Kasus pembakaran bendera bersimbol tulisan tauhid, kini benar-benar menjadi polemik yang menyeruak di tengah-tengah masyarakat, terutama kalangan umat Islam. Diskusi pro dan kontra ini, tak sekadar mengusut peristiwa pembakaran, tetapi telah mengerucut pada diskursus yang lebih ilmiah dan intelektual, yakni persoalan konsep ideologi dan paradigma dalam beragama. Dan kini, media sosial diramaikan oleh tulisan-tulisan klasik, mengenai konsep atau paham Islam substansialisme-inklusif melawan paham Islam formalisme-eksklusif.
Kita tahu, paradigma beragama yang pertama adalah mengutamakan isi, roh, substansi, makna hakiki, filosofi, keterbukaan, kontekstual, dan moderat dalam beragama. Sehingga simbol-simbol agama yang tampak tidak terlalu ditonjolkan. Terpenting hati dan perilakunya menunjukkan sosok muslim yang taat. Dengan kata lain, akhlak menjadi bahan campuran yang utama dalam beragama, selain kapasitas ilmu.
Ilmu dan akhlak bagai dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Sebagaimana kita tahu, akhlak tanpa ilmu adalah buta, dan ilmu tanpa akhlak adalah kesombongan. Dalam implementasinya, paham ini lebih bisa menerima keberagaman dan kebudayaan masyarakat yang pluralis. Â
Sedangkan penganut paham kedua, urusan simbol-simbol dalam beragama sangat fundamen dan dipentingkan. Mulai dari simbol-simbol pakaian, penampilan wajah, gaya hidup, cara bergaul, cara berorganisasi, cara bermasyarakat, termasuk menuntut sistem kehidupan untuk merujuk sekaligus mencantumkan simbol-simbol agama secara eksplisit, formal, dan tekstual.
Mereka beranggapan, bahwa masuk Islam secara kaffah adalah sebuah totalitas lahir maupun batin. Jika ada yang tampak di permukaan tidak islami, maka harus diluruskan. Paham ini terkadang memaksakan untuk "mengislamisasikan" semua hal yang terkesan sekuler dan hedonis.
"Pemurnian tauhid" adalah slogan yang biasa mereka dengungkan selama ini. Sehingga, paham ini dicap kurang toleran terhadap tradisi, kultur, atau budaya masyarakat setempat. Islam dan Arab menjadi kesatuan yang harus diikuti dalam hidup dan beragama.
Nah, kalau saya seperti apa menyikapinya?
Sebagai seorang nahdiyin, jelas saya lebih cenderung untuk memilih paradigma yang pertama. Artinya, substansi, roh, dan spirit jauh lebih penting dari sekadar simbol. Hati yang beriman kokoh, kapasitas keilmuan, dan akhlak yang mulia adalah keterpaduan tak terpisahkan dalam beragama. Keimanan terletak di hati. Kebenaran terletak di nurani. Dan wujud hati yang mulia adalah terletak pada tindakan dan perilaku yang baik.
Disadari atau tidak, jika hati dan jiwa kita berguncang hebat manakala kita melakukan kemaksiatan, maka sesungguhnya itulah hidayah kebenaran. Kesimpulannya, hati yang dipenuhi dengan keimanan, akan selalu mengarahkan manusia kepada kebenaran dan keridaan Tuhan. Â
Namun ada "tetapinya".
Simbol-simbol kebanggaan dalam beragama, dalam momentum tertentu juga diperlukan sebagai tanda syiar dan dakwah Islam. Saya pun perlu menunjukkan jati diri saya sebagai seorang muslim yang tentu berbeda penampilannya dengan yang tidak seagama. Tetapi sesungguhnya, saya memakai baju koko yang indah, adalah semata-mata sebagai adab dan etika dalam menghadap Tuhan.