Tinju adalah olah raga keras. Sama kerasnya dengan sepak bola. Olah raganya para lelaki jantan ini memerlukan ketahanan fisik yang prima jika ingin tampil baik. Tapi coba tengok di tinju. Jika kedua petinju tidak ada yang terkapar jatuh, atau tersudut di ring akibat berondongan pukulan, maka pemenangnya harus ditentukan lewat data statistik. Maka para juri yang berjumlah tiga orang harus melihat mana petinju yang lebih banyak memasukkan pukulan telak, dan mana petinju yang agresif menyerang dan mengontrol laga lewat berbagai model pukulan. Yang unggul dalam statistik menurut para juri, maka dialah pemenangnya.
Kemenangan dalam tinju ditentukan oleh K.O dan T.K.O. Jika kedua petinju tidak ada yang terjatuh hingga ronde pamungkas, maka pemenangnya harus ditentukan lewat data statistik yang dilakukan ketiga juri. Menurut saya, itulah cara terbaik menentukan sang pemenang. Rasa keadilan terpenuhi karena data statistik tak bisa bohong. Meski demikian, yang namanya aturan yang dibuat manusia tentu sudah pasti ada kekurangaannya dan tidaklah sempurna, tetapi cara inilah menurut saya yang paling memenuhi rasa keadilan dalam olah raga.
Sepak bola pun harus seperti tinju jika menginginkan keadilan bertahta di singgasananya. Ini juga bisa dijadikan stimulan agar para tim sepak bola lebih intens memainkan sepak bola menyerang, sekaligus menekan sebuah tim melakukan cara-cara “kotor” untuk meraih kemenangan dengan menerapkan sepak bola pragmatis, “parkir bus” misalnya. Kalau menang di waktu normal mungkin tidak menjadi soal, tapi jika menang lewat adu penalti, maka betapa sakitnya tim yang kalah meski mampu mendominasi jalannya laga.
Dalam sepak bola selalu tersaji data statistik pertandingan. Penguasaan bola, tendangan ke gawang, tendangan tepat ke arah gawang, sepak pojok, kartu kuning, dan kartu merah. Jenis-jenis statistik ini barus betul-betul dimanfaatkan dengan baik dalam menentukan siapa pemenang sesungguhnya. Mungkin shoot on target bisa dijadikan penilaian utama, baru kemudian disusul ball posesion, dan penilaian lainnya yang masuk dalam kriteria penilaian.
Kalau cara ini mampu dilaksanakan, saya yakin semua stakeholder dalam sepak bola akan mendukung segala perubahan demi perubahan dalam sepak bola. Stagnasi dalam sepak bola hanya akan melahirkan kejenuhan. Jika ingin sepak bola tetap menjadi olahraga primadona, maka lakukan perubahan demi perubahan. Sama ketika UEFA di era Michel Platini, merubah format peserta Euro dari 16 negara menjadi 24 negara peserta yang sangat menguntungkan bagi Portugal, Islandia, dan Albania. (Lukman Hamarong)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H