Mohon tunggu...
Imam Subkhan
Imam Subkhan Mohon Tunggu... Penulis - Author, public speaker, content creator

Aktif di dunia kehumasan atau public relations, pengelola lembaga pelatihan SDM pendidikan, dan aktif menulis di berbagai media, baik cetak maupun online. Sekarang rajin bikin konten-konten video, silakan kunjungi channel YouTube Imam Subkhan. Kreativitas dan inovasi dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran yang membawa maslahat umat. Kritik dan saran silakan ke: imamsubkhan77@gmail.com atau whatsapp: 081548399001

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tiga Serangkai, Alberthiene Endah, dan Buku Jokowi Menuju Cahaya

21 Desember 2018   08:21 Diperbarui: 22 Desember 2018   06:10 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini, diluncurkan buku biografi yang mengisahkan kehidupan Ir Joko Widodo, akrab disapa Jokowi, presiden Republik Indonesia ke-7, berjudul Jokowi Menuju Cahaya, karya Alberthiene Endah, dan diterbitkan oleh Tiga Serangkai Solo. Entah ini sudah buku yang ke berapa yang mengisahkan tentang sosok Jokowi yang begitu fenomenal. Saya tertarik untuk ikut serta nimbrung berkomentar atau sekadar berpendapat tentang kemunculan buku ini yang cukup viral di media sosial saat peluncurannya di Jakarta kemarin (13 Desember 2018).

Menurut saya, buku ini terasa luar biasa, karena diterbitkan oleh penerbit kawakan, yang selama ini bergelut dengan buku-buku pelajaran sekolah, yaitu penerbit Tiga Serangkai (TS), yang beralamat di kota kelahiran Jokowi, yakni Surakarta atau Kota Solo.

Sudah diketahui, Tiga Serangkai telah berkiprah di dunia penerbitan dan percetakan buku, selama 60 tahun lebih. Hampir semua sekolah di daerah-daerah di Indonesia sudah terambah buku terbitan TS ini. Bahkan sekarang sudah merambah ke luar negeri. Reputasi TS sebagai lembaga penerbitan buku sudah tak diragukan lagi.

Selama ini, penerbit yang juga menghasilkan buku-buku bergenre umum ini menggunakan jasa penulis-penulis profesional yang handal dan kompeten, serta didukung oleh para editor yang mumpuni dari berbagai lingkup keilmuan. Sehingga dari sisi isi maupun dari tata bahasanya sangat enak dan layak untuk dibaca dan ditelaah.

Alberthiene Endah (AE), adalah salah satu penulis andalan Tiga Serangkai, yang kali ini juga menulis biografi sosok Jokowi. Bahkan ini yang kedua kalinya. Jika sebelumnya menulis Jokowi ketika dari Wali Kota Solo menjadi Gubernur DKI Jakarta, dan kali ini kembali menulis Jokowi saat sudah 4 tahun memimpin Indonesia. Tidak kurang dari 5 buku biografi yang telah ditulis oleh penulis berkelas internasional ini di Tiga Serangkai.

Sosok AE adalah penulis perempuan yang begitu detail dan mendalam untuk menggali semua informasi dari sosok atau tokoh yang dituliskannya. Bahkan, yang tidak tersampaikan di lisan pun oleh sang tokoh, mampu dibacanya dengan sangat baik. Dari ekspresi wajah, gesture, mimik, gerakan tangan, gerakan tubuh, cara berbicara, cara berjalan, cara bekerja, dan semua aktivitas keseharian sang figur bisa digali, dikembangkan, dinarasikan, dan dituturkan dengan sangat detail, spesifik, mendalam, dan sesuai kenyataannya.

AE selalu bisa mengampil poin-poin penting di setiap denyut dan nafas sang tokoh dalam berkiprah. Dengan bangunan kalimat-kalimat yang indah, terstruktur, mengalir, ringan, dan gaya bertutur namun lugas,  sungguh membuat pikiran dan hati pembaca masuk ke dalam narasi ceritanya.

Tak heran jika AE telah mampu menghasilkan tak kurang dari 50-an buku biografi tokoh-tokoh nasional yang populer di Indonesia, mulai dari pejabat, artis, atlet, pengusaha, politisi, seniman, musisi, hingga tokoh-tokoh yang punya pengaruh di masyarakat. Oleh karena itu, menurut saya, seorang AE sangat tepat dan layak untuk menulis sosok Jokowi yang notabene seorang presiden saat ini yang kali ini juga berikhtiar untuk mencalonkan kembali memimpin negeri.

Penerbit Ikut Bereuforia Politik?

Memang sejak diluncurkannya buku Jokowi ini, ada beberapa pertanyaan kritis yang mengarah kepada penerbit Tiga Serangkai, yaitu mengapa menerbikan buku Jokowi di momentum jelang pemilihan presiden tahun 2019? Apakah TS sedang melakukan politik praktis dan pragmatis dengan ikut-ikutan mendukung salah satu calon atau kandidat presiden? Apakah TS sedang berusaha mendekat dengan elite politik dan elite pemerintahan demi kepentingan bisnis? Apakah TS telah menanggalkan idealisme tentang penulisan dan penerbitan buku-buku berkualitas dengan hanya berorientasi pada penyajian tokoh-tokoh politisi yang fenomenal? Dan pertanyaan yang lebih menukik lagi, apakah TS sedang ingin menceburkan diri ke dalam dunia politik dengan ikut beraliansi pada kubu calon tertentu?

Pertanyaan-pertanyaan itu wajar untuk dialamatkan ke TS terkait peluncuran buku Jokowi. Tetapi tidak serta-merta kita bisa berasumsi dan beropini liar seperti itu. Kita harus cerdas dan jeli dalam membaca pergerakan TS selama ini, terutama para penggagas, pendiri, dan pengelola perusahaan penerbitan ini.

Sebagaimana diketahui, Tiga Serangkai didirikan oleh sosok pengusaha muslim taat, yakni almarhum bapak H Abdullah Marzuki dan Ibu Hj Siti Aminah Abdullah. Keduanya juga yang mendirikan pondok pesantren dengan ribuan santri di dalamnya, yaitu Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam. Santri Assalaam tak hanya berasal dari Solo dan sekitarnya, tetapi hampir dari seluruh penjuru tanah air. Alumni Assalaam pun telah banyak yang menjadi tokoh-tokoh nasional dan internasional.

Tak hanya itu, pendiri TS ini pun mendirikan lembaga pendidikan atau sekolah reguler, yaitu Al Firdaus World Class Islamic School, mulai dari jenjang prasekolah hingga sekolah menengah. Bahkan kepedulian mereka terhadap pendidikan Islam pun tak terbatas pada lembaga yang didirikan saja, tetapi juga ikut membantu secara materiil dan mewakafkan tanahnya untuk pembangunan tempat-tempat ibadah, seperti masjid, musala, dan yayasan-yasasan peduli anak yatim.

Semua orang yang kenal dengan mereka serta dari berbagai literasi menceritakan, bahwa kedua sosok ini telah memadukan konsep bisnis dengan profesionalisme, dakwah, dan nilai-nilai spiritualisme. Mereka meyakini, bahwa berbisnis itu utamanya dengan Allah, yakni dengan menjalankan ketaatan yang sebenar-benarnya. Akhiratlah yang utama dan pertama untuk dikejar, maka hal-hal duniawi akan mengikutinya. Hal inilah yang selalu dihunjamkan kepada seluruh tenaga dan karyawan di lingkungan Tiga Serangkai, termasuk para guru dan ustaz-ustazah di lingkungan pondok dan lembaga pendidikan.

Para pendiri dan pengelola Tiga Serangkai tentu menyadari, bahwa berbisnis itu mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, agar bisa menopang biaya operasional dan menyejahterakan para pegawai di dalamnya. Oleh karena itu dibutuhkan strategi pemasaran yang jitu dan kreatif. Bukan sekadar penawaran-penawaran biasa dan konvensional, tetapi butuh terobosan-terobosan baru yang lebih kekinian dan berorientasi pada keinginan dan kebutuhan pasar atau pembaca.

Dunia Bisnis Penerbitan dan Percetakan Buku

Bergerak di bidang penerbitan dan percetakan buku, menurut saya ada tiga hal yang menjadi fokus garapan, agar bukunya bisa diterima baik oleh masyarakat. Pertama, adalah soal konten atau isi. Penerbit dituntut untuk menghasilkan karya-karya buku yang benar-benar mencerahkan, mencerdaskan, dan menginspirasi. Buku-buku yang dihasilkan dari tangan-tangan penulis dan editor yang handal, kompeten, dan tepercaya, yang jauh dari unsur plagiarisme.

Sehingga, karyanya bisa menjadi rujukan, sumber, dan referensi bagi para penuntut ilmu. Dalam hal ini, penerbit harus mencari dan merekrut para penulis, baik pemula yang potensial, maupun yang sudah berpengalaman, asalkan memenuhi kriteria penulis yang ditetapkan. Termasuk yang dilakukan TS adalah membidik para penulis yang telah menghasilkan buku-buku berkategori best seller.

Kedua, soal penampilan, kemasan, atau penampakan dari buku itu sendiri. Di dunia percetakan dikenal istilah tata letak dan desain. Mulai dari halaman kover atau sampul, halaman isi, pewarnaan, kualitas kertas, ilustrasi, perpaduan teks dan gambar, dan unsur-unsur grafis lainnya yang mendukung, agar buku itu terlihat memikat dan menarik untuk dibuka dan dibaca orang. Oleh karena itu, dibutuhkan tenaga-tenaga ilustrator, layouter, dan designer yang inovatif dan kreatif, serta tentunya didukung oleh mesin-mesin cetak yang mutakhir untuk penyelesaian akhirnya.

Dan yang ketiga, soal strategi pemasaran. Inilah tantangan terakhir bagi penerbit, agar bukunya menjadi buku yang paling dicari oleh masyarakat atau pembaca. Sehingga bisa cetak ulang berkali-kali. Sebenarnya, ketika proses pengajuan atau penyusunan penulisan buku, pihak atau bagian pemasaran bisa memesan kepada bagian kreator atau editor untuk membuat buku dengan tema atau judul-judul yang sedang viral atau dibutuhkan di masyarakat saat itu.

Jika itu berupa buku biografi, autobiografi, atau memoar, bisa menulis tokoh-tokoh yang sedang naik daun atau popoler di masyarakat. Bisa dari kalangan pejabat, tokoh agama, pengusaha, dokter, atau bahkan dari orang-orang biasa yang memiliki nilai-nilai kepahlawanan dan inspirasi di tengah-tengah masyarakat.

Nah, jadi ketiga garapan atau divisi ini harus saling berkomunikasi dan bersinergi untuk bisa menghasilkan karya-karya buku yang berkualitas, sekaligus dibeli oleh masyarakat. Hal inilah yang sudah dilakukan oleh Tiga Serangkai, sehingga sampai dengan usia 60 tahun, penerbit ini masih tetap eksis dan menjaga reputasinya dengan baik.

Perpaduan Profesionalisme, Pendidikan, Dakwah, dan Nilai-Nilai Spiritualisme

Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, saya yang selama ini dekat dan mengenal sosok para pendiri dan pengelola Grup Tiga Serangkai dengan segala unit usaha dan pendidikannya, bahwa dengan diterbitkannya buku Jokowi, sama sekali bukan dalam rangka Tiga Serangkai sedang berpolitik praktis jelang pemilihan presiden. Tiga Serangkai tetap menjaga idealisme, profesionalisme, dan independensi dalam setiap penerbitannya. Meskipun tetap berorientasi pada hal-hal yang pragmatis, yakni tingkat penjualan buku tersebut di pasar. Siapa pun tokohnya, selama memiliki nilai-nilai kemaslahatan, edukasi, motivasi, dan inspirasi bagi orang banyak, maka layak untuk ditulis dan diterbitkan.

Kover buku biografi Siti Aminah Abdullah, pendiri Tiga Serangkai Solo.
Kover buku biografi Siti Aminah Abdullah, pendiri Tiga Serangkai Solo.
Saya mengenal betul sosok Ibu Siti Aminah Abdullah, akrab disapa Eyang Aminah yang selama ini fokus di bidang pendidikan, dakwah, dan keislaman. Beliau jauh dari pemberitaan atau gosip perpolitikan. Beliau hanya berjuang dan mendarmakan dirinya untuk pendidikan dan dakwah Islam. Bahkan setiap bulan dan tahunnya, di kediaman Eyang diadakan pengajian, sekaligus pertemuan atau silaturahmi para alim-ulama se-Surakarta dan sekitarnya. Pada pertemuan setiap bulan Ramadan itu dihadiri oleh banyak tokoh Islam dari segala kalangan dan organisasi, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Majelis Tafsir Al Quran (MTA), Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), para takmir masjid, dan pimpinan pondok-pondok pesantren.

Prinsip beragama Eyang dan keluarganya adalah mengamalkan ajaran-ajaran Islam sesuai yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Eyang tak mau terikat atau terbatasi oleh organisasi, aliran, atau paham-paham Islam tertentu. Apalagi masuk ke dalam partai politik atau tim sukses calon presiden, sungguh bukan tipe Eyang. Bagi Eyang, semua yang mengaku bertuhankan Allah dan bernabikan Nabi Muhammad SAW adalah saudara. Eyang ingin selalu berdiri di tengah-tengah umat yang beragam pemikirannya.

Pendiri Tiga Serangkai, Siti Aminah Abdullah (nomor dua dari kiri) sedang foto bersama dengan Jokowi saat peluncuran buku.
Pendiri Tiga Serangkai, Siti Aminah Abdullah (nomor dua dari kiri) sedang foto bersama dengan Jokowi saat peluncuran buku.
Barangkali inilah yang dilakukan Eyang Aminah ketika bisa satu panggung dengan Jokowi saat peluncuran buku belum lama ini. Eyang tidak banyak mengundang orang dan setelah acara pun tidak terlalu membesar-besarkan berita tersebut. Padahal mungkin bagi sebagian orang, saat bersama orang nomor satu di Indonesia tersebut menjadi momentum untuk bahan pencitraan dan mencari popularitas. Tetapi ini tidak dilakukan oleh Eyang dan timnya di Tiga Serangkai.

Saya berpikir, bahwa Eyang tidak ingin diisukan oleh kubu yang berseberangan dengan Jokowi, bahwa Eyang mendukung secara politik calon presiden 2019 Jokowi. Eyang ingin menjaga dari gosip, isu, atau fitnah yang bisa mengarah pada dirinya. Sebagai seorang pengusaha, Eyang tetap berusaha bersikap cerdas dan profesional, tetapi sebagai seorang muslim, Eyang tidak ingin terlibat dalam politik praktis, meskipun Eyang selalu punya pilihan untuk calon presidennya mendatang.

Tetapi secara pribadi, Eyang sangat menghormati sosok pribadi Jokowi, bahkan jauh sebelum menjadi presiden, yakni saat menjabat Wali Kota Solo. Beberapa kesempatan, Eyang dan putrinya, Eny Rahma Zaenah kerap mengundang Jokowi untuk hadir pada acara-acara tertentu, baik di lingkup Tiga Serangkai maupun di lembaga pendidikan Al Firdaus. Eyang sangat menghargai sosok Jokowi yang dengan usaha dan ikhtiarnya yang luar biasa, berhasil memimpin Kota Solo, DKI Jakarta, bahkan negara Indonesia yang besar ini.

Tentu tidak semua orang bisa mencapai prestasi yang fenomenal tersebut. Eyang pun telah mengalaminya sendiri, yang merintis bisnis percetakan buku yang benar-benar mulai dari nol dan dari desa. Oleh karena itu, Eyang sangat menyambut baik ketika tim Tiga Serangkai menggandeng penulis kenamaan, Alberthiene Endah untuk menulis biografi sosok Jokowi. Buku pertama saat menjadi gubernur DKI Jakarta, dan buku kedua ini, saat sudah menjabat presiden.

Menghargai Jerih Payah Orang Lain

Menurut Eyang, perjuangan dan karya Jokowi dalam memimpin bangsa ini layak dikisahkan dan menginspirasi banyak orang. Jadi, keliru besar jika TS menerbitkan buku Jokowi saat ini, sebagai bagian dari partisan atau hanya untuk mengejar kepentingan bisnis semata dengan mendekat pada elite kekuasaan. Karena memang, penulisan buku ini sudah dirancang jauh-jauh hari, saat masih menjabat wali kota dan menjadi gubernur. Secara pemasaran pun, buku Jokowi sangat diminati oleh khalayak. Buku Jokowi memiliki segmentasi tersendiri untuk para pembacanya. Meskipun jika bicara riil di lapangan, yang namanya tokoh politik selalu saja ada yang suka dan tidak suka. Hal itu wajar dan biasa dalam perpolitikan. Terpenting, selama tokoh yang ditulis tersebut bukan sosok yang kontroversial, yang kehadiran bukunya bisa membuat gaduh dan resah masyarakat.

Kover buku biografi dr Gamal Albinsaid, yang sekarang menjadi juru bicara calon presiden Prabowo Subianto.
Kover buku biografi dr Gamal Albinsaid, yang sekarang menjadi juru bicara calon presiden Prabowo Subianto.
Sesungguhnya, jika kita telisik lebih jauh, buku-buku bergenre biografi yang diterbitkan oleh TS bukan Jokowi saja. Beberapa tokoh nasional pun pernah diterbitkan TS, seperti presiden RI ke-3, BJ Habibie. Termasuk buku biografi dr Gamal Albinsaid, seorang dokter muda, yang kini menjadi juru bicara calon presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Artinya, dalam hal ini Tiga Serangkai tidak membeda-bedakan tokoh tersebut berlatar belakang seperti apa, termasuk pandangan politiknya. Siapa pun tokohnya, asalkan dikenal baik masyarakat, memiliki jasa atau karya yang bermanfaat untuk orang banyak, tidak kontroversial, memiliki nilai-nilai inspirasi dan keteladanan, maka layak untuk ditulis dan dikisahkan, agar menjadi motivasi dan tuntunan bagi masyarakat.
Kover buku biografi BJ Habibie yang diterbitkan oleh Tiga Serangkai.
Kover buku biografi BJ Habibie yang diterbitkan oleh Tiga Serangkai.
Jokowi Menuju "Cahaya" 

Entah mengapa, saya selalu suka membaca buku-buku biografi karya Alberthiene Endah. Termasuk kali ini, buku biografi Jokowi keduanya, berjudul Jokowi Menuju Cahaya, Perjalanan Karya bagi Bangsa. Buku ini merupakan penyempurna buku sebelumnya, berjudul Jokowi, Memimpin Kota Menyentuh Jakarta. 

AE sangat pandai untuk memilih kata, frasa, dan kalimat-kalimat dalam penyajian bukunya. Mulai dari membuat judul buku, kata pengantar, prolog, judul bab, sub judul tulisan, quote, kutipan, dan testimoni dari tokoh lain. Kata-katanya simpel, indah, bermakna, futuristik, dan memiliki pesan yang menggambarkan fenomena atau tokoh sesungguhnya.

Kover buku biografi Jokowi pertama yang diterbitkan Tiga Serangkai.
Kover buku biografi Jokowi pertama yang diterbitkan Tiga Serangkai.
Contohnya, seperti kutipan yang tertera di sampul belakang buku Jokowi ini. Kata-kata Jokowi diolah dan dirangkum sedemikian rupa menjadi kalimat yang indah dan bermakna, "Saya ingin membangun Indonesia dengan adil. Pembangunan harus menghampiri rakyat di sudut mana pun. Pembangunan yang tak hanya menyejahterakan, tapi juga menyatukan kita...."

Dua kalimat terakhir yang menurut saya sangat kuat, keren, dan mengena. Kalimat menghampiri rakyat di sudut mana pun, menurut saya begitu unik dan seperti tak lazim diungkapkan oleh orang-orang pada umumnya. Dan tulisan-tulisan seperti ini akan banyak sekali kita jumpai ketika kita sudah membaca seluruh isi buku ini. Sepertinya, secara acak pun kita memilih dan mencomot kalimat di dalam buku ini, layak untuk menjadi kutipan atau quote yang bisa viral di masyarakat atau media sosial.

Pada buku ini, AE memilih judul Jokowi Menuju Cahaya. Memang, saya masih mencerna kata "cahaya" di sini, karena memiliki makna atau arti yang sangat luas. Bisa bermakna sinar, atau sesuatu yang terang benderang (makna denotasi), bisa juga diartikan sebagai pencerahan, kejernihan, kebenaran, keberhasilan, dan kesuksesan (makna konotasi). Jika konteksnya negara, maka "cahaya" bermakna kejayaan, kemakmuran, dan kesejahteraan.

Ternyata setelah saya buka di halaman pertama, tepatnya di lembar dalam sampul tertera kata "cahaya". Lengkapnya seperti ini, "Memimpin sebuah negara bukanlah tentang apa yang bisa dilakukan untuk mendapatkan simpati rakyat selama lima atau sepuluh tahun ke depan. Tapi mengarahkan rakyat untuk berjalan menuju masa depan yang lebih baik. Sungguh pun untuk mencapai itu, kita harus bersama-sama berjuang dan merasakan pahit terlebih dahulu. Cahaya akan datang setelah kita menyibak kabut gelap." 

Dua kalimat terakhir yang membuat saya berdecak kagum, sungguh sangat kuat pesannya. Bahwa "cahaya" itu perlu diusahakan semaksimal mungkin, bahkan kita akan mengalami sesuatu yang pahit dan berkabut. Tetapi yakinlah, selama ada kebersamaan dalam perjuangan, cahaya itu ada di genggaman kita adalah sebuah keniscayaan.

Kemudian, kata cahaya juga muncul lagi di beberapa tulisan atau quote, yaitu "Memimpin sebuah negara bukanlah tentang bagaimana menjadi populer, tapi bagaimana menciptakan masa depan yang lebih baik bagi rakyat. Pembangunan tak selalu manis. Prosesnya mungkin pahit. Namun, itu dilakukan demi tujuan yang bercahaya di depan nanti." 

Pada klimaksnya dari kata "cahaya" ini diuraikan dalam halaman prolog, berjudul Jalan Panjang Menuju Cayaha. Sekali lagi, AE sangat lihai untuk memainkan emosi dan pikiran pembaca dengan merangkai kata-kata yang sensasional. "Saya tidak mengatakan Indonesia berada dalam kegelapan. Namun, seharusnya cahaya lebih banyak menyinari negeri ini. Banyak hal buruk kita biarkan. Banyak hal berpotensi tak kita gali. Mungkin selama ini kita tak berani, atau tak percaya bahwa cahaya itu ada." 

Saya meyakini, jika kata "cahaya" ini dimunculkan oleh Jokowi sendiri. Entah itu terlontar ketika dalam sesi wawancara atau pada waktu Jokowi sedang memberikan sambutan atau pernyataan. Tetapi AE berhasil mengolah dan mengemas sedemikian rupa, sehingga kata "cahaya" memiliki maksud dan arti yang sangat luas dan dalam, namun menjadi sebuah keniscayaan untuk kita raih bersama.

Buku ini terdiri dari 384 halaman, dengan memuat isi, mulai dari prolog, bab 1 sampai bab 12, dan diakhiri dengan testimoni dan riwayat tentang penulis. Bab demi bab menceritakan tentang perjalanan Jokowi, mulai dari kehidupan di daerah kelahirannya hingga pengabdiannya menjadi pemimpin Indonesia. Judul-judul bab pun menggambarkan pesan dan kisah perjalanan hidup dari masa ke masa. Berikut judul-judul bab yang ada di buku ini, Bab 1 Sekolah Kehidupan dari Solo, Bab 2 The Power of Blusukan, Bab 3 Sekarang, Indonesia, Bab 4 Mengapa Infrastruktur?, Bab 5 Jangan Lunak untuk yang Merusak, Bab 6 Nyanyian Indah dari Desa, Bab 7 Bersama Peduli Bersama, Bab 8 Jangan Mudah Diperdaya Hoaks, Bab 9 Rapat, Perjalanan, Kerja!, Bab 10 Lawatan Bermakna ke Luar Negeri, Bab 11 Wadah Dulu, lalu Manusia, dan Bab 12 Kami Tak Mempermasalahkan Diri Kami. 

Buku ini memang tak seperti buku biografi pada umumnya, yang menceritakan sejarah kehidupan seseorang secara detail dan dari waktu ke waktu, yang justru terkadang membosankan dan menjemukan. Tetapi, buku ini mampu mengambil dan menyuguhkan substansi, hikmah, makna, dan nilai (value) dari setiap peristiwa yang terpampang. Di awal-awal buku ini, penulis AE berusaha menangkap dan menggali pikiran, ide, semangat, motivasi, dan pandangan kenegaraan dan kebangsaan seorang Jokowi. Jokowi yang terlahir dari pergumulan kemiskinan, kesusahan, dan kekumuhan mencoba untuk mencerna kembali makna kata "pembangunan" dan "rakyat". Jokowi ingin menegaskan lagi siapa sesungguhnya "rakyat"? Siapa yang layak untuk menikmati pembangunan?

Bangkit dari Kubang Kesulitan

Jokowi yang sejak kecil ditempa oleh kesusahan, berusaha bangkit dan mendidik diri sendiri untuk tak selalu berharap atas belas kasihan dan bantuan orang lain. Jokowi berusaha tumbuh tegar, tangguh, dan mandiri untuk bisa hidup yang tak banyak mengeluh. Pada akhirnya, kemauan yang kuat dan kerja keras Jokowi yang mengantarkannya menjadi pengusaha mebel sukses, Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan Presiden Indonesia. Jokowi berusaha hadir dengan pemerintahan yang mampu menghidupkan energi positif penduduknya agar sadar ke arah mana berjalan untuk mendapatkan cahaya itu.

Menurut saya, banyak netizen atau pengguna media sosial yang mencaci-maki Jokowi, bahkan menyerang kepribadian dan keluarga Jokowi, karena sebagian besar mereka tidak mengenal lebih jauh sosok pribadi Jokowi. Seharusnya perbedaan pilihan dan pandangan politik, tidak menyebabkan kita jadi tak menghargai perjuangan, karya, dan jerih payahnya membangun karier dalam kehidupannya. Sungguh kita tak ada apa-apanya dengan orang yang sedang kita caci maki itu. Mereka sudah menjadi tokoh, pejabat, dan memiliki pengaruh yang besar. Sementara kita itu siapa? Terkadang tetangga dekat saja tak ada yang kenal dengan kita.

Maka saran saya untuk para pembenci Jokowi, cobalah membaca Bab 1 di buku ini, yang mengulas tentang kepahitan, kesusahan, kemiskinan, dan keterbelakangan kehidupan keluarga Jokowi. Dari nol, dari rakyat biasa, bahkan dari pinggiran bantaran sungai, Jokowi berjuang dan bekerja keras, hingga akhirnya menjadi presiden. Sesuatu yang luar biasa bukan? Kita saja, bahkan anak kita yang ketika kita tanya cita-citanya menjawab "presiden", kita hanya bisa tersenyum, seolah-olah itu cita-cita yang mustahil untuk diraih. Dan keajaiban itu menimpa sosok Jokowi yang terlahir dari orang tua desa yang miskin.

Di bab 1 ini juga menceritakan tentang kehidupan masa kecil Jokowi dan orang-orang dekat di sekelilingnya. Mulai dari riwayat pendidikan, karier, pekerjaan, dan rumah tangga Jokowi dikisahkan dengan sangat apik, dramatis, dan syarat akan nilai-nilai hidup. "Hidup kami berubah. Ada unsur perjuangan dan kerja keras. Ada unsur keberuntungan karena bisa bermitra dengan perusahaan yang besar. Ada unsur kesabaran. Tapi, di atas semua itu, saya menemukan hikmah yang sangat mengakar di dalam diri saya hingga saat ini."

Sebutan nama tenar Jokowi ternyata juga baru saya ketahui setelah membaca di bab ini. Seorang buyer atau pelanggan Jokowi dari Perancis bernama Bernard merasa kesulitan untuk membedakan nama panggilan Joko, karena banyaknya nama Joko di Indonesia, khususnya di Jawa. Akhirnya Bernard dengan spontan menambahkan kata "wi" di belakangnya, jadilah Jokowi. Dan Jokowi hanya mengiyakan saja. Kemudian nama Jokowi mulai eksis di pergaulan pengusaha mebel hingga sekarang ini.

Pada akhir bab ini dimunculkan kutipan Jokowi untuk anak-anaknya. "Saya ingin anak-anak saya mengenal sekolah kehidupan. Perjuangan. Sebab, hal itulah yang sejatinya mampu membangun kehidupan yang kukuh."

Kemudian pada bab-bab berikutnya lebih menceritakan awal-awal terjun di dunia politik, kiprah, perjuangan, dan pengabdian Jokowi selama menjabat wali kota, gubernur, dan presiden. Jokowi dalam setiap aktivitasnya selalu menekankan pada visi, tujuan, prinsip, dan substansi untuk menjadi pegangan dan arah mencapai keberhasilan bersama. Kuncinya, rakyat dan pemerintah harus bersinergi untuk menciptakan solusi yang baik. Energi dan hati rakyat harus ada di dalam keputusan paling bijaksana. Rakyat harus merasa bahwa mereka dimanusiakan. Bahasa Jawanya, nguwongke uwong.

Di bab akhir buku ini, penulis menyajikan ketegaran dan kesabaran Jokowi dan keluarganya dalam menghadapi imbas intrik politik yang kasar, panas, dan kejam. Jokowi sangat sadar tentang keberadaan dan kebijakannya yang tidak bisa memuaskan dan membahagiakan semua orang. Bahkan apa pun yang dilakukan Jokowi dan pemerintahannya selalu salah di mata pembencinya. Jokowi telah siap dan kuat untuk menghadapinya. Bagi Jokowi, bahwa caci maki adalah bagian dari pendewasaan.

Di penghujung bab terakhir ini, kalimat-kalimat yang terlontar dari Jokowi sangat menyentuh hati. "Dalam setiap perjalanan yang saya arungi, sering mata saya memandang ke cakrawala. Saya selalu berterima kasih kepada Allah. Betapa Allah begitu setia mendengarkan tangis sedih saya di masa kecil dan merawatnya menjadi sebuah jalan. Jalan untuk menjawab kesedihan saya melalui kesempatan menjadi pemimpin. Allah seolah mengerti bahwa saya akan melakukan hal yang dulu saya impikan bisa dilakukan pemimpin terhadap kami. Membangkitkan hidup rakyat. Memberi keyakinan bahwa hari esok bisa lebih baik. Kepada Indonesia, saya akan selalu siap mengabdi."

Buku ini semakin menarik karena dilengkapi oleh gambar atau foto-foto Jokowi yang sangat artistik dengan resolusi yang tinggi. Foto-foto ini selalu menghiasi setiap babnya dalam buku ini, sekaligus menjadi saksi dan bukti narasi kehidupan Jokowi yang begitu heroik dan penuh inspirasi. Foto-foto pendukung di buku ini sangat lengkap menangkap setiap momen keseharian Jokowi dan bagus kualitas gambarnya, karena didukung oleh para fotografer kenamaan, seperti Darwis Triadi, Dio Hilaul, Agus Suparto, serta Tim Foto Sekretariat Presiden.

Buku yang berukuran 23 cm dan ketebalan 2 cm terasa lebih ringan untuk dibawa ke mana pun kita bepergian. Bahan kertas yang dipilih adalah tipe book paper. Kertas ini bertekstur sedikit kasar cenderung halus, kekuningan, ringan dan tipis. Dalam dunia percetakan, kertas ini memang diciptakan agar membuat mata kita selalu nyaman berlama-lama dalam membaca buku. Anda tertarik untuk memilikinya, silakan pesan di Tiga Serangkai Solo. Semoga bermanfaat.

Imam Subkhan

Penulis adalah penulis buku, editor profesional, pembicara, MC, penyanyi, pembuat film, blogger, youtuber, dan pengelola lembaga penerbitan buku Al Firdaus Press.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun