Mohon tunggu...
Imam Subkhan
Imam Subkhan Mohon Tunggu... Penulis - Author, public speaker, content creator

Aktif di dunia kehumasan atau public relations, pengelola lembaga pelatihan SDM pendidikan, dan aktif menulis di berbagai media, baik cetak maupun online. Sekarang rajin bikin konten-konten video, silakan kunjungi channel YouTube Imam Subkhan. Kreativitas dan inovasi dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran yang membawa maslahat umat. Kritik dan saran silakan ke: imamsubkhan77@gmail.com atau whatsapp: 081548399001

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Konferensi Orangtua 2018, Apa Relevansinya Sekarang?

16 Januari 2019   14:05 Diperbarui: 16 Januari 2019   14:20 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tercatat, sepanjang tahun 2017, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) telah menerima pengaduan 2.737 kasus kekerasan pada anak dengan jumlah korban mencapai 2.848 anak, terutama di usia kelompok prasekolah dan sekolah dasar. Dan yang mencengangkan, pelakunya hampir 80% adalah orang-orang terdekat anak, termasuk orangtua kandung.

Berbicara kekerasan pada anak, tentu saja bukan persoalan fisik semata. Pepatah mengatakan, luka fisik gampang untuk disembuhkan, tetapi luka rasa dan hati, tak ada obatnya hingga mati. Kita sebagai orangtua kadang terbiasa berbicara sedikit membentak, menekan, menyudutkan, dan membanding-bandingkan anak. 

Anak dirumah diperlakukan layaknya sebagai pesuruh yang harus taat dan tunduk terhadap perintah orangtua. Jika anak malas atau membandel, tak segan-segan orangtua akan memarahi, bahkan memukul anggota tubuhnya. Paling minim yang dijumpai adalah mencubit atau menjewer telinga anak.

Barangkali, perilaku keras terhadap anak sudah menjadi hal biasa dan tak berdampak apa-apa pada anak. Orangtua mungkin membandingkan pada masa kecilnya yang juga diperlakukan kasar oleh kedua orangtuanya dahulu, sehingga mereka menerapkan hal yang sama terhadap anak-anaknya sekarang. 

Seolah-olah, kekerasan pada anak menjadi tradisi turun-temurun dari generasi ke generasi yang harus dilanggengkan. Inilah kebiasaan buruk yang harus dipotong. Kejahatan sekecil apa pun terhadap anak, adalah melanggar hak asasi manusia, dan merendahkan harkat dan martabat kemanusiaannya. 

Pertumbuhan dan perkembangan anak akan terganggu, terutama pada psikis dan kejiwaannya. Anak yang sering dimarahi oleh orangtua akan cenderung kurang percaya diri, peragu, pemurung, namun kelak bisa melakukan pemberontakan dan perlawanan.   

Tentu saja kita sepakat, sejak kecil anak harus dipahamkan tentang baik-buruk, salah-benar, dan norma-norma lainnya. Bukan juga, tak ada teguran atau hukuman terhadap anak, ketika mereka besalah. Hanya saja, pendekatan dan cara bertuturnya yang perlu kita perbaiki. Sejak dini, anak harus dijelaskan tentang alasan, akibat, dan konsekuensi dari sebuah perbuatan melanggar. 

Anak harus paham, mengapa kita sebagai orangtua terkadang tidak suka atas perilaku anak. Ajak anak untuk berpikir, berpendapat, berdiskusi, bertanya, menggali informasi, dan menemukan sendiri tentang berbagai pengetahuan dan pengalaman, termasuk pendidikan akhlak dan budi pekerti. Semoga bermanfaat.

Oleh: Imam Subkhan, Penyelenggara Parent Conference 2018 di Solo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun