habaib atau habib", yaitu para keturunan Rasul di Indonesia. Jujur saja, kali ini saya tak ikut-ikutan untuk menanyakan kebenaran atau keaslian orang-orang yang mengaku habib, apalagi ragu terhadap silsilah dan kemudian membencinya.Â
Sekarang ini sedang tren dibahas soal "Saya Insya Allah lahir-batin sepenuhnya percaya, cinta, dan menghormati para habaib. Karena itu ajaran orang tua dan guru-guru mengaji saya. Dan prinsip saya, cinta dan menghormati tak selalu identik untuk mengikuti ajaran atau jalan dakwahnya.
Seperti halnya, saya memilih mengikuti dan menerapkan hukum-hukum fikih bermazhabkan Imam Syafii, seperti dalam tata cara berwudu, bersuci, salat, dan amalan ibadah mahdhah lainnya. Tetapi saya tetap menghormati orang-orang yang mengikuti mazhab imam lain, seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Hambali. Termasuk kepada habib-habib di Indonesia, semua saya cinta dan menghormatinya, tetapi tak selalu untuk taat dan mengikuti petuah-petuahnya.Â
Jangankan kepada habib yang jelas-jelas bernasab Rasulullah SAW, dengan orang biasa sesama muslim atau non-muslim pun, kita wajib menghormati dan menghargai, apalagi masih satu daerah dan satu tanah air dengan kita.
Dan saya sangat tertarik dengan apa yang disampaikan oleh salah satu habib yang saya kagumi, yaitu Al Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan dari Tangerang, Banten di salah satu kesempatan ceramahnya.Â
Beliau mengatakan "Jihad jalannya Nabi Muhammad, dakwah jalannya Nabi Muhammad, amar makruf jalannya Nabi Muhammad, nahi mungkar jalannya Nabi Muhammad, tapi....cacian bukan jalannya Nabi, itu jalannya setan. Menyebarkan kedengkian, provokasi, namimah, itu jalannya iblis bukan jalannya Nabi Muhammad."
Mungkin saja, isi ceramah ini tak disukai oleh sebagian umat Islam, karena dianggap menyindir orang-orang yang selama ini memilih jalan "keras" dan frontal dalam berjuang di jalan dakwah di Indonesia.Â
Mereka secara terang-terangan menentang, menantang, menyerang, melemahkan, merendahkan (bukan hanya kritik) kepada pemerintah dan para pendukungnya. Dalam berbagai narasi, mereka tak segan-segan menuduh pihak lain akan menghancurkan umat Islam, terutama kelompoknya. Dan itu juga dilakukan oleh habib dan ulama kita.
Nah, haruskah kita bingung, siapakah yang mesti kita ikuti? Dan apakah kita harus mencintai salah satu dan membenci yang lainnya?
Ikuti Hati Nurani yang Dibimbing oleh Agama
Menurut saya, kita tak usah bingung. Kita cukup menuruti hati nurani kita, tentu saja dengan landasan iman dan takwa, kemudian mengikuti orang tua dan kiai-kiai kita yang ada di kampung atau daerah, yang kita yakin keilmuan dan keimanannya. Itu saja sudah cukup. Dan terpenting, di hati kita, di pikiran kita, di perasaan kita, dan di tindakan kita, jangan pernah membenci atau memusuhi habib, ulama, dan para pengikutnya yang tidak selaras dengan hati nurani kita.
Apakah habib yang notabene keturunan Nabi bisa salah dan keliru? Ya bisa, selama dia manusia dan makhluk ciptaan Allah, pasti pernah berbuat kekeliruan atau kekhilafan. Oleh karena itu, meminta maaf dan memaafkan harus menjadi kebiasaan dan bukan menjadi barang tabu untuk kita lakukan selama hidup.
Mari kita kedepankan persamaan bukan perbedaan. Mari kita tumbuhkan rasa cinta atau mahabbah di hati kita dengan orang lain, apalagi kepada para habib keturunan Rasul. Mari kita kedepankan rasa husnuzan bukan zuuzan terhadap orang yang berbeda prinsip dengan kita.
Kita jangan terjebak untuk ikut arus pada kubu yang membenci, memaki, dan menjelek-jelekkan kubu lain. Saya yakin, kita cukup cerdas untuk membedakan mana itu kritik yang membangun, dan mana itu makian dan hinaan. Karena cacian hanya akan dibalas dengan cacian, makian dan hinaan akan dibalas pula dengan makian dan hinaan. Meskipun yang membalas bukan dari orang yang telah kita caci maki, tetapi dari orang lain yang merasa ikut panas dan terpancing.
Mari kita utamakan jalan damai bukan konflik dan perpecahan. Mari kita tonjolkan prestasi bukan sensasi.
Mari kita tumbuhkan semangat bersama dalam membangun bangsa ini, apalagi di tengah-tengah keprihatinan kita menghadapi pandemi yang tak kunjung berakhir ini. Mari kita berjuang, berikhtiar, dan berdoa sesuai bidang keahlian dan keyakinan kita. Insya Allah Indonesia akan tetap ada untuk kita. Insya Allah masa depan yang gemilang bisa kita raih bersama, SEMOGA!
Imam Subkhan, Pemerhati Sosial tinggal di Karanganyar, Jawa Tengah
WA: 081548399001
#KitaIndonesia #IndonesiaKita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H