Profil Pelajar Pancasila sesuai visi dan misi Kemendikbudristek adalah perwujudan pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global, berkarakter, dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dengan enam ciri utama, yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.
Di sisi lain, profil Pelajar Pancasila juga mencakup mengenai kemampuan pelajar untuk memiliki paradigma berpikir yang terbuka terhadap perbedaan dan kemajemukan. Mereka memiliki kepedulian pada lingkungannya dan menjadikan perbedaan yang ada sebagai kekuatan untuk bekerja sama dan bergotong royong. Para pelajar juga diharapkan memiliki inisiatif dan siap belajar hal-hal yang baru untuk terus meningkatkan kapasitas diri. Harapannya, kelak mereka bisa berkontribusi besar untuk kemajuan bangsa, negara, dan dunia.Â
Sekarang, coba kita kaitkan dengan sosok Bima dan mungkin mewakili sebagian profil pelajar kita saat ini sebagai generasi milenial. Pertanyaannya, sudahkah para pelajar kita mencerminkan profil Pelajar Pancasila seperti yang diharapkan dari implementasi konsep Merdeka Belajar? Pertanyaan ini yang sesungguhnya harus bisa dijawab oleh Nadiem Makarim dan seluruh jajarannya di kementerian pendidikan. Sudahkah gebrakan Merdeka Belajar mampu menghasilkan profil output siswa sesuai karakteristik nilai-nilai Pancasila yang diharapkan?Â
Saya sangat yakin, jawabannya adalah belum. Hal ini dapat dibuktikan pada kualitas proses pelaksanaan program Merdeka Belajar di lapangan. Malah sesungguhnya belum menyentuh pada aspek kualitas, secara kuantitas saja, belum semua sekolah bisa menerapkan dengan baik konsep Merdeka Belajar.Â
Mereka masih gamang dan bingung tentang implementasi Merdeka Belajar di sekolah dan di kelas-kelas pembelajaran. Bahkan ada guru-guru yang resah dan gelisah, apakah Merdeka Belajar akan terus berlanjut manakala ganti menteri dan pemerintahan di tahun 2024. Sehingga pada akhirnya, menyebabkan mereka tak terlalu bersemangat untuk melaksanakannya. Lalu bagaimana kita bisa berharap guru-guru mampu mendidik generasi Pelajar Pancasila, sedangkan mereka sendiri sulit untuk bisa dijadikan figur panutan oleh murid-muridnya?
Tak heran, jika sewaktu duduk di bangku SMA, Bima juga melakukan kritik tajam ke kepala sekolah dan guru-gurunya, tentang proses pembelajaran dan kompetensi gurunya. Ternyata di sekolah Bima, masih terjadi pola pikir penyeragaman terhadap murid-muridnya. Anak-anak tidak dilihat sebagai individu yang unik, berbeda, atau memiliki bakat dan potensi masing-masing. Sehingga, dalam menyajikan materi pembelajaran pun, guru-guru masih menyamakan satu anak dengan anak lainnya. Hal ini tentu saja sangat bertolak belakang dengan konsep Merdeka Belajar, di mana anak benar-benar merdeka dan bebas untuk mengembangkan potensi dirinya, termasuk memilih topik dan materi pembelajaran yang disukainya. Â Â
Pendidikan Akhlak
Lalu bagaimana jika dikaitkan dengan pendidikan karakter atau akhlak? Sosok Bima dan anak-anak pelajar kita, sudahkah berperilaku sesuai nilai-nilai luhur Pancasila? Padahal di dalam kriteria profil Pelajar Pancasila, meskipun dituntut berpikir global, tetapi harus tetap mempertahankan budaya luhur, lokalitas, dan identitas bangsa. Dan bahasa merupakan hasil budaya sebuah bangsa. Jadi, bahasa merupakan cerminan kebudayaan suatu masyarakat yang beragam. Munculnya perbedaan dan keberagaman, justru untuk saling mengapresiasi dan menghargai satu sama lain.
Kita tahu, pelajar kita terlahir untuk akrab dengan dunia internet dan digital. Mereka pun menjadi kreator-kreator sekaligus penikmat beragam menu dan konten di berbagai platform digital, termasuk media sosial. Tujuan mereka adalah popularitas dan memiliki banyak pengikut atau followers.Â
Tak heran jika konten-konten yang mereka buat, baik berupa gambar, video, maupun tulisan kata-kata, terkadang sangat vulgar dan penuh sensasional. Termasuk apa yang dilakukan oleh Bima dan kebanyakan kreator-kreator muda lainnya. Jangankan untuk mengindahkan penggunaan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar di ranah publik, menghindari untuk tidak berkata kasar dan kotor, terkadang mereka sulit untuk melakukannya.
Tentu saja hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, bukan hanya peran sekolah saja. Tetapi lingkungan pergaulannya, termasuk pendidikan dan pola asuh di dalam keluarga. Kebiasaan orangtua dan orang-orang dewasa yang tinggal bersama di rumah, sangat mempengaruhi pikiran, sikap, kata-kata, dan perilaku anak. Memang yang sulit dihindari dan dikontrol oleh orangtua dan guru adalah pergaulan anak di dunia maya. Mereka bebas berselancar di internet serta mengakses konten-konten, yang terkadang tidak membuat mereka memiliki karakter dan akhlak yang baik, yang bisa menjaga lisannya untuk tidak menyinggung dan menyakiti perasaan orang lain.