah pertandingan yang selesai dalam waktu normal. Ada perasaan puas karena adrenalin saya tidak harus terpacu lebih kencang dibanding saya harus menjadi saksi betapa pedihnya sebuah tim kalah lewat sebuah acara “arisan”. Kita yang menonton saja begitu tegang, apalagi para pemain dan pelatih yang notabene pelakon langsung di lapangan.  

Kalah lewat adu penalti, airmata kesedihan adalah pelampiasannya. Air mata Messi dan Buffon bisa menjadi gambaran betapa berat menerima kekalahan lewat adu penalti. Sebaliknya, menang berarti selebrasi kegembiraan yang akan tersaji. Sangat kontras kita melihatnya. Betapa berat beban yang harus diemban para eksekusi penalti dan para kiper.

Mungkin kiper tidak terlalu menjadi kambing hitam kegagalan, tapi eksekutor penalti-lah yang kerap dijadikan sasaran tembak, seperti yang dialami Messi. Padahal betapa banyak pemain bintang juga kerap gagal melakukannya, seperti Diego Maradona, Roberto Baggio, Cristiano Ronaldo dll.

Lalu seperti apa sepak bola seharusnya diselesaikan ketika kedua tim bermain imbang sepanjang 2 x 45 menit? Mungkin aturan extra time 2 x 15 menit bisa diteruskan, tapi adu penalti sebaiknya dihentikan saja. Cari cara lain agar tidak ada tim yang tersakiti secara psikologis. Ada baiknya sepak bola menerapkan aturan yang ada di olah raga tinju. Jangan salah dulu, saya tidak mengatakan para pemain bola harus beradu pukul di lapangan. Siapa yang paling banyak K.O dia-lah pemenangnya. Bukan, bukan itu. Dan pasti itu adalah cara terburuk dan akan mengakibatkan sepak bola bagaikan olah raga bar-bar.

Tinju adalah olah raga keras. Sama kerasnya dengan sepak bola. Olah raganya para lelaki jantan ini memerlukan ketahanan fisik yang prima jika ingin tampil baik. Tapi coba tengok di tinju. Jika kedua petinju tidak ada yang terkapar jatuh, atau tersudut di ring akibat berondongan pukulan, maka pemenangnya harus ditentukan lewat data statistik. Maka para juri yang berjumlah tiga orang harus melihat mana petinju yang lebih banyak memasukkan pukulan telak, dan mana petinju yang agresif menyerang dan mengontrol laga lewat berbagai model pukulan. Yang unggul dalam statistik menurut para juri, maka dialah pemenangnya.

Kemenangan dalam tinju ditentukan oleh K.O dan T.K.O. Jika kedua petinju tidak ada yang terjatuh hingga ronde pamungkas, maka pemenangnya harus ditentukan lewat data statistik yang dilakukan ketiga juri. Menurut saya, itulah cara terbaik menentukan sang pemenang. Rasa keadilan terpenuhi karena data statistik tak bisa bohong. Meski demikian, yang namanya aturan yang dibuat manusia tentu sudah pasti ada kekurangaannya dan tidaklah sempurna, tetapi cara inilah menurut saya yang paling memenuhi rasa keadilan dalam olah raga.

Sepak bola pun harus seperti tinju jika menginginkan keadilan bertahta di singgasananya. Ini juga bisa dijadikan stimulan agar para tim sepak bola lebih intens memainkan sepak bola menyerang, sekaligus menekan sebuah tim melakukan cara-cara “kotor” untuk meraih kemenangan dengan menerapkan sepak bola pragmatis, “parkir bus” misalnya. Kalau menang di waktu normal mungkin tidak menjadi soal, tapi jika menang lewat adu penalti, maka betapa sakitnya tim yang kalah meski mampu mendominasi jalannya laga.

Dalam sepak bola selalu tersaji data statistik pertandingan. Penguasaan bola, tendangan ke gawang, tendangan tepat ke arah gawang, sepak pojok, kartu kuning, dan kartu merah. Jenis-jenis statistik ini barus betul-betul dimanfaatkan dengan baik dalam menentukan siapa pemenang sesungguhnya. Mungkin shoot on target bisa dijadikan penilaian utama, baru kemudian disusul ball posesion, dan penilaian lainnya yang masuk dalam kriteria penilaian. 

Kalau cara ini mampu dilaksanakan, saya yakin semua stakeholder dalam sepak bola akan mendukung segala perubahan demi perubahan dalam sepak bola. Stagnasi dalam sepak bola hanya akan melahirkan kejenuhan. Jika ingin sepak bola tetap menjadi olahraga primadona, maka lakukan perubahan demi perubahan. Sama ketika UEFA di era Michel Platini, merubah format peserta Euro dari 16 negara menjadi 24 negara peserta yang sangat menguntungkan bagi Portugal, Islandia, dan Albania. (Lukman Hamarong)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun