Mohon tunggu...
Imamul Aripin
Imamul Aripin Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Dasar

Belajar keanekaragaman hayati melalui macro fotography

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

PPGJ Pembunuh?

19 November 2020   22:40 Diperbarui: 19 November 2020   23:01 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Satu hari menjelang UP-PPG (Uji Pengetahuan Pendidikan Profesi Guru) terasa ringan sekali namun tak mampu berbuat banyak pikiran dan akal untuk bergerak seperti hari-hari biasa bermain dan berdiskusi dengan anak-anak di kelas. 

Grup WA beberapa detik lalu terasa seperti dunia tanpa matahari, seperti cerita hantu yang menakutkan bagi peserta PPG. Mendadak hari itu dimana UKIN telah usai, semua peserta terdiam dan tak banyak bicara. Kaku. Ragu. 

Apakah sudah terekam jejak saya? Atau jangan-jangan tidak terekam? Belum lagi muncul Admin baru bak izroil berkaca-kaca saya lihat chat yang panjang-panjang tak di potong-potong, membuat gemetar semua peserta, meskipun admin lama melihat wajar. Namun beliau sangat berbeda yang saya dan peserta lain rasakan. Lembut. Empati. Dan peka.

Yang menarik sampai malam ini, banyak wajah-wajah baru bermunculan, dari wajah tegang sampai wajah unmute dan Video silang di zoom meet bergantian dengan stiker dan kata-kata yang berusaha menghibur hati yang ragu. Saya lihat itu. Dari yang tidak bicara, sekarang bicara. Dari yang tidak chat sekarang chat. Dari yang tidak bisa webmeet dan sampai sekarang tidak webmeet. Alasan sinyal bisa menjadi menu primadona disini. Beragam sekali.

Saya tidak bermaksud mebuka aib guru yang sedang menimba ilmu. Ilmu itu akan hadir saat-saat genting. Tegang. Dalam kondisi sulit dan terjepit. Lihat saja banyak karya-karya terkenal lahir dari penjara. Bukankah penjara tempat yang sama dengan kita sekarang. Tertekan. Terhimpit waktu dan kesempatan. Saya tidak ingin bilang PPG ini penjara. Saya hanya melihat penjara ada dalam PPG.

Guru Profesional itu banyak di lembaran-lembaran perpustakaan dan produk-produk hukum digambarkan dan dijawantahkan. Jujur saja saya rumit menceritakan 4 komponen profesionalisme guru. Dari zaman pembekalan PLPG, portofolio sampai PPGJ sekarang ini. Daring offline sampai online. Semua itu terhenti Ketika saya mengenal salah satu sosok peserta dalam satu kelas dengan saya. Sebut saja nama beliau Betty.

Di tengah-tengah pandemik dan beberapa korban berjatuhan dari produk PPGJ ini, terakhir ramai dibicarakan salah satu mahasiswa berasal dari majalengka tidak mau menyentuh gawai dan laptop dan pada akhirnya di pojok ia phobia jika gawainya hanya berdering tak kuasa ia teriak sejadi-jadinya. Beban di kepalanya tak kuasa menahan jiwa yang haus akan ilmu. Dan makin berat sekali dari hari ke hari. Entah nama mereka akan tercatat pada sepotong kertas bernama sertifikat pendidik atau tidak. Entahlah.

Nama ini saya kenal kali pertama ketika di Bandung dengan KM kelas dalam rangka silaturahim Admin awal. Sambil minum kopi di daerah setiabudi belakang kampus UPI, saya lupa nama restonya, sangking asyik dengan Admin yang baik dan bersahaja itu. 

Beliau sosok ayah yang luar biasa bercerita menjadi dosen masih honor meskipun dengan penyetaraan PNS. Tinggal di lorong Bandung dan segala kegilaannya. 

Kita bertiga seperti dimabuk arak. Padahal hanya minum kopi lokal. Pertemuan ini tak akan dilupakan. KM kelas berupaya menjelaskan kehadirannya dengan kepercayaan diri penuh. Sesekali tertawa sambil terbata bicaranya. 

Saya tidak banyak bicara saat itu. Apalagi pembicaraan terhenti saat gawai admin diangkat ke kuping yang putih dan nampak pegangan tangan yang kuat sekali terlihat pada beban urat di tangannya. Nampak sosok ayah yang luar biasa. Cukup lama beliau mengangkang gawai. Beberapa kata yang saya ingat beliau memberi motivasi agar di masa pandemik ini tetap sehat dan terjaga, selebihnya beliau katakan iya, iya dan iya. Mungkin ada lima atau enam kali.

Akhirnya gawai diletakan samping kopi yang masih anget dun utuh persis dekat lenganku. "Bu Betty, tidak bisa ikut LMS, sakit cancer," ujar Admin. Pecahlah suasana, awal yang penuh tawa kini berubah sepi mirip kuburan. Namun admin mengalihkan pembicaraan terpotong dan suasana sedikit mencair Ketika KM berkata terbata.

Sejujurnya nama itu makin sering saya perhatikan pada kolom chat maupun di LMS bahkan di Webmeet serta sesekali saya curi-curi pandang pada blog di LMS. Saya temukan satu yang tak pernah berubah. Optimis.

Empat bulan bukan waktu yang sebentar bagi kami yang berada dalam penjara. Karya-karya kami menggaung di cakrawala meski penuh nanar dan keringat berjibaku melawan malas dan kantuk. Tidak dengan Betty. Beliau tidak terdengar suara voice note di chat atau di LMS, saya hanya lihat jurnal dan jawaban refleksi di LMS saja. Tidak banyak tahu meskipun saya coba melipir cari tahu.

Tibalah di penghujung waktu ini. Saya berderai air mata di depan siswa kelas 5 sebuah sekolah dasar di bawah asuhan kaki gunung Ciremai. Hari itu jadawal luring, anak-anak sedang diskusi sontak terdiam melihat gurunya yang gagah dan tegas tiba-tiba berurai air mata. "Bapak tidak apa-apa, Pak?" tanya Dimas.

"Tidak nak, Bapak tidak apa-apa, nak" jawab saya menghibur sendiri. Padahal perang berkecamuk. Betapa tidak selepas UKIN semua peserta harap-harap cemas pekerjaan selama 4 bulan ini bila sampai gagal hanya salah mengirim link dan tak terbaca oleh penguji. Hancur sudah. 

Admin kedua tidak sama dengan admin yang pertama, di awal saya jumpai dengan KM. tegas benar-benar tegas. Informasi A sampai A. Ketika dipanggil satu-satu, pastinya ialah yang bermasalah. Video tidak tampil. RPP tidak nampak. Portofolio tidak muncul semua. Pokonya berbagai masalah saat itu pecah sejadi-jadinya.

Satu-persatu KM bantu peserta yang tersebut Namanya di chat WA oleh Admin kedua. Sebut peserta yang terkahir Namanya dipanggil "Betty". "Maaf panitia: an Betty SL RPP-nya tidak ada? Sempat ada terus menghilang mohon bantuannya. Portofolio sudah ada, video ada. Nuhun" itu chat yang dibagikan Admin, "Atas nama bu Betty mohon di cek segera....." tandasnya.

Admin awal hanya memanggil di kolom chat. Tak mampu ia lebih dari itu karena tahu betul kondisi beliau dari awal. "Pak, saya terkena Covid pak, saya sedang di rumah sakit sekarang sedang berobat cancer tiroid saya yang sudah stadium 3B," Beliau terlihat tegar sekali.

Anak-anak kelas 5 terenyuh. Suasana kelas hening. Tak ada seekor cicak pun terdengar bersenda gurau. "Anak-anak, bu Betty ini pernah putus asa, Ketika beliau divonis cancer. Namun di balik penjara PPG ini beliau terus berkarya dan semangat mengalahkan sinyal LTE di Pekanbaru," saya coba seka air di mata kanan dengan tangan yang membuka masker saat itu.

Belum lagi setelah vonis itu beliau harus lebih tegar lagi menghadapi kehilangan empedunya. Karena rusak dan tak berfungsi. Makin terbayang dipikirannya frustasi semakin menjadi. Bunda Betty berkata, "Semua frustasi itu hilang saat lihat chat WA namaku terdaftar sebagai peserta PPG"

Bagi belaiu PPG ini obat rasa malas. Pembunuh kebodohan. Musuh dari pada ketidakberdayaan. Ia buktikan dengan fase-fase LMS yang sangat menyita waktu dengan perjuangannya yang luar biasa sampai titik darah penghabisan.

Hari ini adalah masa tenang, belaiu akan mengikuti satu tahap lagi dengan saya dan rekan-rekan sekelas lainnya untuk mengikuti UPPPG sabtu esok hari. Modal inilah sebagai guru honorer yang sekaligus menjadi pembunuh kemalasan dan Pembunuh kebodohan. "Lihatlah, anak-anak semangat hidup bunda Betty seperti sajak Chairil Anwar; Aku mau hidup 1000 tahun lagi," seruku. Anak-anak kelas 5 berdiri, mereka mengangkat kedua lengan dengan lembut tapi bertenaga sambil membacakan sebuah doa pendek, "Aaamiiin," katanya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun