Hingga saat ini Imas Mintarsih belum pernah menggunakan ijazah sarjana miliknya untuk melamar kerja. Harap mafhum, saat lulus kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Imas lebih memilih fokus mengembangkan bisnis kerupuk jengkol. Dalam sehari ia mengolah rata-rata 20 kg jengkol. Jengkol itu ia rebus hingga matang kemudian dihancurkan hingga halus. Perempuan asal Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, itu lalu mencampurnya dengan tepung tapioka dan bumbu penyedap rasa.
Setelah adonan jadi, Imas lalu mencetak adonan hingga berbentuk memanjang dan mengukusnya hingga matang. Perempuan kelahiran 1995 itu kemudian mengiris adonan matang yang telah didinginkan hingga menjadi lembaran-lembaran tipis. Irisan adonan itu kemudian dijemur hingga kering. Pada tahap akhir, Imas menggoreng irisan adonan itu menjadi kerupuk jengkol.
      Imas lalu menambahkan aneka bumbu untuk menciptakan aneka varian rasa, seperti rasa original, pedas, dan sapi panggang alias barbeque.  Ia lalu mengemas kerupuk jengkol itu dalam kemasan plastik berisi 80 g dan diberi label merek Oyoh De' Krupuk Jengkol. Imas menjual kerupuk jengkol buatannya melalui media sosial dan situs penjualan daring dengan harga Rp10.000 per kemasan. Dalam sebulan perempuan 23 tahun itu menjual rata-rata 1.000 kemasan atau total omzet Rp10 juta. Pendapatan lain ia peroleh dari hasil penjualan kerupuk dalam kemasan kecil berharga Rp1.000 per kemasan.
Imas memberi nama merek kerupuk jengkol produksinya diambil dari panggilan sang ibu yang bernama Yoyoh. Di kediaman Imas, yakni di Desa Pamulihan, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, nama Oyoh sohor sebagai produsen kerupuk jengkol sejak 1980-an. Namun, ketika itu sang ibu hanya memasarkan kerupuk jengkol buatannya di warung-warung di seputaran rumahnya dengan harga murah, yakni hanya Rp1.000 per bungkus. Imas ingin produk buatan ibunya itu naik kelas. Ia lalu mencari cara untuk membesarkan usaha kerupuk jengkol yang dirintis sang ibu. "Jika usaha kerupuk jengkol berkembang, saya berharap petani jengkol pun turut sejahtera," kata Imas.
Pada 2014 Imas mulai mewujudkan mimpinya dengan mendaftarkan produk kerupuk jengkol miliknya ke Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang untuk memperoleh izin edar sebagai Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT). Menurut pakar usaha kecil dan menengah di Jakarta, Iim Rusyamsi, M.M., Â izin PIRT adalah sertfikat izin edar yang wajib dimiliki produsen pangan (makanan dan minuman) berskala rumah tangga.
Sertifikat itu adalah izin paling dasar agar produk industri rumah tangga dapat memperoleh kepercayaan keamanan pangan dari konsumen. Produsen juga lebih leluasa menembus pasar yang lebih luas. Pasalnya, pasar swalayan atau perusahaan ritel besar lainnya menyaratkan produk yang dijual memiliki izin edar minimal PIRT. Imas juga mengurus sertfikat halal. "Perizinan itu penting agar konsumen nyaman mengonsumsi produk kita," tutur anak bungsu dari empat bersaudara itu.
Imas juga merancang kemasan agar kerupuk jengkol produksinya lebih terlihat menarik, modern, dan "kekinian". Semula kemasan kerupuk hanya plastik transparan ukuran kecil. Kini kerupuk jengkol bikinan Imas berbalut kemasan aluminium foil berperekat sehingga dapat dibuka-tutup. "Dengan begitu kerupuk menjadi tidak mudah melempem kalau tidak langsung habis dimakan," ujarnya.
Untuk mengembangkan pemasaran, Imas mengikuti berbagai program pembinaan untuk pengembangan wirausaha. Salah satunya Program Wirausaha Muda Pertanian (PWMP) di kampus saat ia masih kuliah. Pada 2015 ia juga aktif mengikuti berbagai kegiatan pembinaan dan pameran yang digelar Dinas Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Provinsi Jawa Barat. Ia juga aktif mengkuti beberapa pameran melalui komunitas pelaku usaha di Kabupaten Sumedang, pemerintah Kabupaten Sumedang, maupun koperasi Wirausaha Jabar Sejahtera (WJS).
Imas juga menggunakan sarana media sosial dan situs penjualan daring untuk memasarkan kerupuk jengkol. Berkat berbagai upaya pemasaran itu, kerupuk jengkol buatannya kini makin sohor. Permintaan tak hanya datang dari seputar Kabupaten Sumedang, tapi juga dari kota lain seperti Bandung, Jawa Barat, serta kota-kota lain di Jawa Timur dan Pulau Kalimantan. Beberapa konsumen bahkan membawa kerupuk jengkol buatan Imas ke mancanegara, seperti Mesir, sebagai buah tangan.
Pada awal 2017, Imas membaca sebuah pengumuman tentang kompetisi wirausaha pemula bertajuk The Big Start Indonesia Season 2 yang digelar salah satu perusahaan penjualan daring terkemuka di tanah air. Ia pun memberanikan diri untuk berpartisipasi. Tak disangka dari 20.000 peserta, Imas lolos menjadi salah satu dari 100 peserta terbaik. Selanjutnya dari 100 peserta terbaik itu panitia menyaring lagi hingga menjadi 20 peserta terbaik.
Dalam seleksi selanjutnya panitia memilih 4 peserta terbaik. Dalam seleksi itu panitia mengarantina para peserta dan memberikan berbagai tantangan setiap pekan. "Setiap tantangan memiliki tingkat kesulitan berbeda. Yang paling sulit itu saat bertemu calon investor. Baru kali ini saya bertemu investor," ujar Imas. Dalam seleksi itu ia juga memperoleh arahan dari seorang mentor yang merupakan salah satu selebritis berbakat, yaitu Daniel Mananta. Kegigihan dan percaya diri membawa Imas menjadi salah satu di antara 4 peserta yang terpilih menjadi finalis dan akhirnya meraih juara ke-3. Dalam kompetisi itu ia memperoleh hadiah Rp200 juta.
Dengan prestasi itu Imas berharap kerupuk jengkol Oyoh semakin berkembang menjadi salah satu produsen makanan ringan terbesar di Indonesia. Dengan begitu ia juga berharap dapat mensejahterakan para petani jengkol. "Jengkol juga menjadi makanan yang dapat diterima oleh semua kalangan," tutur Imas. (Imam Wiguna)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H