Mohon tunggu...
Imam Subkhan
Imam Subkhan Mohon Tunggu... Penulis - Author, public speaker, content creator

Aktif di dunia kehumasan atau public relations, pengelola lembaga pelatihan SDM pendidikan, dan aktif menulis di berbagai media, baik cetak maupun online. Sekarang rajin bikin konten-konten video, silakan kunjungi channel YouTube Imam Subkhan. Kreativitas dan inovasi dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran yang membawa maslahat umat. Kritik dan saran silakan ke: imamsubkhan77@gmail.com atau whatsapp: 081548399001

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Konferensi Orangtua 2018, Apa Relevansinya Sekarang?

16 Januari 2019   14:05 Diperbarui: 16 Januari 2019   14:20 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami, para orangtua Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa anak adalah anugerah terindah, sekaligus amanah dari Allah, untuk kita didik dengan sepenuh hati, agar tumbuh menjadi generasi yang taat kepada Allah dan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi umat manusia dan alam semesta. Oleh karena itu, kami para orangtua Indonesia berjanji dan berkomitmen:

  • Selalu mengupayakan lingkungan dan suasana keluarga yang harmonis di rumah, sebagai lingkungan pendidikan dan sumber belajar yang pertama dan utama bagi anak-anak, untuk tumbuh kembang secara maksimal sesuai tuntunan agama dan tuntutan perkembangan zaman.
  • Selalu memosisikan diri menjadi pemimpin, guru, sahabat, dan teladan yang baik bagi anak-anak, di mana pun, kapan pun, dan dalam kondisi apa pun.
  • Selalu bersinergi dan berpartisipasi aktif dalam mendukung kegiatan pendidikan anak di sekolah, baik tenaga, pikiran, gagasan inovatif, maupun secara materi.
  • Selalu aktif belajar dalam mendidik anak sesuai perkembangan zaman, agar bisa mendampingi anak menjadi calon-calon pemimpin dunia yang unggul, tangguh, berkarakter, dan mencintai bangsa dan negaranya.
  • Selalu proaktif dalam kegiatan perlindungan anak dan upaya memberantas kejahatan terhadap anak, seperti kekerasan fisik dan psikis, perundungan, penelantaran, narkotika, kekerasan seksual, pornografi, makanan tak sehat, tindakan diskriminasi, dan eksploitasi pada anak.

Butir-butir kalimat di atas merupakan isi Deklarasi Orangtua yang diikrarkan oleh para orangtua peserta konferensi pada tanggal 10 Maret 2018, yang dihelat pertama kalinya di Kota Solo. 

Mendengar nama konferensi orangtua, di telinga terasa aneh dan tak lazim. Selama ini, peserta konferensi di dunia pendidikan adalah para guru, dosen, penggiat anat, akademisi, pelaku atau praktisi, dan para pemangku kepentingan di bidang pendidikan. 

Menurut saya, ini peristiwa langka yang jarang dilakukan, bahkan di Indonesia dan di dunia. Saya yang puluhan tahun berkecimpung di dunia pendidikan, belum pernah mendengar, acara konferensi orangtua ini digagas oleh pihak kementerian pendidikan secara nasional. 

Yang selama ini masif dilakukan adalah simposium guru, yang menghimpun guru-guru se-Indonesia untuk berembuk dan mencurahkan gagasan tentang mutu pendidikan nasional. Sementara pelaku pendidikan yang sejatinya adalah utama dan pertama, yaitu orangtua belum begitu diprioritaskan.

Meskipun sejak tahun 2015, pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia menambah satu direktorat baru, bernama Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga. Keberadaan direktorat ini tentu memunculkan secercah harapan tentang peran penting keluarga, dalam hal ini orangtua untuk terlibat secara aktif dalam proses pendidikan anak hingga dewasa. Saya amati, sesungguhnya direktorat ini telah banyak berkiprah dan melakukan program-program terobosan untuk menguatkan peran dan tanggung jawab orangtua sebagai pendidik di lingkungan keluarga. Namun seolah-olah, dampak dan gaungnya belum begitu dirasakan oleh masyarakat luas. Barangkali, pendekatannya yang masih memosisikan orangtua hanya sebagai objek atau pihak yang disasar. Sehingga targetnya hanyalah menghimbau kepada sekolah dan lembaga pendidikan nonformal untuk menyelenggarakan sosialisasi dan kegiatan parenting di daerah-daerah. Para orangtua atau walimurid siswa didatangkan untuk mendengarkan ceramah dari para guru atau narasumber tentang bagaimana cara mendidik anak di rumah, termasuk keterlibatan orangtua secara langsung dalam kegiatan-kegiatan di sekolah.

Meskipun hasilnya belum begitu menggembirakan, namun saya menangkap semangatnya untuk mengembalikan fungsi keluarga sebagai basis pendidikan anak. Keluarga adalah lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. Anak pertama kali berinteraksi dengan orang-orang dewasa di rumah. Anak hingga remaja, juga akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga, dibandingkan dengan lingkungan di luar, termasuk di sekolah. 

Saya bukannya tidak setuju dengan model kegiatan parenting di sekolah-sekolah, namun acapkali hanya terkesan formalitas dan hanya berhenti di kelas-kelas atau ruang-ruang seminar. 

Sementara kita tidak tahu atau bisa mengontrol bagaimana orangtua memerankan di rumah sebagai seorang pendidik atau guru. Apalagi jika program parentingnya hanya dilakukan satu semester atau satu tahun sekali, tanpa adanya materi belajar yang terstruktur dan sistematis.

Bahkan terkadang kegiatan parenting atau pendidikan keluarga yang diselenggarakan sekolah sekadar pelengkap atau bumbu manis dalam kegiatan-kegiatan menghadirkan orangtua. Padahal misi utamanya adalah meminta sumbangan atau iuran sukarela untuk kegiatan siswa atau pembangunan fasilitas sekolah. 

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tingkat kehadiran orangtua dalam forum-forum parenting masih sangat rendah. Atau bisa jadi, justru minimnya kehadiran para orangtua dalam acara-acara parenting, karena mereka merasa telah melakukan pendidikan yang terbaik untuk anaknya di rumah. 

Para orangtua telah maksimal dalam mengajarkan agama, budi pekerti, kedisiplinan, dan karakter-karakter positif terhadap anak. Bagi orangtua semacam ini, bahwa pendidikan agama dan moral harus sudah beres di rumah. Sementara di sekolah hanyalah tambahan saja, untuk lebih memperdalam dan memperluas pengetahuan dan wawasan keilmuan. 

Apalagi orangtua yang notabene sebagai tokoh panutan masyarakat, ulama, atau penceramah, tentu lebih tahu bagaimana cara mendidik yang tepat untuk anak-anaknya.

Nah, barangkali pemerintah dan pihak sekolah kurang memerhatikan figur-figur mereka, yang sejatinya telah menempatkan diri sebagai pendidik di masyarakat. Dan saya yakin, setiap orangtua memiliki prinsip-prinsip, model, dan pola asuh dalam mendidik anak di rumah. Dikarenakan mereka tahu persis bagaimana sifat, karakteristik, dan potensi anaknya, sehingga orangtua akan menerapkan pendidikan dan pengasuhan anak yang tepat dan efektif.

Oleh karena itu, inilah pentingnya kita memberikan panggung dan fasilitas kepada para orangtua untuk berbicara dan berkarya dalam pendidikan. Gerakan orangtua mendidik harus menjadi isu dan aksi secara masif di Indonesia. Konferensi orangtua ini bisa menjadi momentum dan tonggak untuk menegaskan bahwa orangtua memiliki peran dan andil yang besar untuk peningkatan mutu pendidikan dan mutu lulusan. 

Bukan saatnya lagi, orangtua hanya berdiri di luar tembok sekolah, hanya menyaksikan anaknya belajar bersama guru dan teman-temannya. Orangtua harus masuk ke sistem, kurikulum, dan pembelajaran yang diterapkan oleh sekolah. 

Orangtua harus bisa mewarnai pola pendidikan yang efektif untuk anak-anaknya. Inilah yang disebut sebagai penguatan tiga pilar pendidikan, yaitu orangtua, anak, dan guru. Sinergi dan harmonisasi tiga kekuatan pendidikan ini menjadi jaminan untuk keberhasilan pendidikan ke depan. Meskipun tidak menihilkan peran-peran komponen yang lain, seperti pemerintah dan masyarakat.

  

Kekerasan Anak di Rumah

Salah satu isu yang diangkat pada konferensi kali ini adalah tentang kekerasan pada anak. Hingga detik ini, praktik-praktik kekerasan pada anak masih masif terjadi, bahkan di lingkungan pendidikan, termasuk di sekolah dan di rumah. 

Tindak kejahatan pada anak seperti tercantum juga pada butir kelima deklarasi orangtua, meliputi kekerasan fisik dan psikis, perundungan, penelantaran, narkotika, kekerasan seksual, pornografi, makanan tak sehat, tindakan diskriminasi, dan eksploitasi pada anak. 

Data kekerasan terhadap anak di Indonesia, dari waktu ke waktu ternyata mengalami peningkatan, baik secara jumlah korban maupun jenis dan modus kekerasannya. 

Tercatat, sepanjang tahun 2017, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) telah menerima pengaduan 2.737 kasus kekerasan pada anak dengan jumlah korban mencapai 2.848 anak, terutama di usia kelompok prasekolah dan sekolah dasar. Dan yang mencengangkan, pelakunya hampir 80% adalah orang-orang terdekat anak, termasuk orangtua kandung.

Berbicara kekerasan pada anak, tentu saja bukan persoalan fisik semata. Pepatah mengatakan, luka fisik gampang untuk disembuhkan, tetapi luka rasa dan hati, tak ada obatnya hingga mati. Kita sebagai orangtua kadang terbiasa berbicara sedikit membentak, menekan, menyudutkan, dan membanding-bandingkan anak. 

Anak dirumah diperlakukan layaknya sebagai pesuruh yang harus taat dan tunduk terhadap perintah orangtua. Jika anak malas atau membandel, tak segan-segan orangtua akan memarahi, bahkan memukul anggota tubuhnya. Paling minim yang dijumpai adalah mencubit atau menjewer telinga anak.

Barangkali, perilaku keras terhadap anak sudah menjadi hal biasa dan tak berdampak apa-apa pada anak. Orangtua mungkin membandingkan pada masa kecilnya yang juga diperlakukan kasar oleh kedua orangtuanya dahulu, sehingga mereka menerapkan hal yang sama terhadap anak-anaknya sekarang. 

Seolah-olah, kekerasan pada anak menjadi tradisi turun-temurun dari generasi ke generasi yang harus dilanggengkan. Inilah kebiasaan buruk yang harus dipotong. Kejahatan sekecil apa pun terhadap anak, adalah melanggar hak asasi manusia, dan merendahkan harkat dan martabat kemanusiaannya. 

Pertumbuhan dan perkembangan anak akan terganggu, terutama pada psikis dan kejiwaannya. Anak yang sering dimarahi oleh orangtua akan cenderung kurang percaya diri, peragu, pemurung, namun kelak bisa melakukan pemberontakan dan perlawanan.   

Tentu saja kita sepakat, sejak kecil anak harus dipahamkan tentang baik-buruk, salah-benar, dan norma-norma lainnya. Bukan juga, tak ada teguran atau hukuman terhadap anak, ketika mereka besalah. Hanya saja, pendekatan dan cara bertuturnya yang perlu kita perbaiki. Sejak dini, anak harus dijelaskan tentang alasan, akibat, dan konsekuensi dari sebuah perbuatan melanggar. 

Anak harus paham, mengapa kita sebagai orangtua terkadang tidak suka atas perilaku anak. Ajak anak untuk berpikir, berpendapat, berdiskusi, bertanya, menggali informasi, dan menemukan sendiri tentang berbagai pengetahuan dan pengalaman, termasuk pendidikan akhlak dan budi pekerti. Semoga bermanfaat.

Oleh: Imam Subkhan, Penyelenggara Parent Conference 2018 di Solo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun