Ya, walaupun yang dipelajari tidak terkait dengan tugasku sebagai pendidik. Sebagai pengetahuan dan keterampilan baru sepertinya “menganyam besi” layak untuk dicoba. Selain memang diniatkan untuk membantu mempercepat pekerjaan proses pengecoran pondasi pagar rumah.
Berbalut rasa ragu, cemas dan sedikit takut salah dalam menganyam, sedikit demi sedikit aku selesaikan pekerjaan ku. Hingga selesailah tiga, empat, lima, dan enam tiang besi dapat tegak terpasang di lubang tempat pengecoran yang akan dijadikan tiang pagar. “Alhamdulillah,” ucapku syukur sambil mengusap wajah.
Saat itu, bayang-bayang surya sepertinya telah tegak lurus di atas kepala. Memaksa aku harus menghentikan aktivitas. Hawanya kurasakan semakin gagah menyengat menguliti kulit hitam ku. Aku pun menepi mencari tempat berlindung menuju salah satu pohon nangka yang ada di samping rumahku.
Sejenak, aku bersandar di batang nangka tua yang aku sendiri tidak tahu pasti kapan ia di tanam. Yang aku tahu batangnya saat ini telah sebesar satu pelukan tangan orang dewasa. Bisa dibayangkan berapa usianya. Perlahan tanganku meraih gawai di dalam kantong celana sebelah kiri yang sejak pagi tadi kupakai menganyam besi.
Tanpa ada rasa was-was dan ragu, kuraih dengan hati-hati gawai yang menemani melantunkan lagu album campursari dari almarhum Didi Kempot kesukaanku. “Wah, jadi penggemar dan Sobat Ambyar nih,”candaku sambil tersenyum.
Gawai yang tadi masih dalam kantong celanaku kini telah berpindah tempat dalam genggaman. Seketika, aku terkejut saat melihat gawaiku tidak dapat untuk melihat isi chat WhatsApp yang selama ini menjadi media komunikasi utamaku. Tampak layar gawai gelap, hitam, pekat menghalangi pandanganku untuk membaca pesan.
Semakin lama semakin gelap, hitam, dan pekat. Hingga tak lagi terlihat chat apapun. Aku pun cemas, karena masih banyak informasi dan tugas penting yang harus kubaca dan aku selesaikan. “Waduh kok bisa begini ya. Apanya yang rusak?” tanyaku sendiri. “Tragedi ini, waduh tragedi!” teriakku lirih sambil berlari ke dalam rumah. Kucoba lakukan prosedur pertolongan pertama pada gawai (P3G), sebagaimana yang kupahami.
Perlahan ku buka baju Gawai penutup daya Gawai. Lalu kucabut daya Gawai. Sesaat kemudian kuajak gawai untuk menikmati semilir angin siang yang membelai wajah cemasku. Saat kurasa cukup bermain-main dengan angin, kuletakkan kembali daya gawaiku seperti semula. Baju Gawai pun ku pasangkan kembali seperti semula dengan penuh kehati-hatian. “Krek, krek, krek, cekrek” bunyi baju gawai saat kupasangkan kembali. Seandainya ia bisa bicara, tentunya ia akan mengucapkan “terima kasih”.
Kuraba tombol khusus untuk menghidupkan gawai, dengan harapan bisa normal kembali. Harapan tampilan layar gawai bisa terang seterang siang ini. Dengan harap-harap cemas, kutunggu hingga proses selesai, dan akhirnya, “Yah, tak berubah,” ujarku lirih letih. Gelap, tambah gelap. Tak ada yang bisa dilihat. “Tragedi! Ini tragedi di hari Minggu,” ucapku kembali.
Sekilas mendung hitam bergelayut dalam pikirku. “Bagaimana ini?, apa yang harus ku perbaiki?” tanyaku dalam hati penuh peduli. Akhirnya ku coba mencari informasi melalui gawai milik istri, dan akhirnya ku temukan jawaban. “Ini harus ganti LCD,” kataku.
Apa sih LCD itu? LCD adalah singkatan dari Liquid Crystal Display yang merupakan salah satu tipe layar gawai. Ada beberapa tipe layar ponsel lainnya seperti OLED, AMOLED, TFT LCD, dan IPS. Layar gawai ini merupakan salah satu komponen utama dari perangkat gawai yang sering digunakan.