Mohon tunggu...
Imam Subkhan
Imam Subkhan Mohon Tunggu... Penulis - Author, public speaker, content creator

Aktif di dunia kehumasan atau public relations, pengelola lembaga pelatihan SDM pendidikan, dan aktif menulis di berbagai media, baik cetak maupun online. Sekarang rajin bikin konten-konten video, silakan kunjungi channel YouTube Imam Subkhan. Kreativitas dan inovasi dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran yang membawa maslahat umat. Kritik dan saran silakan ke: imamsubkhan77@gmail.com atau whatsapp: 081548399001

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

YouTube Lebih dari TV

20 Maret 2021   20:43 Diperbarui: 20 Maret 2021   20:51 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.youtube.com/skinnyindonesian24

            Sebenarnya judul artikel atau lebih tepatnya pernyataan dari salah seorang YouTuber ini sudah lama diperbincangkan di kalangan YouTuber Indonesia. 

Pertama kali, pernyataan "YouTube Lebih dari TV" dilontarkan oleh Jovial da Lopez-Skinny Indonesian 24, sekitar 5 tahun yang lalu. Kemudian ramai dibahas oleh para YouTuber lain, termasuk artis yang juga punya kanal YouTube, yaitu Deddy Corbuzier. Kini menjadi trending lagi setelah unggahan konten video dari beberapa youtuber, seperti Jovial da Lopez, Andovi da Lopez, Bryan Furran, Ferry Irwandi, Sarah-Osi, dan Leyla Aderina dzi kanal YouTuber milik Skinny Indonesian 24. Meski baru diunggah 24 Februari 2021 yang lalu, jumlah penonton sudah mencapai 1 juta lebih, 120.000 like, dan 15.000-an comments.

 Hal yang menjadi sorotan utama dalam konten video tersebut adalah efek atau pengaruh tayangan video yang ditimbulkan terhadap penonton atau pengguna internet (user) dan masyarakat secara luas. 

Awalnya, berangkat dari kegundahan para Content Creator YouTube yang menganggap acara televisi sudah terjebak pada hal-hal yang dramatis, mistik, sensasional, penuh intrik, alay, hedonisme, konsumerisme, sehingga cenderung membosankan dan tidak mendidik masyarakat. Seolah-olah kreativitas dan inovasi telah mati di kalangan insan pertelevisian. Sementara YouTube menyajikan konten-konten yang lebih beragam dan penonton bisa memilih sesuai dengan selera dan keinginan.

Keunggulan YouTube dibandingkan televisi akan tampak nyata jika dilihat dari jumlah penonton. Dalam sebuah survei baru-baru ini terutama selama pandemi, masyarakat Indonesia yang mengakses platform YouTube jauh lebih tinggi, yaitu sebesar 68 persen jika dibandingkan yang melihat tayangan televisi yang hanya mencapai 59 persen (lokadata.id). 

Tak heran jika perusahaan pengiklan mulai berpaling dari TV dan beralih ke media digital, seperti marketplace, media sosial, termasuk beriklan di kanal YouTube.

Selain itu, kelebihan YouTube dibandingkan TV adalah soal transparansi data statistik perkembangan sebuah konten video, bahkan menguraikan secara detail tentang karakteristik penontonnya setiap saat. Tentu saja hal ini sangat membantu bagi para kreator atau pemilik kanal untuk mengevaluasi dan mengembangkan konten-konten video yang disukai penonton. 

Selain itu, setiap saat YouTube menampilkan video-video yang sedang trending atau paling banyak jumlah penontonnya, termasuk mengetahui berapa yang suka, tidak suka, yang memberi komentar, dan yang membagikan video tersebut ke orang lain (engagement). Meskipun video tersebut bisa bersumber dari tayangan televisi yang diunggah juga di YoutTube. 

 Polarisasi dan Fanatisme

Namun apakah parameter itu saja yang membuat YouTube lebih berkuasa atas TV? Pada kesempatan ini, penulis tidak terlalu fokus terhadap hal-hal yang bersifat kuantitatif, seperti soal statistik jumlah penonton. 

Namun lebih menyoroti pada dampak psikologis dan sosiologis yang ditimbulkan, yaitu mengarah pada terjadinya polarisasi dan fanatisme yang mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat. 

Efek buruk dari YouTube ini juga yang menjadi kekhawatiran dan kegelisahan salah satu YouTuber Indonesia, Ferry Irwandi di salah satu konten videonya berjudul "Polarisasi Fanatisme dan Konspirasi".

Bayangkan saja, pihak penyedia platform akan sangat memanjakan terhadap kegemaran penonton atau pengguna internet. Semakin penonton sering melihat video dengan tema-tema tertentu, maka secara otomatis pihak pengelola media akan membombardir dengan vide-video yang sejenis. 

Tak heran jika di beranda YouTube pengguna akan ditampilkan video-video yang relevan dengan tema-tema yang sering ditonton. Misalnya video bertemakan Drama Korea, kuliner, olahraga, gosip, musik, game, tutorial, otomotif, kesehatan, politik, ekonomi, dan beragam video lainnya.

Hal ini dikarenakan kerja algoritma YouTube mengikuti selera dan pilihan penonton. YouTube akan semakin banyak menyarankan dan merekomendasikan video yang cocok untuk ditonton pengguna tanpa perlu lagi mengetik kata kunci di kotak pencarian. 

Mengapa YouTube melakukan demikian? Karena untuk mempertahankan atensi atau perhatian pengguna dan ujung-ujungnya adalah kepentingan iklan. 

Di sinilah terjadi simbiosis mutualisme antara pihak pengelola media YouTube, pembuat konten (content creator), dan perusahaan pengiklan. Secara berbagi, pihak YouTube dan kreator akan meraup keuntungan yang besar dari atensi dan loyalitas penonton terhadap konten video di YouTube.

Dalam hal ini, penulis tidak menyalahkan pihak pengiklan, karena secara logika, mereka akan pasang iklan di video-video yang jumlah penontonnya banyak. Tetapi yang jadi masalah adalah metode mempertahankan atensi tersebut atau cara kerja algoritma YouTube. 

Para penonton dalam hal ini masyarakat dikotak-kotakkan berdasarkan minat dan kesukaan (interest) masing-masing. Mereka seolah-oleh tenggelam menikmati dunianya sendiri. Mereka membangun logika pengetahuan dan kebenaran berdasarkan satu perspektif saja, yaitu dari apa yang dilihat dan didengar secara terus-menerus. 

Setiap saat mereka dicekoki oleh narasi dan opini dari sumber-sumber video yang relatif sama atau sejalan. Sehingga tanpa disadari, tercipta pola berpikir yang egoistis, individualis, ekstrem, fanatik, dan merasa benar sendiri.

Hal inilah yang dianggap membahayakan bagi keberlangsungan kehidupan sosial. Bayangkan saja jika ini terjadi di dunia politik, misalnya pada saat pemilihan presiden. Polarisasi fanatisme dan perpecahan di masyarakat akan semakin tampak nyata. 

Mereka hanya akan membenarkan apa yang telah dilihat dari calon pemimpinnya sendiri. Mereka akan selalu menyalahkan pandangan kelompok lain. Dan jika ini terjadi, kebenaran dan keadilan tidak lagi berlaku secara universal, tetapi hanya terpaku di kelompoknya masing-masing.

Sungguh dahsyat dampaknya bukan? Dan bagian terburuknya dari semua ini adalah sulit untuk mencegah terjadinya polarisasi tersebut, karena ini dilakukan oleh Artificial Intelligence (AI) berdasarkan data dan analitik dari kebiasaan (habit) dan tingkah laku (behavior) pengguna internet. 

Bahkan kehebatan teknologi AI, mampu memprediksi atau menebak informasi apa yang sedang ingin dibutuhkan dari pengguna di mesin pencarian internet. AI akan bekerja menganalisis data yang dikumpulkan dari hasil pencarian pengguna di internet, termasuk detail data diri pengguna. Kemudian pemilik media akan menyuplai konten-konten video sesuai minat, kesukaan, dan karakteristik penonton.

Kesadaran Kreator dan Pengguna 

Jika sudah seperti ini, bagaimana cara menghentikan polarisasi di dunia maya yang bisa berujung konflik dan perpecahan pada kehidupan sosial? Satu-satunya jalan, pihak pemilik media tak lagi menerapkan teknologi AI. 

Tetapi hal ini rasa-rasanya mustahil untuk dilakukan, karena ini menyangkut keberlangsungan bisnis mereka. Mereka secara mati-matian akan merebut dan mempertahankan atensi para pengguna internet untuk tetap setia mengakses media sosial.

Lalu apa yang mesti dilakukan? Barangkali yang memungkinkan untuk disentuh adalah para pembuat konten (content creator) dan para pengguna internet itu sendiri. 

Para kreator video seharusnya memiliki tanggung jawab moral dan sosial atas semua konten yang dibuat dan disebarkannya. Jika belum bisa memberi edukasi dan manfaat kepada masyarakat, setidaknya tidak menjerumuskan dan mencelakakan orang lain.

Sedangkan untuk para pengguna, hendaknya memiliki filter, lebih cerdas, dan mau membuka pikiran seluas-seluasnya. Mereka harus sadar sepenuhnya bahwa bahwa konten-konten di media sosial lebih banyak bersifat manipulatif. Semua sudah dibungkus dengan berbagai tujuan dan kepentingan. Apa yang dilihat dan didengar tak lagi semata-mata karena kebutuhan tetapi faktor keinginan dan ambisi. 

Padahal hal-hal yang disukai belum tentu baik untuk dirinya dan orang lain. Selain itu, diperlukan ruang-ruang diskusi dengan orang lain yang berbeda secara pendapat dan pemikiran. Sehingga tak selalu membenarkan secara membabi buta apa yang telah dilihatnya di media sosial.

Pada dasarnya, internet hanyalah alat atau media yang bersifat terbuka, transparan, dan netral. Dia akan selalu menyesuaikan dengan kemauan penggunanya. Dia bisa baik dan bermanfaat bagi orang banyak manakala digunakan untuk hal-hal yang positif dan berfaedah. 

Namun dia bisa jahat dan mencelakakan orang lain di tangan pengguna yang tidak bertanggung jawab. Akhirnya, semua dikembalikan kepada manusianya bukan teknologinya. Sampai sini sudah percaya, bahwa YouTube lebih dari TV?

Tulisan ini pernah dimuat di Koran Solopos.

Imam Subkhan

Pengelola Studio dan Pembuat Konten Tinggal di Karanganyar, Jawa Tengah

Link YouTube: www.youtube.com/imamsubkhan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun